Senin, 09 Mei 2011

KUALIFIKASI KOMUNIKATOR MELIPUTI KOMUNIKASI TERBAIK SERTA RELEVANSI UCAPAN DAN TINDAKAN

MAKALAH
KUALIFIKASI KOMUNIKATOR MELIPUTI KOMUNIKASI TERBAIK SERTA RELEVANSI UCAPAN DAN TINDAKAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ”Tafsir Komunikasi”



Oleh Kelompok IV:
Eva Masykurotin Azizah B06210041
Julia Damayanti B06210067


FAKULTAS DAKWAH
PRODI ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2010/2011


BAB I
PEMBAHASAN

  1. Pengertian
Komunikasi terbaik adalah komunikasi yang mengandung dakwah. Dan tidak ada orang yang berkata lebih baik selain pekataan yang berisi dakwah.1 Karena, di dalam dakwah berisi seruan untuk mengajak manusia di jalan yang telah digariskan oleh Allah. Oleh karena itu dalam melakukan dakwah sikap dan tutur kata sangat mempengaruhi kesan dari orang-orang dalam menangkap isi dakwah.
Relevansi ucapan dan tindakan ialah perkataan yang sesuai dengan perbuatannya. Yakni mengatakan sesuatu untuk melakukan hal yang baik dan dalam praktek hidupnya juga mengamalkan apa yang telah diucapkan tadi. Jika dalam berdakwah seseorang hanya melakukan dakwah dengan mulut sementara perbuatannya tidak ada yang patut dijadikan contoh, maka tidak akan berhasil apa yang didakwahkan tadi. Namun, jika seorang pendakwah berkata: “Aku ini adalah seorang diantara orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah” Artinya dia telah menyerahkan segenap kemampuan yang ada untuk menegakkan agama Allah dan menyeru manusia kepada-Nya, maka dia telah menunjukkan bahwa dia seorang muslim yang konsekwen antara ucapan dan tindakannya.2
  1. Redaksi Ayat Al-Qur’an
Komunikasi Terbaik
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Q.S. Fussilat: 33)3
Relevansi Ucapan dan Tindakan
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Q.S. Al-Baqarah: 44)4
  1. Penafsiran Ayat
Komunikasi Terbaik, Fussilat: 33
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (Q.S. Fussilat: 33)
Ayat ini berisikan tentang pujian bagi mereka yang beriman, konsisten, dan mau berupaya untuk membimbing orang lain agar menjadi manusia muslim yang taat dan patuh kepada Allah. Dengan demikian ayat di atas menyatakan: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah agar Yang Maha Kuasa itu selalu diesakan, disembah dan ditaati secara tulus, yang mana seruannya itu disampaikan dalam keadaan telah mengerjakan amal yang saleh sehingga seruannya semakin mantap dan berkata kepada teman atau lawan baik yang taat maupun durhaka bahwa: Sesungguhnya aku termasuk kelompok orang-orang yang berserah diri? Sungguh tidak ada yang lebih baik dari orang ini.5 Yakni bahwa tidaklah ada orang yang lebih baik kalau dia berkata, melainkan perkataan yang berisi dakwah dan berisi seruan yang menginsafkan manusia agar berjalan di atas jalan yang telah digariskan oleh Allah. Apalagi jika perkataan itu diiringi dengan amalan yang shaleh dan perbuatan yang baik.
Dalam ayat ini juga dikatakan kepada Nabi Saw. bahwa meskipun banyak tolakan dan sanggahan dari kaum kafir kepada beliau, namun pekerjaan beliau tetaplah pekerjaan yang paling mulia. Karena, tidak ada pekerjaan yang lebih mulia dan lebih baik daripada mengadakan dakwah kepada sesama manusia, supaya manusia itu insaf dan berjalan diatas garis hidup yang telah ditentukan oleh Allah.
Sebelum berdakwah seseorang hendaknya memperteguh diri, memperkuat pendirian, dan tidak beranjak walau setapak dari akidah yang telah diyakini. Karena, tidak ada satu usaha yang lebih mulia dan lebih tinggi daripada melakukan dakwah terhadap sesama manusia, agar mereka berjalan diatas garis yang telah ditentukan oleh Tuhan. Dan hendaklah dakwah itu disertai dengan amal yang shaleh. Sebab pengaruh sikap hidup seseorang lebih besar kesannya di dalam mempengaruhi orang lain. Dan seorang pendakwah yang hanya melakukan dakwah dengan mulut, padahal perbuatannya sendiri tidak ada yang dapat dicontoh, tidaklah akan berhasil apa yang didakwahkannya.6
Dalam hal ini orang yang lebih baik perkataannya adalah orang yang memiliki tiga sifat berikut:7
  1. Menyeru manusia agar mengesakan dan mematuhi Allah
  2. Melaksanakan ketaatan-ketaatan dan menghindari hal-hal yang diharamkan
  3. Mengambil islam sebagai agamanya dan ikhlas kepada Tuhannya
Dan yang termasuk dalam hal ini ialah Rasul-rasul dan Nabi-nabi sebagai pendakwah dengan derajat yang pertama. Sesudah itu untuk derajat dakwah yang kedua ialah Ulama. Ulama itu sendiri terbagi menjadi tiga martabat: (1) Ulama terhadap Allah, yakni Ulama ahli hikmat, yang dengan melihat kulit mengertilah dia akan isi. Melihat yang lahir ariflah ia akan yang batin. (2) Ulama dengan sifat-sifat Allah, yakni Ulama yang mengerti akan pokok (ushul), sehingga mudahlah dia mempertimbangkan rating. Dan (3) Ulama dengan hukum-hukum Allah, yakni ahli-ahli fiqh, yang panjang pikirannya, yang tahu ‘illat dengan ma’lul, serta sebab dengan akibat.8



Relevansi Ucapan dan Tindakan, Al-Baqarah:44
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Q.S. Al-Baqarah: 44)
Allah swt. Berfirman, “Apakah layak bagi kalian, hai orang-orang ahli kitab, bila kalian memerintahkan manusia berbuat kebajikan yang merupakan inti dari segala kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri dan kalian tidak melakukan apa yang kalian perintahkan kepada orang-orang untuk mengerjakannya, padahal selain kalian membaca kitab kalian dan mengetahui didalamnya akibat apa yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan perintah Allah? Tidakkah kalian berakal memikirkan apa yang kalian lakukan terhadap diri kalian sendiri, lalu kalian bangun dari kelelapan kalian dan melihat setelah kalian buta?”
Nash ini turun ketika kaum bani israil memerintahkan orang lain taat kepada Allah, takwa kepada-Nya, dan mengerjakan kebajikan; namun mereka bersikap berbeda dengan apa yang mereka katakan itu, sehingga Allah mengecam sikap mereka (asbab al-Nuzul).9
Terutama kepada pemuka-pemuka dan pendeta-pendeta mereka. Bukan main keras larangan mereka: “Ini haram!” Bukan main pula perintah mereka: “Ini wajib!” Seakan-akan merekalah empunya agama itu. Hanya mulut mereka yang keras mempertahankan agama untuk dipakai oleh orang lain, tetapi untuk mereka tidak dipersoalkan. Maka datanglah teguran: “Apakah tidak kamu pikir?” atau yang lebih tegas lagi: ”Apakah kamu tidak mempergunakan akalmu?” Dengan ini Tuhan telah memberikan teguran bahwa iman yang sebenarnya adalah iman yang tumbuh dari hati sanubari (asbab al-Nuzul).10
Disamping ditujukan kepada tindakan Bani Israil, nash Al-Qur’an ini juga ditujukan kepada semua manusia, khususnya tokoh-tokoh agama. Nash ini berlaku abadi, tidak hanya untuk satu kaum atau satu generasi saja.
Bahaya para tokoh agama ini – ketika agama sudah menjadi perusahaan dan perindustrian, bukan lagi aqidah, pembebas dan pembela manusia dari kesesatan – ialah mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak ada di dalam hati mereka. Mereka menyuruh orang lain berbuat baik sementara mereka sendiri tidak mau melakukannya. Dan mereka membuat fatwa-fatwa dan takwil-takwil yang lahirnya sesuai nash, tetapi hakikatnya bertentangan dengan hakikat agama, untuk membenarkan tindakan dan hawa nafsu orang-orang berduit atau penguasa sebagaimana yang dilakukan pendeta-pendeta yahudi.
Mengajak kepada kebaikan, tetapi tindakannya justru bertentangan dengan ajakannya. Hal ini merupakan bencana, tidak hanya membahayakan si juru dakwah tapi juga isi dakwah itu sendiri, karena akan menimbulkan kegoncangan dan kebimbangan di dalam hati dan pikiran manusia. Pasalnya, mereka mendengar perkataan yang bagus, tetapi menyaksikan perbuatan yang buruk. Maka, mereka menjadi bingung memikirkan perkataan dan tindakan yang bertentangan ini. Tindakan semacam ini akan memadamkan cahaya yang dinyalakan akidah di dalam hati dan cahaya yang dipancarkan oleh iman, akhirnya orang-orang tidak percaya lagi kepada agama setelah mereka kehilangan kepercayaan kepada tokoh-tokoh agama.
Perkataan yang diucapkannya akan mati dan kering, meski didengung-dengungkan dan dikumandangkan, karena ia tidak keluar dari hati yang mempercayai ucapannya itu sendiri. Dan tidaklah seseorang akan mempercayai kebenaran ucapannya kecuali kalau ia sendiri membuktikan dalam kenyataannya. Pada waktu itu, orang pun akan mempercayainya meskipun kalimat itu tidak didengung-dengungkan dan tidak dikumandangkan. Pada waktu itu, kekuatannya akan muncul dari prakteknya, bukan dari kumandangnya.
Menyesuaikan perkataan dengan perbuatan dan akidah dengan perilaku, bukanlah perkara yang mudah dan tidak datar jalannya. Ia membutuhkan latihan, perjuangan, dan usaha. Ia membutuhkan hubungan dengan Allah, meminta bantuan dari-Nya, memohon pertolongan dengan petunjuk-Nya. Oleh karena itu, Al-Qur’an memberikan pengarahan kepada orang-orang yahudi yang dihadapinya pertama kali itu dan diarahkannya semua manusia sebagai konsekuensi logisnya agar memohon pertolongan dengan bersabar dan menunaikan shalat.11
  1. Hubungan Makna Ayat dengan Dunia Komunikasi
Hubungan Makna Fussilat: 33 dengan Dunia Komunikasi
Hubungan makna ayat ini dengan dunia komunikasi adalah mengenai komunikasi terbaik. Yang mana komunikasi yang terbaik merupakan komunikasi yang mengandung dakwah.12
Beberapa ahli dalam khazanah keilmuan Islam, memberikan pengertian tentang dakwah yang berbeda-beda. Hasan Al Banna , Abdul Munir Mulkhan, dan Daman Rahardjo memberi pengertian dakwah dengan transformasi sosial. Didin Harifuddin, dakwah berarti usaha untuk mengubah masyarakat sebagai subyek dakwah ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera, baik lahiriah maupun batiniah. Muhammad Al Bahiy, dakwah berarti mengubah suatu situasi ke situasi yang lebih baik sesuai ajaran islam. Sedangkan secara bahasa, dakwah berarti ajakan, seruan, undangan atau panggilan.13
Dakwah adalah praktik komunikasi, namun tidak semua praktik komunikasi dapat disebut dakwah. Dakwah merupakan salah satu aktivitas komunikasi karena dalam dakwah terjadi proses transmisi infurmasi (pesan) dari komunikator (da’i atau juru dakwah) kepada komunikan (mad’u), baik melalui berbagai media seperti televisi, radio, internet dan surat kabar ataupun tidak. Seluruh unsur proses komunikasi termuat dalam berbagai praktik dakwah. Dengan demikian, jelas bahwa aktivitas dakwah merupakan praktik komunikasi.14
Dakwah yang sebenarnya tidaklah dimulai dari orang lain melainkan dari diri sendiri, yakni kita harus bisa menempatkan diri sendiri sebagai teladan pribadi. Maksudnya bahwa kebaikan, ketulusan, sikap santun, dan kasih terhadap sesama, tidak serta merta dimulai dari orang lain, tapi justru dimulai dari diri sendiri.15
Tujuan dakwah yang utama adalah bukan memperbanyak jumlah pengikut, melainkan memanggil, mengajak, dan menyeru pada kebenaran Islam melalui berbagai media, perilaku, sikap, mental, dan cara pikir para penyampai agama.
Dakwah harus dapat diartikan sebagai metode penyegaran keimanan. Karena keimanan bersifat dinamis-fluktuatif, pada saat tertentu – ibarat baterai yang sudah low perlu di charge kembali supaya tetap segar.16
Hubungan Makna Al-Baqarah: 44 dengan Dunia Komunikasi
Hubungan makna ayat ini dengan dunia komunikasi adalah mengenai relevansi ucapan dan tindakan. Salah satu proses yang terjadi dalam ucapan komunikasi adalah konfirmasi (pembuktian).17 Dimana komunikasi yang mengandung perintah untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu hendaknya bisa dibuktikan oleh seorang komunikator sehingga komunikan bisa menerima dan meniru apa yang menurut mereka itu baik dan bisa ditiru. Terlebih lagi kalau komunikator bisa membuktikan terlebih dahulu baru kemudian mengatakan atau berucap. Karena, komunikan hanya akan mempercayai kebenaran ucapan komunikator ketika ucapan itu bisa dibuktikan secara nyata.
Suatu komunikasi yang tidak ada pembuktiannya dan terbatas pada ucapan saja tentu akan membuat komunikan itu tidak mudah percaya. Yang dalam hal ini Allah juga melarang, terlebih jika dalam urusan amar ma;ruf nahi munkar seperti yang terkandung dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 44.
Di atas telah dikatakan bahwa untuk menyesuaikan perkataan dengan perbuatan dan akidah dengan perilaku bukanlah persoalan yang mudah. Tapi dengan latihan, perjuangan, dan usaha, sambil kita meminta pertolongan kepada Allah, insya Allah bisa. Namun, yang terpenting adalah adanya relevansi antara ucapan dan tindakan. Karena, ucapan tanpa tindakan hanya akan membuat perkataan itu mati dan kering. Berbeda dengan ucapan yang disertai tindakan yang bisa membuat komunikan percaya pada apa yang disampaikan komunikator.


BAB III
KESIMPULAN

Komunikasi terbaik adalah komunikasi yang mengandung dakwah. Dan tidak ada orang yang berkata lebih baik selain pekataan yang berisi dakwah. Karena, di dalam dakwah berisi seruan untuk mengajak manusia di jalan yang telah digariskan oleh Allah.
Dakwah itu sendiri merupakan praktik komunikasi, namun tidak semua praktik komunikasi dapat disebut dakwah. Dakwah merupakan salah satu aktivitas komunikasi karena dalam dakwah terjadi proses transmisi infurmasi (pesan) dari komunikator (da’i atau juru dakwah) kepada komunikan (mad’u), baik melalui berbagai media seperti televisi, radio, internet dan surat kabar ataupun tidak. Di sini seluruh unsur proses komunikasi termuat dalam berbagai praktik dakwah. Dengan demikian, jelas bahwa aktivitas dakwah merupakan praktik komunikasi.
Dalam berdakwah, adanya relevansi ucapan dan tindakan dari komunikator tentulah penting. Karena, jika dalam berdakwah seseorang hanya melakukan dakwah dengan mulut sementara perbuatannya tidak ada yang patut dijadikan contoh, maka tidak akan berhasil apa yang didakwahkan tadi. Namun, jika seorang pendakwah berkata: “Aku ini adalah seorang diantara orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah” Artinya dia telah menyerahkan segenap kemampuan yang ada untuk menegakkan agama Allah dan menyeru manusia kepada-Nya, maka dia telah menunjukkan bahwa dia seorang muslim yang konsekwen antara ucapan dan tindakannya.




DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-30. Surabaya: Danakarya.
Katsir, Ibnu. 2002. Tafsir Ibnu Katsir I. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Hamka, Prof. Dr. 2002. Tafsir Al-Azhar Juz I dan II. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka, Prof. Dr. 2002. Tafsir Al-Azhar Juz XXIV. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Quthb, Sayyid. 2005. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 1. Jakarta: Gema Insani.
Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir Al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an Vol 12. Jakarta: Lentera Hati.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1992. Terjemahan Tafsir Al-Maragi 24. Semarang: Toha Putra.
Abdullah, Prof. Dr. H. M. Amin. 2007. Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan. Bandung: Refika Offset.
Habermas, Jurgen. 2007. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio Fungsionaris, terjemahan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
1 Prof. Dr. Hamka. 2002. Tafsir Al-Azhar Juz XXIV. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm. 235.
2 Ibid. Hlm. 236.
3 Departemen Agama. 2004. Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-30. Surabaya: Danakarya. Hlm. 688.
4 Ibid. Hlm. 8.
5 M. Quraish Shihab. 2007. Tafsir Al-Misbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an Vol 12. Jakarta: Lentera Hati. Hlm. 412.
6 Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz XXIV. Hlm. 235.
7 Ahmad Mustafa Al-Maragi. 1992. Terjemahan Tafsir Al-Maragi 24. Semarang: Toha Putra. Hlm. 242.
8 Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz XXIV. Hlm. 238.
9 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir I, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2002, hlm. 447.
10 Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz I dan II, Pustaka Panjimas, Jakarta, 2002, hlm. 236.
11 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Gema Insani, Jakarta, 2005, hlm. 81.
12 Prof. Dr. Hamka. 2002. Tafsir Al-Azhar Juz XXIV. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hlm. 235.
13 Prof. Dr. H. M. Amin Abdullah. 2007. Komunikasi Profetik: Konsep dan Pendekatan. Bandung: Refika Offset. Hlm. 202.
14 Ibid. Hlm. 216.
15 Ibid. Hlm. 193.
16 Ibid. Hlm. 196.
17 Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif II, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar