Selasa, 12 Februari 2013

Teknik Editing dan Elektro


1.             Pengertian Editing:
a.              Pengertian editing oleh Roy Thompson and Christopher J. Bowen menyebutkan: Editing adalah proses mengorganisir, reviewing, memilih, dan menyusun gambar dan suara hasil rekaman produksi. Editing harus menghasilkan tayangan gambar yang padu dan cerita yang penuh makna sesuai apa yang telah direncanakan sebelumnya yaitu untuk menghibur, menginformasikan, memberi inspirasi dan lainnya. (Roy Thompson and Christopher J. Bowen, 2009: 1)
b.             Editing yaitu kegiatan memotong-motong gambar yang panjang, menyambung potongan-potongan gambar yang bercerita (memiliki sekuen) dalam durasi yang ditentukan, dan siap ditayangkan pada waktunya. (J.B Wahyudi: 2004)
c.              Leo Nardi berpendapat editing film adalah merencanakan dan memilih serta menyusun kembali potongan gambar yang diambil oleh juru kamera untuk disiarkan kepada masyarakat. (Nardi, 1977: 47).
d.             J.M. Peters menyatakan bahwa yang dimaksud dengan editing film adalah mengkombinasikan atau memisah-misahkan rangkaian film sehingga tercapai sintesis atau analisis dari bahan yang diambil. (Peters, 1980: 9).
e.              D.W. Griffith berpendapat bahwa editing film merupakan suatu hal yang terpenting dalam film karena editing film itu merupakan suatu seni yang tinggi. Seni sendiri merupakan pondasi dari film. Menyunting film adalah menyusun gambar-gambar film untuk menimbulkan tekanan dramatik dari cerita film itu sendiri. (Griffith, 1972: 20-25).
f.              Adapun Pudovkin mengatakan bahwa editing film dimulai dari penulisan dan membuat shot-shot sebagai materi editing film. Dalam hal editing ini, Pudovkin mempunyai sebuah prinsip, yaitu peristiwa-peristiwa yang akan direkam dalam gambar tidak terlepas dari tiga faktor: watak manusia, ruang dan waktu. Di samping tidak terlepas dari ‘lirik editing’, yakni bagaimana caranya mengeksploitasi sesuatu yang tidak tampak seperti kegembiraan, kesenangan, kesedihan, dan lain-lain. (Pudovkin, 1972: 26).
g.             Sedang menurut Elsenstein, seorang arsitek yang lari ke dunia film. Editing adalah suatu proses yang harus dilakukan dengan cara menyambung dua buah shot atau adegan yang dapat menimbulkan pengertian baru melalui cara pemikiran dan selalu menimbulkan istilah pemikiran yang baru. Untuk itu, dia menghadapkan pada kiasan melalui lambang-lambang sehingga penonton turut berpikir secara intelektual terhadap adegan yang dilihatnya. (Elsenstein, 1972: 33).
Prinsip-Prinsip Editing:
a.              Jangan menyambung 2 shot dari obyek yang sama dalam format yang sama besarnya (jenis shot yang sama). Karena, dua shot yang berurutan dengan format yang sama besar sering menghasilkan jump cut. Misalnya cutting dari Medium Shot (MS) ke Medium Shot (MS).
b.             Walaupun esensi dari televisi adalah penyajian gambar dengan close up, jangan mengabaikan fungsi long shot. Karena, terlalu banyak close up akan membosankan.
c.              Sesudah beralih ke suatu adegan baru, berilah Long shot dari adegan tersebut. Ini akan memberi penjelasan kepada penonton dimana peristiwa itu terjadi.
d.             Begitu juga apabila “tokoh baru” masuk atau “tokoh” yang agak lama tidak muncul, buatlah close up dari “tokoh” itu. Karena, apabila ada satu tokoh baru masuk, penonton secara naluri ingin tahu siapa dia, seperti apa dia?
e.              Jangan menyambung 2 shot dari obyek yang sama dalam jarak yang ekstrim. Misalnya cutting dari Extreme Long Shot (ELS) ke Extreme Close Up (ECU). Karena, hal ini akan membuat penonton sulit mengenali obyek yang kita maksudkan.
f.              Hal yang sama akan terjadi apabila kita membuat cutting dengan perpindahan camera angle yang ekstrim, sehingga menyebabkan penonton kebingungan dengan arah pandangan yang berlawanan dari obyek yang sama.
g.             Jangan memotong ditengah-tengah shot pada saat kamera bergerak (panning atau zooming). Sambunglah di titik awal atau akhir dari panning atau zooming (saat kamera berhenti).
h.             Jangan membuat cutting diantara dua kamera yang bergerak terutama kamera panning, atau diantara satu kamera yang bergerak dan kamera statis. Cut diantara 2 kamera yang bergerak membuat efek yang tidak enak bagi mata. Kekecualian dalam hal ini apabila kedua kamera panning dengan arah dan kecepatan yang sama. Misalnya cut dari panning shot sebuah mobil yang berjalan dengan kecepatan dan arah tertentu ke panning shot sebuah mobil lain yang berjalan dengan kecepatan dan arah yang sama.
i.               Lakukanlah selalu cut on movement (cut gerakan): cutiing pada saat obyek dalam gerakan (acting) duduk, bangkit, berbalik, memutar. Bahkan dalam close up cutting akan lebih baik di saat kepala sedang bergerak, menengok, mengangguk misalnya. Buatlah cut selama saat gerakan obyek jangan sebelum atau sesudahnya. Misalnya: jika kita telah membuat close up dari seseorang yang baru bersiap-siap untuk berdiri dari kursi, buatlah cutting shot yang lebih besar (long shot) tepat sesudah dia mulai berdiri, bukan sebelum dia berdiri.
j.               Dalam suatu interview, cut biasanya kita lakukan pada akhir dari pertanyaan atau jawaban, karena cutting pada akhir dari suatu kalimat atau prasa (anak kalimat akan menghasilkan suatu irama yang jelas daripada ditengah-tengah. Walaupun demikian, reaction shot akan lebih halus apabila terjadi selama dialog, lebih baik daripada akhir ucapan atau kalimat. Dalam hal ini, jika seseorang bergerak sambil mengucapkan dialog, buatlah cut on movement. Jangan tunggu sampai pemain menyelesaikan satu kalimat. Cut on movement dari action biasanya lebih kuat motivasinya daripada cut on dialog.
k.             Buatlah cut, dissolve (mix) dan fade, sesuai dengan irama musik atau komentar, buatlah cut atau fade out musik hanya pada akhir kalimat musik, jangan ditengah-tengah.
2.             Editing Linier dan Non Linier:
a.              Editing Linear adalah editing dengan metode mengurutkan dari shot yang pertama, kedua, hingga shot yang terakhir (Widagdo dan Gora, 2004:115). Setidaknya ada 3 jenis editing linear: On Cam editing, A/Roll, dan A/B Roll. Dengan prinsip kerjanya sebagai berikut:
·               On Cam editing, editing yang dilakukan “tanpa” menggunakan perlatan editing. Ia menggunakan kamera sebagai alat editing itu sendiri. Prinsip kerjanya ada dua cara, pertama editing dilakukan oleh cameraman saat pengambilan gambar atau shooting. Ketika mengambil gambar, seorang cameraman ia mesti sudah memikirkan hasil shootingnya sebagai hasil editing juga. Jadi, pengambilan gambar berdasar cerita yang sudah dibuat sebelumnya. Untuk memudahkan konsep ini maka cameraman harus membuat shot list terlebih dahulu. Dan yang paling penting lagi shooting dilakukan berdasar ututan cerita. Edit on Cam yang kedua, memang benar-benar menggunakan kamera sebagai alat penyuntingan gambar. Setelah melakukan pengambilan gambar, cameraman memilah gambar atau shot yang benar-benar diperlukan, membuang atau mendelete shot yang tidak diperlukan. Kamera-kamera digital sekarang sudah memungkinkan untuk melakukan Edit on Cam, ada fasilitas edit di dalamnya.
·               A Roll merupakan editing linear dengan menggunakan satu deck player dan satu deck recorder. Satu deck berfungsi untuk playback materi yang akan diedit, satu deck lainnya untuk merekam hasil edit.
·               A/B Roll, beda halnya dengan A Roll pada alat editing A/B Roll terdapat dua deck yang berfungsi sebagai player serta satu deck berfungsi sebagai recorder. Jadi pada A/B Roll bisa ada dua materi shooting yang dikontrol untuk digabungkan ke dalam satu materi editing. Baik pada A Roll maupun A/B Roll bisanya terdapat tombol jog/shutle yang berfungsi untuk rewind maupun fast forward tape/kaset yang ada pada deck deck tersebut. Tombol lainnya adalah tombol marking, untuk menandai timecode yang ada pada tape/kaset yang akan digunakan pada hasil akhir editing.
b.             Editing Non linear adalah editing dengan metode acak (random). Artinya, editor dapat memulai mengurutkan shot-shot dari shot yang mana saja terlebih dahulu sesuai dengan kebiasaanya tanpa harus memulainya dari shot yang pertama (Goodman dan McGrath, 2003:13). Jika misalnya, melakukan penyuntingan gambar untuk program televisi materi editing yang lengkap baru ada di segmen dua, maka editor bisa melakukan penyuntingan gambar segmen dua tersebut. Prinsip kerjanya dengan menggunakan seperangkat komputer serta deck. Jika dulu editing non linear mesti menggunakan komputer khusus, saat ini PC biasa dengan spesifikasi tertentu sudah bisa dijadikan alat editing. Bahkan beberapa laptop dengan software editing sudah bisa digunakan. Banyak software editing non linear. Yang populer di antarnya Adobe Premiere, Canopus Edius, Avid, dan Final Cut Pro.
3.             Tiga fungsi dasar editing menurut Herbert Zett adalah Menggabungkan (combine), Memangkas (trim), Membangun (build), berikut fungsi editing yang lain:
·                Alasan utama untuk mengedit film adalah untuk membagi adegan yang paling relevan dari film ke dalam satu wadah dan kemudian digabungkan dengan yang lain ke dalam string halus (string halus ini maksudnya file container seperti .avi, .mpeg, dsb.) yang dapat menyajikan paling tidak hasil sebagai bagian dari film yang difilmkan.
·                Tingkatan terpenting pada tujuan sebuah editing adalah menentukan bentuk pemaknaan dari film, hal ini serupa dengan penetuan sajak dan baris yang kita kenal dalam pembuatan sebuah puisi. Dikebanyakan film hollywood, editing digunakan untuk menguraikan paling tidak 4 dimensi yang ingin dicapai: bagaimana cara anda menyampaikan sebuah alur film yang mudah diterima, seberapa lugas anda ingin menyampaikan pesan yeng terdapat dalam film, bagaimana anda seharusnya melakukan penyesuaian antara kejadian dengan karakter pada setiap waktu yang ada pada film, dan bagaimana anda menentukan kesesuaian akan kecepatan cerita dari film tersebut. Selain itu dalam editing dapat juga dilakukan penambahan montase, editing dapat menghadirkan fungsi-fungsi cerdas guna memenuhi kebutuhan akan keindahan serta sudut pandang yang ingin disampaikan. Kegiatan semacam ini memiliki kecenderungan untuk mengarah pada perkembangan dunia film saat ini serta film-film experimental.
4.             Bahsa visual dan manfaatnya:
Secara sederhana bahasa visual adalah sebuah sarana penyampaian kepada penonton menggunakan hal-hal yang dapat ditangkap secara kasat mata.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan bahasa visual ini, sebab bila dipahami hal tersebut memiliki tiga tingkatan.
·                Universal. Bahasa visual tingkat pertama, biasanya dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika kita perlihatkan pada penonton hal-hal yang bersifat kebendaan maka kita bisa merekam benda-benda seperti sabun, gelas, koran, sapu dan lain sebagainya.  Ataupun kita juga dapat memperlihatkan hal-hal yang bersifat tindakan seperti minum, mandi, duduk, tidur dan lain sebagainya yang kita lakukan sehari-hari.
·                Lokal/Sektoral. Kita bisa memperlihatkan burung merpati putih terbang.  Bisa jadi di Indonesia penontonnya akan menganggap bahwa artinya adalah kebebasan, namun bagaimana dengan tempat lain seperti di Thailand, hal tersebut dianggap sebagai tanda kematian.  Pada hal-hal yang sifatnya benda juga dapat kita tinjau, misalnya untuk tanda kematian di wilayah Jabodetabek kita dapat menonjolkan bendera kuning, namun bila ditonton oleh masyarakat dari Surabaya, mungkin mereka tidak akan paham.
·                Ketiga, bahasa visual yang bersifat personal. Bahasa visual ini hanya berlaku bagi diri kita sendiri sang pembuat filmnya.
Manfaat dari bahasa visual adalah penyempurna/pelengkap dalam suatu film agar penonton benar-benar bisa memahami sekaligus menikmati maksud yang disampaikan oleh film tersebut. Bahasa visual ini sendiri tidak harus selalu berwujud dialog, jika dirasa dialog yang terlalu banyak akan menjenuhkan. Wujudnya bisa diperkuat dengan pengadaan benda-benda yang sesuai.
5.             Pemahaman tentang sinematography:
a.             Sense Of Cutting
Macam-macam cutting:
·               Jump Cut: Suatu pergantian shot di mana kesinambungan waktunya terputus karena loncatan dari satu shot ke shot berikutnya yang berbeda waktunya.
·               Cut In, Insert: Suatu shot yang disisipkan pada shot utama (master shot) dengan maksud menunjukkan detil.
·               Cut Away, Intercut, Reaction Shot: Shot action yang diambil pada saat yang sama sebagai reaksi dari shot utama.
·               Cut On Direction: Suatu sambungan shot di mana shot pertama dipertunjukkan suatu objek yang bergerak menuju ke suatu arah, shor berikutnya objek lain yang mengikuti arah gerakan shot pertama.
·               Cut On Movement: Sambungan shot dari suatu objek yang bergerak ke arah yang sama, dengan latar belakang yang berbeda.
·               Cut Rhime: Pergantian shot atau adegan dengan loncatan ruang dan waktu pada kejadian yang (hampir) sama dalam suasana yang berbeda
Fungsi Cut, untuk mempertunjukkan:
·               Kesinambungan action. Apabila satu kamera tdak mampu mengikuti suatu action, misalnya akrena halangan obyek lain, kita potong atau ganti shot lain dengan camera angle berbeda yang menyajikan kesinambungan dari shot yang pertama.
·               Detail Obyek. Misalnya dengan Long Shot kita sajikan seseorang yang sedang membaca buku, untuk membantu penonton melihat buku apa yang sednag dibaca, kita pertunjukkan Close Up dari judul buku.
·               Peningkatan atau Penurunan Irama Kejadian (Progresi). Dengan Long Shot kita sajikan seseorang ditodong pistol oleh seseorang yang lain, kemudian shot berikutnya kita nampakkan Medium Shot si penodong dengan pistolnya, atau Medium Close Up wajah orang yang ditodong. Cut to Close Up untuk mempertunjukkan pengembangan kejadian. Sedang Cut to Long Shot untuk menunjukkan penurunan kejadian.
·               Perubahan Tempat dan Waktu. Cut dari interior ke exterior. Loncatan adegan ke depan atau ke belakang dari suatu peristiwa (flash back) atau peristiwa lain yang berbeda di tempat lain pada saat yang sama.
·               Menciptakan Irama Kejadian. Fast Cutting, cut to cut secara cepat menyajikan kesan merangsang penonton, perasaan tegang. Dan slow cutting, menunjukkan kesan lambat dan tenang.
b.             Sense Of Camera Size (shot size)
·               ELS (Extreme Long Shot): Shot sangat jauh, menyajikan bidang pandangan yang luas, kamera mengambil keseluruhan pemandangan. Objek utama dan objek lainnya nampak sangat kecil dalam hubungannya dengan latar belakang.
·               LS (Long Shot): Shot jauh, menyajikan bidang pandangan yang lebih dekat dibandingkan dengan ELS, objek masih didominasi oleh latar belakang yang lebih luar.
·               MLS (Mediun Long Shot): Shot yang menyajikan bidang pandangan dekat daripada Long Shot, obyek manusia biasanya ditampilkan dari sudut atas lutut samapai di atas kepala.
·               MS (Medium Shot): Di sini obyek menjadi lebih besar dan lebih dominan, obyek manusia dinampakkan dari atas pinggang sampai di atas kepala. Latar belakang masih nampak sebanding dengan obyek utama.
·               MCU (Mediun Close Up): Shot amat dekat, obyek diperlihatkan dari bagian dada sampai atas kepala. MCU inilah yang paling sering dipergunakan dalam televisi.
·               CU (Close Up): Shot dekat, obyek menjadi titik perhatian utama di dalam shot ini, latar belakang nampak sedikit sekali. Untuk manusia biasanya ditampilkan wajah dari bahu sampai atas kepala.
·               BCU (Big Close Up) dan ECU (Extreme Close Up): Shot yang menampilkan bagian tertentu dari tubuh manusia. Obyek mengisi seluruh layar dan jelas sekali detilnya.
·               Cut Off Lines: Istilah dalam framing (pembingkaian) gambar dengan obyek manusia berdasarkan garis/potongan bagian tubuh.
-                 FS (Full Shot) atau TS (Total Shot): menyajikan seluruh tubuh.
-                 Knee Shot (Shot Lutut): menampilkan bagian tubuh dari lutut sampai atas kepala.
-                 Beast Shot (Shot Dada)
-                 Head Shot (Shot Kepala)
·               Beberapa Istilah shot yang lain:
-                 Tight Shot (shot dekat)
-                 Wide Shot (Shot jauh atau lebar)
-                 Cover Shot (Shot-shot MS sampai CU)
-                 Two Shot (Shot dua orang)
-                 Three Shot (Shot tiga orang, dst)
-                 OS (Over The Shoulder Shot): Shot di amna obyek utama menghadap ke arah kamera, dengan bingkai di samping kiri atau kanan nampak bahu dan sebagian kepala obyek lain sebagai lawan bicara.
-                 Establishing Shot: Pengambilang gambar dengan kamera statis, biasanya dalam posisi Extreme Long Shot atau Long Shot yang menampilkan keseluruhan pandangan untuk memperkenalkan suatu tempat di maan suatu peristiwa sednag terjadi.
c.              Sense Of Camera Angle
Istilah angel kamera menjelaskan posisi pemirsa dalam melihat obyek/subyek. Setiap pengambilan gambar baru harus mengambil agel kamera yang baru. Ada 3 alasan untuk ini:
1.             Untuk menambahkan kemungkinan adanya informasi baru.
2.             Untuk menambahkan kemungkinan gambar-gambar yang dapat diedit bersamaan.
3.             Untuk memperlihatkan lebih dekat reaksi seseorang terhadap obyek/subjek baru.
Saat pertama kali melihat seseorang/sesuatu kita cenderung mengubah sudut pandang kita sehingga kita dapat lebih dekat mengamatai apa yang kita lihat. Hal ini serupa dengan pemilihan angel kamera. Beberapa faktor yang mempengaruhinya adalah:
·               Tipe shot yang digunakan
·               Frame shot
·               Latar belakang frame
·               Ilusi kedalaman shot/pengambilan
·               Warna dan cahaya dalam pengambilan gambar
Beberapa gambar subyek dot disorot dari berbagai angel, namun ada pula subyek yang terlihat paling bagus diambil dari angel tertentu. Angel kamera dinyatakan dari angka derajat. Jenis ketentuan yang ditulis untuk pembuatan film zaman dahulu masih berlaku hingga kini di kalangan pemula, yakni sebagai berikut:
·               Ketentuan 180 derajat
Aturan ini menjelaskan bahwa pergerakan satu atau beberapa subyek adalah pusat suatu lingkaran dan diameter lingkaran tersebut melewati pergerakan tersebut, dan pengambilan gambar hanya diperbolehkan dari sudur 180 derajat pada salah satu sisi lingkaran.
·               Ketentua 30 derajat
Saat mengambil gambar di ketentuan sudut 80 derajat, penempatan kamera tidak boleh  kurang dari 30 derajat dari posisi terakhir kamera.
Meskipun ketentuan P180 dan 30 derajat masih diakui kebenarannya saat ini, dapat dipahami bahwa posisi setengah lingkaran dapat berubah dalarn suatu scene sehingga ada banyak cara untuk mengambil gambar dari kedua sisi lingkaran. Ketentuan 30 derajat masih merupakan latihan dasar, walaupun sudutnya terkadang bisa lebih kecil.
d.             Sense Of Camera Movement
·               Pan, Panning.
Pan adalah gerakan kamera secara horisontal (mendatar) dari kiri ke akanan atau sebaliknya.
Pan Right: Kamera bergerak memutar ke kanan.
Pan Left: Kamera bergerak memutar ke kiri.
Gerakan pan biasanya dilakukan untuk mengikuti gerakan subyek (orang yang sedang berjalan), mempertunjukkan suatu pemandangan yang luas secara menyeluruh, gerakan pan secara pelan menimbulkan perasaan menanti. Kadang-kadang panning cepat atau swish pan dilakukan untuk menghubungkan dua peristiwa yang terjadi di dua tempat.
·               Tilt, Tilting
Tilting adalah gerakan kamera secara vertikal, mendongak dari bawah ke atas atau sebaliknya.
Tilt Up: Mendongak ke atas.
Tilt Down: Menunduk ke bawah.
Gerakan Tilt dilakukan untuk mengikuti gerakan obyek (peluncuran balon, pesawat take off, dll), untuk menciptakan efek dramatis, emmpertajam situasi.
Seperti halnya dengan gerakan panning, alangkah baiknya apabila ditentukan dulu titik awal dan titik akhir shot.
·               Dolly, Track
Dolly atau track adalah gerakan kamera di atas tripod atau dolly mendekati atau menjauhi subyek.
Dolly In: Mendekati subyek
Dolly Out: Menjauhi subyek
·               Pedestal
Pedestal adalah gerakan kamera di atas pedestal yang bisa dinaik-turunkan. Kalau sekarang ini kebanyakan menggunakan Porta Jib Traveller.
Pedestal Up: Kamera dinaikkan.
Pedestal Down: Kamera diturunkan.
·               Crab
Gerakan kamera secara lateral atau menyamping, berjalan sejajar dengan subyek yang sednag bergerak.
Crab Left: Bergerak ke kiri.
Crab Right: Bergerak ke kanan.
·               Crane
Crane adalah gerakan kamera di atas katrol naik atau turun.
·               Arc
Arc adalah gerakan kamera memutar mengitari obyek dari kiri ke kanan atau sebaliknya.
·               Zoom
Zoom adalah gerakan lensa zoom mendekati atau menjauhi obyek secara optik, dengan mengubah panjang fokal lensa dari sudut pandang panjang sempit (telephoto) ke sudut lebar (wide angle) atau sebaliknya.
Zoom In: Mendekatkan obyek dari Long Shot ke Close Up.
Zoom Out: Menjauhkan Obyek dari Close Up ke Long Shot.
Perbedaan visual Zooming dengan Tracking: Zooming yakni memperbesar atau memperkecil obyek dengan mengubah sudut pandang lensa. Dengan membuat zoom in, latar belakang menjadi out focus, gambar menjadi datar. Kesan yang kita peroleh seolah-olah subyek kita dekatkan atau jauhkan dari pandangan kita. Sedang Tracking yakni mendekati atau menjauhi obyek dengan mengubah kedudukan kamera. Dengan melakukan Dolly In, latar belakang dan latar depan tetap fokus, gambar lebih mempunyai kedalaman, memberikan kesan lebih dinamis dengan gerak gambar yang sesungguhnya. Gerakan Dolly lebih impresif, bila melewati pintu-pintu, lekukan, ataupun sofa dengan maksud menyajikan pandangan subyektif dari adegan.
·               Rack Focus
Rack Focus atau Selective Focusing adalah mengubah fokus lensa dari obyek di latar belakang ke obyek di latar depan atau sebaliknya, untuk mengalihkan perhatian penonton dari satu onyek ke obyek lainnya.
e.              Sense Of Composition
Komposisi adalah bagian yang paling terpenting pada komunikasi visual karena komposisi adalah usaha untuk menata semua elemen visual dalam frame. Menata elemen visual di sini bisa diartikan kita mengarahkan perhatian penonton pada informasi yang kita berikan kepada mereka. Atau dalam arti lain kita mengarahkan penonton pada Point of Interest (POI) dalam gambar yang kita buat. Dengan mengarahkan penonton pada Poi maka penonton akan bisa mengikuti cerita dalam film kita dengan emosi sepenuhnya. Jika kita terlalu banyak meletakan Poi dalam sebuah gambar maka mata atau perhatian penonton akan terbagi-bagi, akhirnya perhatian mereka pada cerita juga akan terganggu.
Dalam film atau dalam komunikasi visual kita harus memanfaatkan waktu seefisien mungkin agar penonton bisa mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan dalam memahami film kita. Komposisi memang mempunyai aturan-aturan yang sangat ketat, akan tetapi kita bisa saja melawan aturan tersebut asalkan tetap bisa mengarahkan perhatian penonton pada Poi. Banyak sekali factor yang mempengaruhi komposisi di antaranya; warna, garis, tekstur, bentuk, ukuran, dan sebagainya. Yang menjadi sedikit mempunyai tantangan adalah dalam film kita mengkomposisi gerak. Karena bisa saja subjek atau kamera bergerak terus menerus sehingga kita harus terus mengatur elemen-lemen visual tersebut dalam frame kita, sehingga penonton tetap setia pada Poi.
f.              Sense Of Continuity
Kontinuitas adalah mempertahankan alur visual yang sudah terjalin dan terarah Detil-detil produksi di antara pengambilan gambar dan adegan-adegan. Kontinuitas terbagi menjadi beberapa macam, yakni sebagai berikut:
·               Kontinuitas isi. Mencakup semua elemen visual yang berhubungan dengan pengambilan gambar, yaita orang (pemain), properti, busana dan tata rias. Contoh: Seorang wanita duduk di kursi sambil membaca dengan tenang. Ketika adegan ini dibuat dalam beberapa kali pengambilan gambar dan harus ditampilkan berkelanjutan, semua elemen visual yang ada harus tetap sama. Buku yang sama, pakaian yang sama, begitu pula tata rambutnya, serta kursi dengan ornamen yang sama.
·               Kontinuitas gerak. Mayoritas gambar terdiri dari bentuk pergerakan, sekalipun hanya berupa sedikit gerakan. Tapi sebuah gerakan kecil dapat menjadi gerakan besar. Karena itu amatlah penting memperhatikan pergerakan tersebut beserta arahnya, karena gerakan-gerakan tersebut dapat berulang atau berlanjut pada beberapa adegan. Pergerakan atau perpindahan harus diamati dengan cermat supaya cocok dengan gambar sebelumnya.
·               Kontiniutas Isi. Adalah posisi subyek/obyek di dalam layar. Jika posisi subyek ada di posisi kanan layar pada pengambilan pertama, maka ia harus tetap pada posisi yang sama pada pengambilan berikutnya dan tidak boleh berada di posisi kiri layar. Apabila ada dua gambar yang diedit bersamaan untuk ditampilkan berkelanjutan, maka kontinuitas posisi harus dipertahankan. Bila tidak pandangan pemirsa akan loncat dari satu sisi ke sisi lainnya. Kontinuitas posisi juga berlaku dalam pengambilan gambar obyek.
·               Kontinuitas Suara. Kontinuitas suara juga penting. Tidak hanya berhubungan dengan posisi latar depan dan belakang tapi juga dari segi perspektif kontinuitas suara menjadi perhatian pemirsa. Pemirsa berharap bunyi detak jam di atas rak meja yang terdengar dalam satu gambar akan terdengar pada gambar berikutnya. Bila ini tidak terjadi, berarti jam telah berhenti, dan secara dramatis akan menimbulkan makna berbeda. Harus ada keseimbangan antara dialog pada latar depan dengan suara pada latar belakang, tapi meskipun dialog suara pada latar depan dapat berganti pada gambar berikutnya suara di latar belakang harus tetap sama.
Kontinuitas suara jg berlaku meski suara hanya terdengar tanpa ada visual. Pemirsa tetap mernerlukan suara yang sama pada gambar berikutnya untuk menyesuaikan dengan gambar sebelumnya. Ada pengecualian dalam persyaratan dasar ini, yaitu apabila ada gambar yang menunjukkan mengapa perubahan terjadi. Contoh: Perubahan dari lokasi kota ke pedesaan. Perubahan suara memiliki makna yang jelas. Contohnya: suara pesawat   yang sedang mendarat berubah menjadi suara gesekan roda pesawat di atas landasan pacu.

Karakteristik Dan Ideologi Sistem Komunikasi Indonesia



Berdasarkan perspektif ideologi, Sistem Komunikasi Indonesia dapat juga di sebut Sistem Komunikasi Pancasila yang sangat berbeda dengan Sistem Komunikasi Otoritarian, Sistem Komunikasi Libertarian, Sistem Komunikasi Komunis, dan sstem komunikasi lainnya.
A.           Sistem Komunikasi Pancasila
Penyebutan Sistem Komunikasi Indonesia sebagai Sistem Komunikasi Pancasila telah sejalan dengan penyebutan Sistem Pers Pancasila, Sistem Perfilman Pancasila dan Sistem Penyiaran Pancasila. Hal itu menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi resmi Negara Republik Indonesia telah diaplikasikan dan diaktualisasikan dalam Sistem Komunikasi Indonesia. Dengan demikian, Sistem Komunikasi Indonesia sebagai Sistem Komunikasi Pancasila memiliki muatan yang berat tentang nilai-nilai (values) dan bobot ideologi karena pers, perfilman, dan penyiaran sebagai lembaga sosial dan media massa berorientasi, bersikap, dan berperilaku berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Hal itu emmberi gambaran penekanan pada ranah atau domain afektif yang sangat tajam yang berkaitan erat dengan agama, etika, dan moral.
1.             Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai religius yang termuat dalam Pancasila, terutama pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dimaksudkan agar politik negara mendapatkan dasar moral yang kuat. Sila Ketuhanan YME tidak hanya bermakna sebagai dasar hormat menghormati agama masing-masing, tetapi juga menjadi dasar untuk memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan antara manusia dan bangsa.
Sebagai  aplikasi dan aktualisasi dari kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan YME itu, dalam setiap undang-undang, termasuk UU Pers, UU Perfilman, dan UU Penyiaran yang disahkan atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia dengan Presiden Republik Indonesia, selalu terdapat kalimat pembuka, “Atas Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa”. Hal yang sama juga terjadi dalam setiap Peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan lainnya yang dibentuk atau diterbitkan oleh negara. Dengan demikian segala peraturan perundang-undanngan dan ketentuan lainnya dalam Sistem Komunikasi Indonesia yang berwawasan keindonesiaan itu senantiasa mengandung nilai-nilai agama, moral, dan etika sebagai aplikasi dan aktualisasi dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu.
Dilihat dari perspektif etika penyebutan diri sebagai Pers Pancasila bagi Pers Indonesia oleh Dewan Pers (1984), yang beranggotakan insan pers ditambah unsur masyarakat (ulama, pendidik, akademisi) dan unsur pemerintah, merupakan suatu bentuk kesadaran etika mereka, terhadap adanya nilai-nilai etika bangsa terutama yang bersumber dari sila Ketuhanan YME. Kesadaaran etika yang seperti itu dijabarkan dalam kode etik jurnalistik dan kode etik lain dari organisasi wartawan atau organisasi jurnalistk yang ada di Indonesia.
Kesadaran etik tersebut diaplikasikan dalam Sistem Komunikasi Indonesia, yang diselenggarakan Pancasila dan UUD 1945, terutama yang terkait dengan sila Ketuhanan YME, dalam bentuk pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran, sebagai aplikasi dan aktualisasi dari arah penyiaran, yang terkandung dalam rumusan Undang-Undang Penyiaran 2002 (Pasal 5), yaitu menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa. Rumusan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung juga dalam konsederans Undang-Undang Penyiaran 2002 (butir e), yaitu bahwa penyelenggaraan penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribaian, dan kesatuan bangsa yag berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam Undang-Undang Perfilman 2009 (Pasal 2 butir a) disebutkan dengan jelas bahwa perfilman berasaskan Ketuhana yang Maha Esa. Hal itu dimaksudkan bahwa dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, perfilman harus menempatkan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai Maha Suci, Maha Agung, dan Maha Pencipta. Hal itu kemudian dijabarkan dalam kode etik yang dimiliki oleh organisasi insan perfilman Indonesia.
Dalam upaya mengaplikasikan dan mengakualisasikan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Sistem Komunikasi Indonesia yang dapat juga disebut sebagai Sistem Komunikasi Pancasila, senantiasa mengandung substansi atau rumusan tentang iman dan takwa (kepada Tuhan YME). Hal itu tercantum dalam Undang-Undang Penyiaran 2002 (Pasal 3) dalam tujuan penyiaran, yaitu frasa, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa. Substansi tersebut juga ditemukan dalam Undang-Undang Penyiaran 1997 dengan rumusan pada konsiderans bahwa penyiaran melalui radio dan televisi memiliki peranan penting dalam meningkatkan kehidupan bangsa yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dirumuskan juga bahwa penyiaran yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berasaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penjabaran iman dan takwa itu dapat juga disimak dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia, sebagai amanah Pasal 48 Undang-Undang Penyiaran 2002. Terdapat substansi yang berkaitan dengan rasa hormat terhadap pandangan keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta palarangan dan pembatasan adegan seks. Lembaga penyiaran juga dilarang menyajikan adengan pemerkosaan atau pemaksaan seksual, atau adegan yang menggambarkan upaya ke arah pemerkosaan dan pemaksaan seksual, serta perilaku menyimpang, pekerja seks komersial, homoseksual, dan adegan telanjang.
Meskipun dalam Undang-Undang Pers 1999 tidak terdapat satu kata atau frasa iman dan takwa, dalam Pasal 5 ayat 1 dirumuskan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat dengan menghormati asas praduga tidak bersalah. Karenanya, wartawan Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, wajib melaporkan dan menyiarkan informasi secara faktual dan jelas sumbernya.
Dalam perfilman, kata atau frasa iman dan takwa juga sama sekali tidak ditemukan. Namun aplikasi dan penjabarannya dapat ditemukan dlam kalimat bahwa perfilman diselenggarakan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Perfilman dalam Undang-Undang Perfilman 1992 diarahkan untuk terpeliharanya rasa kesusilaan. Demikian juga dalam Undang-Undang Perfilman 2009, terdapat larangan melakukan pertunjukan film yang mengandung isi yang menonjolkan pornografi, menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama.
Kode etik dalam Sistem Komunikasi Indonesia sebagai pengalaman Pancasila, menunjukkan adanya kesadaran tentang peranan Tuhan. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dipandang sangat sentral dalam menjalankan kgiatan jurnalistik dan karya seni budaya serta kegiatan komunikasi lainnya. Iman dan takwa atau sikap yang percaya dan apresiatif kepada Tuhan bukanlah nilai yang statis, melainkan nilai yang dinamis, karena teraktualisasi dalam bentuk akhlak mulia atau kelakuan baik. Dengan demikian beriman kepada dan bertakwa kepada Tuhan YME, dipandang sebagai sumber etika dan moral yang sangat kuat bagi seorang komunikator profesional, agar secara sungguh-sungguh selalu menempuh jalan yang jujur dalam memperoleh berita.
Pers, film, dan televisi Indonesia memang wajib memiliki kekuatan moral yang bersumber dari nilai-nilai agama, moral, dan etika bangsa sebagai aplikasi nilai-nilaia Ketuhanan Yang maha Esa, sehingga eksistensi komunikasi Indonesia terutama dalam abad ke-21 itu bersifat fungsional dan bukan sekedar substansial. Film, radio, dan televisi nasional tidka boleh merujukan kesadaran etikanya kepada semangat liberalisme Barat, melainkan harus mengacu kepada Pancasila sebagai suatu sumber nilai yang telah banyak memberikan kekuatan moral yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demikian juga Pancasila sebagai filsafat dan ideologi terbuka dan tidak bersifat dogmatif itu tetap relevan sebagai rujukan nilai etika dan moral, sumber pencerahan, sumber inspirasi, dan solusi berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan.
2.             Nilai-Nilai Kemanusiaan dan Persatuan Indonesia
Selain aplikasi dan aktualisai nilai-nilai Ketuhanan YME, nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab telah ditemukan juga dalam Sistem Komunikasi Indonesia. Kemanusiaan yang adil dan beradab itu merupakan manifestasi atas kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber dan tujuan kebenaran serta nilai-nilai (values). Nilai-nilai dasar yang tercakup dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab itu ialah bahwa manusia adalah makhluk yang monodualis. Maksudnya, manusia secara individu memiliki kebebasan sebagai bentuk hak asasi manusia (HAM), dan manusia sebagai makhluk sosial, juag memiliki tanggung jawab sosial.
Nilai-nilai dasar tersebut tergambar dalam prinsip bebas dan bertanggung jawab, baik dalam Sistem Pers Indonesia, maupun dalam Sistem Penyiaran Indonesia. Dalam Undang-Undang Pers 1999 disebutkan bahwa kebebasan atau kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Dalam menjalankan peranannya pers nasional mendorong terwujudnya hak asasi manusia serta menghormati kebhinnekaan. Kebebasan itu diimbangi dengan tanggung jawab antara lain bahwa pers dilarang memuat iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
Aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab itu juga terjadi dalam perfilman. Dalam Undang-undang Perfilman 2002 yang membentuk Sistem Perfilman Indonesia telah disebutkan bahwa salah satu asas perfilman itu adalah kemanusiaan. Maksudnya menunjukkan bahwa perfilman harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia.
Dalam sistem Penyiaran Indonesia yang dikembangkan dari Undang-Undang Penyiaran 2002, aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab itu ditemukan juga dalam konsiderans bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras, dan seimbang dengan kebebasan.
Demikian juga dalam Pedoman Perilaku Televisi Indonesia ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta) denga tegas disebutkan bahwa anggota ATVSI mendukung dan membantu memperkukuh integrasi bangsa, serta terbinanya watak dan jati diri bangsa. Anggota ATVSI harus menghindari penayangan yang dapat memicu pertentangan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Sebaliknya dalam Undang-Undang Pers 1966, 1982, dan 1999, tidak pernah termuat istilah Persatuan Indonesia, persatuan bangsa atau integrasi nasional. Namun, secara tersirat dapat dipahami bahwa upaya ke arah itu, dapat disimak dalam Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia, yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara. Berdasarkan kode etik jurnalistik sebagai rujukan etik dan moral, dalam Sistem Pers Pancasila dkembangkan juga asas perwatakan yang objektif yang tidak mencampur adukan antara kejadian atau fakta dan pendapat atau opini serta menyajikan berita secara berimbang dan adil.
Sesuai dengan karakteristik dan jati diri Pers Pancasila yang mengkombinasikan kolektivisme dan individualisme serta kebebasan dan tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, masyarakat pers memberikan rumusan mengenai berita yang berbeda dengan rumusan berita yang dijumpai dalam kepustakaan yang berasla dari luar. Berita dalam Sistem Pers Pancasila adalah peristiwa yang sudha sampai pada khalayak.
Berdasarkan hal tersebut, berita dalam Sistem Pers Pancasila tidak boleh hanya dipandang sebagi komoditas (barang dagangan) sebagaimana dikenal dalam pers industri Barat, tetapi berita harus mengandung makna kultural dan edukatif. Tidak semua peristiwa yang luar biasa dan aktual dapat diberitakan atau disiarkan kepada khalayak, terutama jika hal itu diduga dapat membahayakan persatuan Indonesia, keselamatan, dan keamanan negara, kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
3.             Nilai-Nilai Kerakyatan dan Keadilan Sosial
Dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaa dalam permusyawaratan/perwakilan, terkandung konsep kedaulatan rakyat yaitu kedaulatan berada ditangan rakyat, yang diimplementasikan dengan sistem perwakilan untuk mengambil keputusan dengan cara bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Hal itu mencakup nilai-nilai dasar tentang dialog, yaitu komunikasi yang bersifat horizontal, setara dan manusiawi berdasarkan kekuatan penalaran dengan argumentasi yang rasional, saling menghormati. Nilai dasar dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mencakup keadilan dalam bidang sosial, terutama keadilan dalam bidang ekonomi yaitu pembagian kekayaan atau rezeki agar setiap orang memperoleh bagian yang wajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagai manifestasi dari kemanusiaan yang adil dan beradab yang bersumber dari Tuhan YME.
Hal tersebut merupakan salah satu karakteristik ideologi Indonesia yang mengombinasikan antara demokrasi dan keadilan sosial. Aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kerakyatan dalam bentuk kedaulatan rakyat itu dijabarkan dalam bentuk kemerdekaan pers dalam Undang-Undang Pers 1999. Dalam undang-undang itu disebutkan pada konsiderans bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat. Demikian juga dalam Pasal 2 dirumuskan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Meskipun dalam Sistem Pers Indonesia sebagai Sistem Pers Pancasila, sama sekali tidak ditemukan istilah keadilan sosial, dalam Undang-Undang Pers 1999, pembagian kekayaan atau rezeki dalam perusahaan tercantum dengan jelas dan tegas. Undang-undang itu mengatur bahwa perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau laaba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Dalam sistem Penyiaran Indonesia, istilah kedaulatan rakyat, ditemukan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Penyiaran 2002, “Bahwa kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia.......”. tertulis juga bahwa penyiaran harus mampu melindungi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan, termasuk menjamin kebebasan berkreasi dengan bertumpuh pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum.
Upaya negara untuk menghindari monopoli dalam pembagian rezeki sebagai bentuk aplikasi nilai-nilai keadilan sosial, juga diwujudkan melalui kesempatan yang luas dalam dunia perfilman. Kemudian peran serta masyrakat sebagai aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kerakyatan atau nilai-nilai demokrasi yang semakin luas itu diwujudkan melalui kesempatan yang luas sebagai pelaku perfilman. Peran ini sendiri diwadahi oleh Undang-Undang Perfilman. Ditambah lagi untuk menghindari terjadinya monopoli dalam usaha perfilman dan monopoli informasi yang berkaitan dengan produksi dan distribusi pesan, dalam Undang-Undang Perfilman 2009 terdapat aturan yang melarang usaha perfilman memiliki usaha perfilman lain yang dapat mengakibatkan integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak langsung, yaitu sumber penerimaan pasokan film kepada pihak lain.
B.            Usaha Bersama dan Kekeluargaan
Salah satu hal yang mendai pusat kajian dalam Sistem Komunikasi Indonesia adalah pemikiran pers, film, radio, dan televisi, karena pemilikan pers, film, radio, dan televisi itu sangat berkaitan dengan konsep kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi yang tercakup dalam kebebasan informasi.
Kegiatan jurnalistik yang berintikan berita atau informasi publik yang bersifat umum dan aktual itu, diselenggarakan juga melalui radio dan televisi dalam bentuk siaran berita, dan melalui film dalam bentuk film berita.
Pers dalam arti kegiatan jurnalistik yang bebas menurut pandangan orang komunis adalah pers yang tidak dimiliki atau tidak dikendalikan oleh kapitalis. Sedang orang Amerika menyebut bahwa pers yang bebas adalah pers yang dimiliki oleh kapitalis dan tidak dikontrol oleh pemerintah. Dengan adanya dua pandangan yang bertolak belakang tersebut, dalam Sistem Komunikasi Indonesia, ditempuh semacam “jalan tengah” karena dalam ideologi Pancasila, Indonesia dianut konsep kedaulatan rakyat yang bermakna demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi.
1.             Perusahaan Pers, Idealisme, dan Komersialisme
Pada awalnya terdapat sejumlah surat kabar nasional yang dimiliki dan dikendalikan atau diawasi oleh partai politik sebagai alat perjuangan nasional. Kemudian dinamika politik memisahkan pers dari partai politik yang kemudian secara berangsur-angsur bergeser ke tangan pemilik modal.
Dalam Undang-Undang Pers tahun 1999 dinyatakan bahwa perusahaan pers didirikan oleh setiap warga negara dan negara harus berbentuk badan hukum Indonesia (Pasal 9), seperti PT, koperasi, yayasan atau BUMN. Setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja sesuai dengan hak asasi manusia, termasuk mendirikan perusahaan pers. Demikian juga pemerintah, atas nama negara, dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers.
Perusahaan pers pada awaln perkembangannya diawasi oleh pemerintah melalui SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang diatur dlaam Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 Tentang Pers. Perlunya SIUPP, disamping pengelolahan secara kekeluargaan serta adanya saham bagi wartawan dan karyawan pers, merupakan juga identitas Sistem Pers Pancasila.
Peran negara merupakan salah satu ciri negara kesejahteraan dan negara kekeluargaan untuk melindungi insan pers yang memiliki idealisme yang besar dengan perusahaan pers yang masih sedang berkembang, agar tetap mampu eksis menjalankan dan mengembangkan perusahaan pers yang dikelolanya.
SIUPP kemudian dihilangkan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, namun fungsi ekonomi bagi pers dicantumkan secara resmi dalam Pasal 2. Hal itu menunjukkan perubahan yang mendasar dalam teori dan sistem Pers Pancasila, sebagai akibat terjadinya liberalisasi dalam bidang politik dan bidang ekonomi. Kombinasi antara kolektivisme dan individualisme dlaam konsep kedaulatan rakyat berubah dengan membesarnya individualisme dan mengecilnya kolektivisme. Demokrasi politik tidak diimbangi dengan demokrasi ekonomi dalam kehidupan pers. Padahal kedaulatan rakyat yang tercantum dalam konstitusi dan merupakan rujukan kemerdekaan pers, mengandung makna demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi.
Pers yang lebih menekankan orientasi politik mengalami kemunduran, dan berkembanglah surat kabar yang berorientasi bisnis, dengan perusahaan pers yang semakin rasional dan profesional. Per bisnis atau per komersial pada umumnya bersifat independen dan mengutamakan pelayanan informasi kepada masyarakat daripada berusaha berperan sebagai pengarah dalam perubahan. Pers bisnis yang lebih berorientasi pada kepentingan pasar, mendorong pemberitaan objektif dan pengembangan wartawan profesional.
Perkembangan di bidang pendidikan, transportasi, kesejahteraan, dan teknologi dengan sendirinya ikut pula mendorong perkembangan penyebaran surat kabar, sehingga akhirnya pers Indonesia sama sekali tidak dapat menghindarkan diri ke arah perkembangan sebagai pers bisnis.
Dalam teori dan sistem Pers Pancasila, negara memiliki kewajiban untuk embetasi perkembangan pers ke arah bisnis raksasa agar pers tidak terlalu berorientasi bisnis seperti negara kapitalis liberal dengan melupakan idealismenya. Itulah sebabnya untuk penerbitan pers, pada masa lalu diperlukan SIUPP, agar konglomerasi dalam bidang pers dapat dikendalikan dan diawasi.
Teori Pers Pancasila yang bertumpu pada filsafat Pancasila dan dijabarkan dlaam bentuk konsep kedaulatan rakyat dan negara kesejahteraan, secara esensial menghendaki tumbuhnya pers yang sehat dari segi perusahaan sebagai sebuah bidang usaha bagi swasta atau negara dengan modal sendiri, tanpa larangan mencari keuntungan. Namun harus tetap dijaga agar bisnis pers itu senantiasa memperhatikan aspek idealisme sebagai alat perjuangan nasional dan sebagai pers pembangunan. Pers sebagai perusahaan tidka boleh melupakan idealismenya karena pers nasional lahir, tumbuh dan berkembang sebagai media perjuangan yang menyebarkan nasionalisme dan untuk memperoleh kemerdekaan.
2.             Perusahaan Film, Radio, dan Televisi
Dalam sistem Perfilman Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perfilman 2009, terdapat kegiatan perfilman yang bersifat nonkomersial dan usaha perfilman yang bersifat komersil. Meliputi: pembuatan film, jasa teknik film, pengendara film, pertunjukan film, penjualan film, dan/atau penyewaan film, pengarsipan film, ekspor film, dan impor film. Kecuali usaha impor film, usha perfilman itu wajib mengutamakan film Indonesia dan menggunakan sumber daya dalam negeri secara optimal, yaitu: insan perfilman, alam, bahan dan/atau produk, jasa, peralatan, dan kekayaan budaya Indonesia.
Selain itu, perfilman juga dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dpaat mengakibatkan integritas vertikal, baik langsung maupun tidak langsung. Integritas vertikal yang dimaksud, adalah sumber penerimaan pasokan film kepada pihak lain dari hulu sampai hilir atas dua jenis usaha atau lebih. Demikian juga pelaku usaha perfilman dilarang untuk mempertunjukkan film hanya berasal dari satu usaha pembuat film atau usaha pengedraan film dan usaha impor film melebihi 60% jam pertunjukkan selama 6 jam perbulan berturut-turut yang mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Berdasarkan hal tersebut maka dlaam Siste Perfilman Indonesia, tidak boleh terjadi monopoli dalam usaha perfilman untuk mencegah terjadi monopoli informasi baik dlaam produksi maupun dalam distribusi pesan. Hal tersebut sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUP 1945 yang menghendaki antara lain, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Dalam sistem penyiaran indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Penyiaran 2002, Radio dan TV dikembangkan dalam bentuk lembaga penyiaran yang bersifat nonkomersial dan lembaga penyiaran yang bersifat komersial.lembaga nonkomersial, adalah Lembaga Penyiaran Publik yang didirikan oleh komunitas tertentu. Sedang lembaga komersial adalah Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Dalam Sistem Penyiaran Indonesia sebagai Sistem Penyiaran Pancasila yang berbasis ideologi Pancasila disebutkan bahwa penyiaran memiliki tujuan agar industri penyiaran itu tumbuh sesuai dengan fungsi ekonomi dan penyiaran Indonesia. Selain harus memperhatikan seluruh aspek penyiaran kehidupan berbangsa dan bernegara, juga harus mempertimbangkan penyiaran sebagai lembaga ekonomi yang penting dan strategis, baik dlam skala nasional maupun internasional.
3.             Vitalisasi dan Aktualisasi Negara Kesejahteraan
Pada penghujung abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 pers nasional mengalami reformasi. Pengendalian negara terhadap perusahaan pers kemudian hilang dlam UU Pers 1999. Terjadilah liberalisasi, kapitalisasi dan komersialisasi dalam kehidupan pers nasional. Kekhawatiran berkembangnya perusahaan pers atau penerbitan pers ke arah bisnis raksasa dan monopoli informasi yang mengancam demokrsi, betul-betul menjadi kenyataan. Namun setelah berlangsung selama satu dekade, liberalisasi, kapitalisasi, dan komersialisasi dalam pers telah menimbulkan sejumlah implikasi sosial, budaya, ekonomi, politik, dan ketahanan nasional, yang mengancam demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang tersimpul dalam konsep kedaulatan rakyat dan fungsi negara kesejahteraan.
Kesadaran akan perlunya aktualisasi kedaulatan rakyat dan negara kesejahteraan serta Sistem Pers Pancasila sebagai bagian dari Sistem Komunikasi Indonesia juga timbul dikalangan elit nasional dan sejumlah akademisi yang sadar ancaman neoliberalisme dan kapitalisme baru. Kesadaran ersbeut terlihat dalam Undang-Undang Penyiaran 2002 yang menjadi rujukan utama Sistem Penyiaran Indonesia dan Undang-Undang Perfilman yang melahirkan Sistem Perfilman Indonesia.
Urgensi vitalisasi dan aktualisasi Sistem Komunikasi Pncasila yang mencakup Sistem Pers Pancasila, Sistem Perfilman Pancasila, dan Sistem Penyiaran Pancasila, merupakan slaah stau aspek negara kesejahteraan dna kedaulatan rakyat yang berbasis dan berdasar ideologi Pnacsila mulai mengemuka dalam wacana publik.
Kini, negara kesejahteraan semakin penting karena peranan negara dalam menciptakan kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan keadilan ekonomi, semakin diakui urgensinya dalam kehidupan pers. Oleh karena itu, masyarakat pers harus secara suka rela mengembangkan kebebasan positif yaitu kebebasan untuk menciptakan kesejahteraan serta keadilan sosial dan ekonomi, berdasarkan rasa etik dan kekuatan penalarannya.