Jumat, 08 Februari 2013

Studi Analisis Penyalahgunaan Narkoba Oleh Remaja dalam Perspektif Psikologi Komunikasi



A.           Latar Belakang
Masa remaja adalah masa yang penuh dengan idealisme-idealisme yang membawa banyak nilai-nilai positif, namun banyak juga nilai-nilai negatif yang mengiringinya. Dalam diri remaja tersimpan energi yang besar untuk berkembang, energi motivasi berprestasi, motivasi kreativitas dan motivasi kemandirian. Energi perkembangan tersebut bukan saja mendorong ke arah positif, namun energi tersebut adalah netral yang mampu digerakkan ke arah negatif. Kemampuan memanage energi perkembangan pada masa ini sangat penting untuk optimalisasi perkembangan kepribadian menuju dewasa.
Ketidakmampuan memanage energi perkembangan ini akan mengakibatkan energi ini menjadi liar dan buas. Keliaran dan kebuasan energi ini antara lain terlihat dalam fenomena penyalahgunaan narkoba oleh remaja.[1]
Fenomena ini berawal ketika remaja tersebut sedang dalam pencarian jati diri. Mereka mengalami krisis identitas karena untuk dikelompokkan ke dalam kelompok anak-anak merasa sudah besar, namun kurang besar untuk dikelompokkan dalam kelompok dewasa. Hal ini merupakan masalah bagi setiap remaja di belahan dunia ini. Apalagi jika ditambah dengan permasalahan komunikasi antara remaja tersebut dengan orang tua, teman, dan orang-orang sekitar. Kurangnya komunikasi, atau terjadi komunikasi yang tidak baik pun turut menjadi pemicu terjadinya kenakalan remaja dalam mengkonsumsi narkoba. Mereka berbuat demikian, karena sebagai wujud pelarian atas permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Oleh karena pergumulan di masa remaja ini, maka remaja mempunyai kebutuhan sosialisasi yang seoptimal mungkin, serta dibutuhkan pengertian dan dukungan orangtua dan keluarga dalam kerentanan di masa remaja. Bila kebutuhan remaja kurang diperhatikan, maka remaja akan terjebak dalam perkembangan pribadi yang “lemah”, dan inilah yang menyebabkan remaja dengan mudah terjerumus ke dalam belenggu penyalahgunaan narkoba.[2]
Melihat fenomena kali ini, Penulis akan mencoba untuk menganalisa kemudian memberikan solusi berdasarkan perspektif psikologi komunikasi.
B.            Kajian Teoritik
Komunikasi dan Psikologi adalah bidang yang saling berkaitan satu sama lain, terlebih sama-sama melibatkan manusia. Komunikasi adalah kegiatan bertukar informasi yang dilakukan oleh manusia untuk mengubah pendapat atau perilaku manusia lainnya. Sementara, perilaku manusia merupakan objek bagi ilmu psikologi. Sehingga, terbentuklah teori psikologi komunikasi.
Komunikasi merupakan sebuah peristiwa sosial yang terjadi ketika seorang manusia berinteraksi dengan manusia yang lain. Secara psikologis, peristiwa sosial akan membawa kita kepada psikologi sosial. Pendekatan psikologi sosial adalah juga pendekatan psikologi komunikasi.
Komunikasi dalam Psikologi
Terdapat beberapa pengertian komunikasi yang diramu oleh ilmu psikologi, misalnya, komunikasi adalah proses yang dilakukan oleh sebuah sistem melalui saluran tertentu untuk mengubah atau mempengaruhi sistem yang lain. Atau, komunikasi adalah pengaruh dari satu individu terhadap individu lain yang menimbulkan perubahan.[3]

Psikologi pun telah menghasilkan banyak teori yang berkaitan dengan ilmu komunikasi, di antaranya adalah:
·                Teori Psikoanalisis, yaitu manusia dikendalikan oleh keinginan terpendam di dalam dirinya (homo valens).
·                Teori Behaviorisme, yaitu manusia sangat dipengaruhi oleh informasi dari media massa. Hal tersebut dilandasi konsep behaviorisme, yaitu manusia dianggap sangat dikendalikan oleh alam (homo mechanicus).
·                Teori Psikologi Kognitif, yaitu konsep yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah informasi yang diterima (homo sapiens).
·                Teori Psikologi Humanistis, yaitu konsep yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya (homo ludens).
Proses komunikasi bisa terjadi dalam diri seorang individu, dengan orang lain, dan kumpulan-kumpulan manusia dalam proses sosial. Berdasarkan pendapat tersebut, Burgon & Huffner (2002) membuat klasifikasi tiga jenis komunikasi, yaitu:
·                Komunikasi Intrapersonal, yaitu proses komunikasi yang terjadi di dalam diri individu (internal). Contohnya adalah kegiatan merenung, berpikir, berdialog dengan diri sendiri, baik dalam keadaan sadar maupun tidak.
·                Komunikasi Interpersonal, yaitu proses komunikasi yang terjadi antara satu individu dan individu lain sehingga memerlukan tanggapan (feedback) dari orang lain. Contohnya, perbincangan dengan keluarga, pasangan, teman, rekan kerja, tetangga, dan sebagainya.
·                Komunikasi Massa, yaitu proses komunikasi yang dilakukan kepada sekumpulan manusia di mana di dalamnya terdapat proses sosial, baik melalui media massa atau langsung, dan bersifat satu arah (one way communication). Contohnya adalah kegiatan komunikasi (penyebaran informasi) yang terjadi di hadapan sekumpulan massa, melalui televisi, radio, media internet, media cetak, dan lain-lain.
Psikologi dalam Komunikasi
Psikologi telah lama berupaya memahami komponen-komponen yang terlibat dalam proses komunikasi, khususnya komunikator dan komunikan.
Psikologi meneliti karakteristik individu yang menjadi komunikan serta faktor-faktor internal maupun eksternal yang memengaruhi perilaku komunikasinya. Psikologi juga mempelajari sifat-sifat individu yang menjadi komunikator dan mencari tahu apa yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan satu sumber komunikasi dalam memengaruhi orang lain.
Fungsi Psikologi Komunikasi
Penggunaan Psikologi Komunikasi ditujukan untuk menghasilkan proses komunikasi yang berhasil dan efektif. Komunikasi yang efektif akan menyebabkan pengertian (pemahaman dan penerimaan), kesenangan (hubungan yang akrab dan hangat), perubahan sikap, hubungan sosial yang baik, dan tindakan.
C.           Analisa Fenomena: Konsepsi kenakalan Remaja dalam Behaviorisme
1.             Narkoba dan Kenakalan Remaja
Memang, penyalahgunaan narkoba dapat dikatakan sebagai penyakit endemik yang siap menyerang dan menular kepada siapa saja. Tidak mengenal batas umur maupun status sosial. Bagi mereka yang memiliki mental dan kepribadian yang labil, di samping keringnya nilai-nilai spiritual yang tertanam dalam jiwanya, disinyalir tidak akan luput dari upaya penularan ‘penyakit’ ini—terutama pada dataran remaja. Dengan ungkapan lain, dalam pandangan Dadang Hawari (1997, 133), penyalahgunaan narkoba merupakan penyakit kronis dalam masyarakat modern, yang berulangkali kambuh  dan hingga saat ini belum diketemukan upaya penanggulangan secara universal dan memuaskan, baik dari segi prevensi, terapi, maupun rehabilitasi.
Masa remaja merupakan era transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa sebagai generasi yang akan memegang estafet untuk meneguhkan dan mewarisi cita-cita  luhur bangsa di masa depan (leaders for tomorrow). Oleh karena itu, remaja adalah generasi harapan bangsa yang diharapkan memiliki potensi dan vitalitas serta semangat patriotik. Namun, keberadaan generasi muda, pada dasarnya, di samping memiliki nilai strategis, namun juga mengandung resistensi. Memiliki nilai strategis jika dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan bangsa. Sedangkan mengandung resistensi negatif jika menjadi beban dan tanggungan bagi masyarakat.
Oleh karena itu masa remaja disebut juga masa yang penuh kontradiksi. Sebagian orang mengatakan  masa remaja adalah masa energik, heroik, dinamis, kritis, dan masa paling indah. Tetapi di sisi lain ada yang mengatakan bahwa masa remaja adalah masa rawan, nyentrik, dan negative phase karena masa tersebut berada di ambang the best of time and the worst of time.
Pada masa ini seorang remaja ditandai oleh sikap ketidakmantapan, atau sikap tidak konsisten,  yakni berpindah-pindah prilaku atau norma. Dengan keperibadiannya yang seperti itu, sering masa mereka disebut strum und drang, dimana emosinya penuh gejolak yang menimbulkan kemauan-kemauan yang keras.
Ia berusaha menyadari tentang siapa dirinya, seraya mencari identitas egonya dengan melepas diri dari segala bentuk kekangan dan berontak terhadap norma-norma atau tradisi yang berlaku yang kiranya tidak dikehendaki. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zakiyah Darajat (1982, 9) bahwa masalah remaja adalah suatu masalah yang sebenarnya menarik untuk dibicarakan lebih-lebih pada akhir-akhir ini, dimana telah timbul akibat negatif yang sangat mencemaskan yang akan membawa kehancuran bagi remaja itu sendiri dan masyarakat pada umumnya.
Begitu pula di usia remaja, terdapat suatu gejala psikologis tertentu sebagai akibat masa perkembangan. Gejala yang paling menonjol pada masa perkembangan ini, yakni adanya kebutuhan atau keterikatan dalam kelompok sebaya (peer group) secara kuat. Seringkali juga terdapat persaingan tersembunyi, yang tujuannya untuk mendapatkan status dan prestise dalam suatu kelompok.
Dari gambaran di atas, maka dapat dipahami mengenai eksistensi sosok remaja dalam menyelami kehidupannya, baik dari segi karakter, sifat, maupun keperibadiannya. Remaja, dengan demikian, berada dalam masa transisi yang sedang mencari identitas diri sehingga tidak dapat terlepas dari persoalan-persoalan yang mengiringi masa pertumbuhan itu. Dan oleh karena itu, tidak sedikit remaja mengalami kegoncangan batin yang menggelisahkan dirinya.
Apabila diterpa pelbagai persoalan, baik karena faktor internal maupun faktor eksternal—yang menjadi latar belakang, seringkali mereka  tidak dapat mengontrol diri. Dalam menghadapi atau mengatasi problematika, mereka justru mengalami stress, cemas, frustasi, dan hilangnya kepercayaan diri yang terkadang menimbulkan tindakan-tindakan destruktif, melanggar, dan menyalahi norma-norma masyarakat, agama, maupun hukum. Perilaku menyimpang ini yang kemudian disebut sebagai kenakalan remaja atau juvenile dilikuency.
2.             Penyebab Kenakalan Remaja dalam Bentuk Penyalahgunaan Narkoba
Sebelum Penulis menjelaskan tentang penyebab dari penyalahgunaan narkoba oleh remaja, terlebih dahulu Penulis paparkan mengenai faktor-faktor yang menjadi penyebab kenakalan remaja. Sesungguhnya, kenakalan remaja tidak dapat dilepaskan dari dua faktor: yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah sesuatu yang lahir dari diri sendiri sebagaimana apa yang telah dipaparkan di atas. Sedangkan faktor eksternal adalah hal-hal di luar dirinya yang mempengaruhi dan menyebabkan kenakalan remaja di antaranya sebagai berikut, pertama, tidak adanya integritas yang harmonis antara lembaga kemasyarakatan yang ada. Kedua, keadaan keluarga tidak harmonis (broken home). Yakni ketika orang tua melupakan akan perannya. Dan ketiga, keadaan sekolah dengan sistem pendidikan yang tidak menarik dan menjemukan, dimana murid hanya sebagai “banking concept”.
Menurut Y. Bambang Mulyono, faktor yang tidak kalah pentingnya terhadap kenakalan remaja adalah karena kurang diterimanya remaja di dalam masyarakat. Akhirnya mereka memprotes kepada lingkungannya dengan tindakan-tindakan asosial.
Di samping itu, adanya kemajuan zaman seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus melaju, telah menimbulkan culture lag yang menyebabkan ketidakseimbangan, yakni kecenderungan kepada aspek materi sehingga menyebabkan kekurangan dan kekeringan nilai-nilai agama di jiwanya. Oleh karenanya, generasi muda tidak memiliki pegangan hidup lagi, sebab segala sesuatunya bersifat relatif.[4]
Menyimak uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan narkoba merupakan suatu bentuk kenakalan remaja itu sendiri. Karenanya, jika Penulis fokuskan menjadi faktor-faktor penyebab penyalahgunaan narkoba oleh remaja, akan dihasilkan penjelasan sebagai berikut:[5]
·                Faktor Internal (ciri kepribadian): Pola kepribadian seseorang besar pengaruhnya dalam penyalahgunaan narkoba. Ciri kepribadian yang lemah dan antisosial sering merupakan penyebab seseorang menjadi penyalahguna narkoba. Misalnya pendiam (introvert) yang cenderung asyik dengan dunianya sendiri.
·                Faktor keluarga. Beberapa kondisi keluarga yang berpengaruh terhadap penyalahgunaan narkoba adalah:
1) Hubungan antara anggota keluarga tidak harmonis.
2) Keluarga yang tidak utuh.
3) Suasana rumah diwarnai dengan pertengkaran yang terus-menerus.
4) Kurang komunikasi dan kasih sayang antara anggota keluarga.
5) Keluarga yang sering ribut dan berselisih.
6) Keluarga yang kurang mengamalkan hidup beragama.
7) Keluarga yang orang tuanya telah menggunakan narkoba
Menurut Sayuti (2006) keluarga sebagai lingkungan yang paling menentukan bagi terbentuknya perilaku remaja. Jika di dalam keluarga terdapat hubungan yang tidak harmonis, tingkat pendidikan yang rendah, rasa dan praktek keagamaan lemah, maka secara langsung atau tidak langsung akan memberikan pengaruh bagi kehidupan dan perilaku anaknya, terutama yang masih dalam usia remaja, karena di saat anak memasuki usia remaja, perkembangan emosinya masih labil, berperilaku ragu, sering uring-uringan, dan kecenderungan meniru gaya dan perilaku keluarga. Oleh karenanya, jika lingkungan keluarga tidak dapat memberikan contoh yang baik, maka lambat laun anak atau remaja akan mencari kepuasan di luar atau remaja akan mencari kepuasan di luar dan bisa menjerumuskannya ke dalam penyalahgunaan narkoba.
·                Faktor lingkungan teman sebaya. Pengaruh buruk dari lingkungan pergaulan, khususnya pengaruh dan tekanan dari kelompok teman sebaya sering menjadi sumber penyebab terjadinya penyalahgunaan narkoba. Kelompok teman sebaya tersebut berperan sebagai media awal perkenalan narkoba. Penyalahgunaan narkoba pada kelompok teman sebaya merupakan prediktor yang kuat terhadap penyalahgunaan narkoba pada remaja.
3.             Dampak Penyalahgunaan NAPZA
Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta masyarakat, bangsa, dan negara.
·                Bagi diri sendiri. Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum. Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis: 1) Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin, 2) Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan 3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.
·                Bagi keluarga. Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan.
·                Bagi pendidikan atau sekolah. NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.
·                Bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam.
4.             Kenyataan Terkait Kasus Penyalahgunaan Narkoba Dewasa Ini
Menurut kesepakatan Convention on the Rights of the Child (CRC) yang juga disepakati Indonesia pada tahun 1989, setiap anak berhak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi (termasuk HIV/AIDS dan narkoba) dan dilindungi secara fisik maupun mental. Namun realita yang terjadi saat ini bertentangan dengan kesepakatan tersebut, sudah ditemukan anak usia 7 tahun sudah ada yang mengkonsumsi narkoba jenis inhalan (uap yang dihirup). Anak usia 8 tahun sudah memakai ganja, lalu di usia 10 tahun, anak-anak menggunakan narkoba dari beragam jenis, seperti inhalan, ganja, heroin, morfin, ekstasi, dan sebagainya (riset BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia).
Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus pemakaian narkoba oleh pelaku dengan tingkat pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah 12.305. Data ini begitu mengkhawatirkan karena seiring dengan meningkatnya kasus narkoba (khususnya di kalangan usia muda dan anak-anak, penyebaran HIV/AIDS semakin meningkat dan mengancam. Penyebaran narkoba menjadi makin mudah karena anak SD juga sudah mulai mencoba-coba mengisap rokok. Tidak jarang para pengedar narkoba menyusup zat-zat adiktif (zat yang menimbulkan efek kecanduan) ke dalam lintingan tembakaunya.
Hal ini menegaskan bahwa saat ini perlindungan anak dari bahaya narkoba masih belum cukup efektif. Walaupun pemerintah dalam UU Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 dalam pasal 20 sudah menyatakan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (lihat lebih lengkap di UU Perlindungan Anak). Namun perlindungan anak dari narkoba masih jauh dari harapan.
Di Indonesia, perkembangan pencandu narkoba umumnya berusia antara 11 sampai 24 tahun. Artinya usia tersebut ialah usia produktif atau usia pelajar. Pada awalnya, pelajar yang mengonsumsi narkoba biasanya diawali dengan perkenalannya dengan rokok. Karena kebiasaan merokok ini sepertinya sudah menjadi hal yang wajar di kalangan pelajar saat ini. Dari kebiasaan inilah, pergaulan terus meningkat, apalagi ketika pelajar tersebut bergabung ke dalam lingkungan orang-orang yang sudah menjadi pencandu narkoba. Awalnya mencoba, lalu kemudian mengalami ketergantungan
D.           Solusi dan Saran
Narkoba adalah isu yang kritis dan rumit yang tidak bisa diselesaikan oleh hanya satu pihak saja. Karena narkoba bukan hanya masalah individu namun masalah semua orang. Mencari solusi yang tepat merupakan sebuah pekerjaan besar yang melibatkan dan memobilisasi semua pihak baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas lokal. Adalah sangat penting untuk bekerja bersama dalam rangka melindungi anak dari bahaya narkoba dan memberikan alternatif aktivitas yang bermanfaat seiring dengan menjelaskan kepada anak-anak tentang bahaya narkoba dan konsekuensi negatif yang akan mereka terima.
Anak-anak membutuhkan informasi, strategi, dan kemampuan untuk mencegah mereka dari bahaya narkoba atau juga mengurangi dampak dari bahaya narkoba dari pemakaian narkoba dari orang lain. Salah satu upaya dalam penanggulangan bahaya narkoba adalah dengan melakukan program yang menitikberatkan pada anak usia sekolah (school-going age oriented).
Selanjutnya, terkait dengan psikologi komunikasi, berikut solusi dan saran yang penulis tawarkan untuk menanggulangi kasus penyalahgunaan narkoba oleh remaja:[6]
1.             Perlunya pemberian perhatian yang tinggi pada remaja. Terutama oleh orang tua yang merupakan peran utamanya dalam memperhatikan perkembangan pribadi dan pembentukan watak anak-anaknya. Menjalin komunikasi yang baik sangat diutamakan dalam hal ini. Terutama jika anak tersebut sudah beranjak remaja. Komunikasi interpersonal yang baik dari orang tua, akan membawa pengaruh yang luar biasa pada anak. Karena pendidikan pertama yang di dapat anak adalah dari orang tuanya.
2.             Memberdayakan pencegahan dan penyalahgunaan narkotika dengan penguatan rasa takut, rasa bersalah, dan rasa malu ketika menyalahgunakan  narkotika dan psikotropika. Hal ini bisa dilakukan dengan cara sosialisasi komunikasi melalui media massa (komunkasi massa), baik cetak maupun elektronik, dalam bentuk iklan layanan masyarakat, film edukasi, program acara,  dll.
3.             Melakukan kampanye pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Dalam hal ini peran komunikasi persuasif sangat diperlukan. Karena mampu mengajak khalayak pada hal yang positif.
4.             Remaja sebaiknya mengembangkan cara berpikir alternatif untuk meluruskan keyakinan yang salah. Kemudian lebih mengembangkan diri, harga diri, dan kepercayaan diri, serta menghindari kebiasaan buruk seperti merokok dan minum-minuman keras. Dalam hal ini, jenis komunikasi yang digunakan lebih kepada komunikasi intrapersonal.



[1] http://www.ocities.org/teknologipembelajaran/aplikasi_research.html
[2] http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2010/12/02/remaja-narkoba/
[3] http://www.anneahira.com/teori-psikologi-komunikasi.htm
[4] http://ahmadtholabi.wordpress.com/2009/12/13/menanggulangi-penyalahgunaan-narkoba/
[5] http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/24/penyalahgunaan-napza-dalam-perspektif-psikologi/
[6] http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-419-1292725440-tesisku.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar