Jumat, 17 Juni 2011

Penerapan Teori Labeling pada Masyarakat Amerika dan Indonesia

Lahirnya teori labeling, diinspirasi oleh perspektif interaksionisme simbolik dan telah berkembang sedemikian rupa dengan riset-riset dan pengujiannya dalam berbagai bidang seperti, kriminolog, kesehatan mental, kesehatan dan pendidikan. Teori labelling dipelopori oleh Lemert dan Interaksionisme simbolik dari Herbert Mead (dalam Sunarto, 2004). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker pada tahun 1963. Labelling bisa juga disebut sebagai penjulukan/ pemberian cap. Awalnya, menurut Teori Struktural devian atau penyimpangan dipahami sebagai perilaku yang ada dan merupakan karakter yang berlawanan dengan norma-norma sosial. Devian adalah bentuk dari perilaku.

Labeling adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi. Dalam teori labelling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan “seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian”. Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut “anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel”. Atau penerapan lain “anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh”. Bisa juga seperti ini “Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar”. Hal ini berkaitan dengan pemikiran dasar teori labelling yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan, sehingga orang tersebut cenderung mengikuti label yang telah ditetapkan kepadanya.

Menurut Biddulph, (2007) banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.

Penerapan Teori Labeling pada Masyarakat Amerika

Masyarakat Amerika adalah masyarakat yang kompleks, karena terdiri dari berbagai kelompok-kelompok etnis, keagamaan, kelas, kedaerahan, pekerjaan, dll yang mungkin memiliki berbagai konsepsi berbeda mengenai perilaku yang layak. Jika ada kesempatan diantara kelompok itu mengenai apa yang benar maka juga tidak akan terdapat kesepakatan mengenai apa yang salah dan menyimpang.

Lemert mencoba menyebutkan kegiatan-kegiatan mana yang “menyimpang” bagi masyarakat Amerika tapi pengecamnya mengatakan bahwa tidak terdapat titik pandang atas dasar pengertian yang sama di Amerika mengenai perilaku, sehingga justru kegiatan yang sama yang dianggap oleh suatu pihak sebagai menyimpang, oleh satu pihak lain dianggap perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang relevan.



Penerapan Teori Labeling pada Masyarakat Indonesia

Jika di Amerika teori labeling tidak bisa diterapkan, sebaliknya, di Indonesia teori ini sering kali diterapkan. Salah satu contoh ialah cap yang diberikan masyarakat pada remaja yang dianggap berperilaku menyimpang. Yang lebih parah, remaja tersebut sependapat pula dengan persepsi demikian. Sehingga pola penyimpangan mereka diperkutat yang mengakibatkan tidak mungkin bagi mereka untuk melepaskan diri dari pola penyimpangan semacam itu. Sekali para remaja itu mempunyai citra diri sebagai penyimpangan, maka mereka pun akan memilih teman-teman baru yang bisa mempertebal citra diri mereka. Manakalah konsep diri itu semakin tertanam, mereka pun bersedia mencoba penyimpangan baru yang lebih buruk. Perasaan alienasi mereka yang semakin besar diiringi oleh pernyataan sikap tidak hormat dan kasar terhadap para wakil masyarakat yang sah. Sikap tidak hormat yang semakin meningkat itu pun semakin meningkatkan cara pandang negatif terhadap masyarakat. Semuanya itu menunjang kelangsungan keseluruhan proses keterlibatan mereka dalam penyimpangan. Dan ketika masa remaja mulai berkhir, tindak penyimpangan yang menonjol telah menjadi semakin dipertegas oleh tindakan polisi dan sikap masyarakat, sehingga jalan hidup mereka akan terarah secara efektif ke karir yang konsisten sesuai dengan latar belakang masa remaja mereka.

Menurut para penganut teori labeling, banyak kenakalan remaja muncul karena cara penanggulangan sembrono dari pihak polisi, pengadilan dan petugas lainnya yang secara tidak sadar mengajar para remaja untuk memandang diri mereka sebagai anak nakal, serta berperilaku seperti anak nakal. Pandangan ini kedengarannya dapat dipercaya, tetapi apakah hal itu benar? Matza menyatakan urutan kejadian tersebut bukannya proses yang selalu demikian; dengan kata lain, penyimpangan tidaklah selamanya seperti dicampakkan kebawah tanpa dapat berbuat apa-apa. Sang penyimpang tetap mempunyai pilihan. Maksudnya dalam proses menjadi seorang yang nakal, orang itu sendirilah yang menentukan arahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar