Kamis, 20 Oktober 2011

Perkembangan Logika di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana obyek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya.
Logika juga merupakan sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk memasarkan pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.
Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika. logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran.
Dan logika yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam sejarah intelektual umat manusia adalah logika Aristoteles. Buku-buku pegangan tentang logika -- tradisional-- sebagian besar diisi dengan logika ini, dan tidak ada satupun jenis pengetahuan yang tidak bersentuhan logika yang ditemukan Aristoteles ini, sehingga Immanuel Kant (1724-1804 M) pernah menyatakan bahwa selama 20 abad lebih, logika Aristoteles tidak tergoyahkan dan ia tetap menjadi tonggak dan pondasi pengetahuan ilmiah manusia.
Di Indonesia sendiri, sebelum berkembangnya ilmu logika seperti sekarang ini, banyak kalangan yang menolak adanya ilmu logika. Karena logika tidak berasal dari Indonesia, sehingga logika dipandang tidak sesuai dengan adat ketimuran Indonesia. Analisis kritis dianggap tidak sesuai apabila diterapkan pada adat yang halus khas orang timur. Bahkan logika seperti dilarang untuk diajarkan pada sekolah atau pesantren.
Namun dewasa ini logika di Indonesia justru sudah mulai berkembang sesuai dengan perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori himpunan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.           Logika
Logika berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu cabang filsafat.
Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.[1]
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.
Dalam sejarah perkembangan logika sendiri, banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, yang secara umum memiliki banyak persamaan. Beberapa pendapat tersebut antara lain:
The Liang Gie dalam bukunya Dictionary of Logic (Kamus Logika) menyebutkan: Logika adalah bidang pengetahuan dalam lingkungan filsafat yang mempelajari secara teratur asas-asas dan aturan-aturan penalaran yang betul (correct reasoning).[2]
Menurut Mundiri dalam bukunya tersebut Logika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.[3]
Secara etimologis, logika adalah istilah yang dibentuk dari kata logikos yang berasal dari kata benda logos. Kata logos berarti: sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (fikiran), kata, atau ungkapan lewat bahasa. Kata logikos berarti mengenai sesuatu yang diutarakan, mengenai suatu pertimbangan akal, mengenai kata, mengenai percakapan atau yang berkenaan dengan ungkapan lewat bahasa. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa logika adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut logike episteme atau dalam bahasa latin disebut logica scientia yang berarti ilmu logika, namun sekarang lazim disebut dengan logika saja.[4]
Maka dapat disimpulkan definisi umum logika adalah cabang filsafat yang bersifat praktis berpangkal pada penalaran, dan sekaligus juga sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Dengan fungsi sebagai dasar filsafat dan sarana ilmu karena logika merupakan “jembatan penghubung” antara filsafat dan ilmu, yang secara terminologis logika didefinisikan: Teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian ditarik suatu kesimpulan. Penyimpulan yang sah, artinya sesuai dengan pertimbangan akal dan runtut sehingga dapat dilacak kembali yang sekaligus juga benar, yang berarti dituntut kebenaran bentuk sesuai dengan isi.
Logika sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan karena semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram himpunan, dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram himpunan  sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.
Berdasarkan proses penalarannya dan juga sifat kesimpulan yang dihasilkannya, logika dibedakan antara logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif adalah sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikirnya. Dalam logika ini yang terutama ditelaah adalah bentuk dari kerjanya akal jika telah runtut dan sesuai dengan pertimbangan akal yang  dapat dibuktikan tidak ada kesimpulan lain karena proses penyimpulannya adalah tepat dan sah. Logika deduktif karena berbicara tentang hubungan bentuk-bentuk pernyataan saja yang utama terlepas isi apa yang diuraikan karena logika deduktif disebut pula logika formal.[5]
B.            Logika di Indonesia
Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-pesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab.  Sebagian kaum intelektual sangat menyadari kebutuhan mendesak akan meratanya kesanggupan berpikir tertib-kritis seperti yang diajarkan dalam logika sebagai salah satu syarat mutlak terwujudnya Indonesia modern. Studi dan penguasaan logika dipandang sebagai sokoguru pendidikan intelektual, yang merupakan hal asasi dari pendidikan manusia seutuhnya. Karena logika tidak berasal dari Indonesia, maka banyak kalangan yang menolak ilmu logika. Logika pun dipandang tidak sesuai dengan adat ketimuran Indonesia. Analisis kritis dianggap tidak sesuai apabila diterapkan pada adat yang halus khas orang timur. Bahkan logika seperti dilarang untuk diajarkan pada sekolah atau pesantren.
Namun pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori himpunan.[6]
Di Indonesia adanya logika dimulai dengan ‘memusuhi’ logika. Sebelum masuknya agama-agama dari negeri sebrang ke Indonesia, bisa dikatakan tanah air ini hanya memiliki dua kepercayaan, yaitu animisme dan dinamisme. Sehingga hal-hal yang bersifat mistik dan irasional begitu melekat dengan Indonesia. Hal ini masih terasa hingga sekarang, masih banyak orang-orang yang suka main ‘babi ngepet’ daripada bekerja keras untuk menjadi kaya. Itu adalah salah satu dari ribuan contoh betapa tidak logisnya orang Indonesia.
Kebanyakan orang Indonesia menolak logika, karena logika bertentangan dengan budaya. Logika juga dapat merusak budaya timur mereka yang dikenal memiliki perasaan halus khas orang timur. Mereka tidak menyadari bahwa budaya adalah ciptaan manusia juga, ada yang baik dan ada yang buruk. Tentu saja kita sebagai manusia (yang katanya) berakal sehat, harus mampu memilah-milah apa yang diajarkan budaya.
Dewasa ini, perkembangan logika di Indonesia sudah membaik walaupun hanya yang bersifat formal. Orang-orang mulai menjalani hidupnya dengan berpegang pada dua hal, yaitu agama dan logika. Berbeda dengan budaya yang ciptaan manusia, agama adalah ciptaan Tuhan yang sempurna. Tuhan tidak mungkin berbuat kesalahan seperti ciptaannya.
Tetapi perkembangan logika formal ini tidak diikuti oleh pengembangan logika oleh sektor-sektor yang lain. Saya mengambil contoh media massa, karena media sangat mempengaruhi pola pikir bahkan pola tingkah laku publiknya. Tidak banyak acara di media massa yang mampu menghibur sekaligus memberikan edukasi plus merangsang rasionalitas seseorang. Mereka malah terus-terusan membuat acara mistik yang jelas-jelas merusak moral (khususnya anak-anak) dan merusak tatanan logika seseorang.  Seharusnya pemerintah tegas dalam menindak acara-acara media massa yang merusak logika. Karena tanpa logika, sama saja pemerintah tidak ikut mendukung cita-cita bangsa yaitu “mencerdaskan kehidupan berbangsa!”.
Tanpa logika, manusia sama saja dengan hewan. Karena pada dasarnya manusia juga digolongkan sebagai hewan. Manusia adalah hewan yang punya akal, sedangkan binatang adalah hewan yang tidak punya akal. Tanpa logika, kita tidak dapat memperbaiki nasib bangsa ini dan memanusiakan manusia Indonesia.[7]
BAB III
PENUTUP

Setelah membaca beberapa pengertian mengenai logika, maka dapat disimpulkan definisi umum logika, yakni merupakan cabang filsafat yang bersifat praktis berpangkal pada penalaran, dan sekaligus juga sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Dengan fungsi sebagai dasar filsafat dan sarana ilmu karena logika merupakan “jembatan penghubung” antara filsafat dan ilmu, yang secara terminologis logika didefinisikan: Teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian ditarik suatu kesimpulan. Penyimpulan yang sah, artinya sesuai dengan pertimbangan akal dan runtut sehingga dapat dilacak kembali yang sekaligus juga benar, yang berarti dituntut kebenaran bentuk sesuai dengan isi.
Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-pesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab. Hal ini dikarenakan logika tidak berasal dari Indonesia, maka banyak kalangan yang menolak ilmu logika. Logika pun dipandang tidak sesuai dengan adat ketimuran Indonesia. Analisis kritis dianggap tidak sesuai apabila diterapkan pada adat yang halus khas orang timur. Bahkan logika seperti dilarang untuk diajarkan pada sekolah atau pesantren.
Namun pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori himpunan.

DAFTAR PUSTAKA

Jan Hendrik Rapar. 1996. Pengantar Logika, Asas-asas penalaran sistematis. Yogyakarta: Kanisius
Gie, The Liang. 1975. Kamus Logika (Dictionary of Logic). Yogyakarta. Nur Cahaya.
Mundiri. 2000. Logika. Semarang: Rajawali Press. Cetakan ke empat.
http://imtaq.com/Definisi-dan -Pengertian-Ilmu-Logika-kalam-IMTAQ.htm
http://aviztotheles.wordpress.com/2009/11/16/perkembangan-ilmu-logika-indonesia-vs-india/




[1] Jan Hendrik Rapar. 1996. Pengantar Logika, Asas-asas penalaran sistematis. Yogyakarta: Kanisius
[2] The Liang Gie. 1975. Kamus Logika (Dictionary of Logic). Yogyakarta. Nur Cahaya.
[3] Mundiri. 2000. Logika. Semarang: Rajawali Press. Cetakan ke empat.
[4] Jan Hendrik Rapar. Pengantar Logika, Asas-asas penalaran sistematis. Op. Cit.
[5] http://imtaq.com/Definisi-dan -Pengertian-Ilmu-Logika-kalam-IMTAQ.htm
[6] http://duniadandia.blogspot.com/2011/03/dasar-dasar-logika-sejarah-di-indonesia.html
[7] http://aviztotheles.wordpress.com/2009/11/16/perkembangan-ilmu-logika-indonesia-vs-india/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar