A.
Jurnalistik
Sejarah Jurnalistik dimulai jaman Romawi Kuno, pada masa pemerintahan
Julius Caesar (100-44 SM). Pada saat
itu, terdapat acta diurna yang memuat semua hasil sidang, peraturan baru,
keputusan-keputusan senat dan berbagai informasi penting yang ditempel di
sebuah pusat kota. “Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah
dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik
pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius
Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.[1]
Namun sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang
muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja
Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis
yang digantungkan di serambi rumah sebagai pemberitahuan pada setiap orang yang
lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan
para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula
berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa
yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu
ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion
Romawi) untuk diketahui oleh umum.[2]
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal,
yakni kata “Diurnal” yang dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap
hari.” Kemudian diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa
Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Sehingga,
dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan
jurnalistik.[3]
MacDougall menyebutkan bahwa journalistik adalah kegiatan menghimpun berita,
mencari fakta, dan melaporkan peristiwa.[4]
Berbicara mengenai jurnalistik pasti tidak lepas dari pembicaraan tentang
pers. Karena, pers dan jurnalistik adalah dua kata yang sulit dipisahkan.
Ketika jurnalistik adalah bentuk kerja atau hasil kerja jurnalis dalam
menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporan peristiwa, maka pers merupakan
media yang digunakan untuk menyampaikan hasil kerja tersebut. Oleh karena itu,
mempelajari atau memahami jurnalistik sama juga dengan mempelajari maupun memahami
pers itu sendiri.
B.
Fungsi Pers
Tugas dan fungsi pers tidaklah sederhana, sebab pers memiliki tanggung
jawab dalam mengamankan hak-hak warga negara dalam kehidupan bernegaranya. Oleh
karena itu, menurut Hikmat dan Purnama Kusumaningrat fungsi pers dijelaskan
sebagai berikut:[5]
·
Fungsi Informatif
Pers
memberikan informasi, atau berita, kepada khalayak ramai dengan cara yang
teratur. Pers menghimpun berita yang dianggap berguna dan penting bagi orang
banyak dan kemudian menuliskannya dalam kata-kata. Misalnya, pers akan
memperingatkan orang banyak tentang peristiwa-peristiwa yang diduga akan
terjadi, seperti perubahan cuaca atau bencana alam, atau juga tentang
perhitungan pajak pribadi berdasarkan tarif pajak baru.
·
Fungsi Kontrol
Yaitu
dengan cara masuk ke balik panggung kejadian untuk menyelidiki pekerjaan
pemerintah atau perusahaan. Pers harus memberitakan apa yang berjalan baik dan
tidak berjalan baik. Fungsi kontrol ini harus dilakukan lebih efektif oleh pers
daripada kelompok masyarakat lainnya.
·
Fungsi Interpretatif dan Direktif
Pers
memberikan interpretasi dan bimbingan dengan menceritakan pada masyarakat
tentang arti suatu kejadian. Biasanya dilakukan oleh pers melalui tajuk rencana
atau tulisan-tulisan latar belakang. Kadang pula dengan menganjurkan tindakan
yang harusnya diambil masyarakat. Misalnya, menulis surat protes pada DPR atau
memberikan sumbangan bagi korban bencana alam – dan memberikan alasan kenapa
harus bertindak.
·
Fungsi Menghibur
Secara
umum, media massa memang memiliki fungsi menghibur. Lebih-lebih bagi masyarakat
yang tingkat apresiasinya terhadap informasi masih relatif rendah, media massa
semata-mata hanya disikapi sebagai media hiburan. Oleh karena itu, secara
khusus pers juga memiliki fungsi menghibur. Di samping itu, materi-materi yang
lebih bersifat hiburan juga dimuat dengan maksud untuk mengimbangi
berita-berita berat serta tulisan-tulisan yang menuntut pemikiran dengan tetap
memperhatikan frekuensi pemuatan materi-materi hiburan.
·
Fungsi Regeneratif
Di
sini pers menceritakan bagaimana sesuatu itu dilakukan di masa lampau,
bagaimana dunia ini dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu itu diselesaikan,
dan apa yang dianggap oleh dunia itu benar atau salah. Jadi, pers membantu
menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru agar terjadi proses regenerasi
dari angkatan yang sudah tua kepada angkatan yang lebih muda.
·
Fungsi Pengawalan Hak-Hak Negara
Yaitu
mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi. Demikian pula halnya bila ada
masyarakat berdemonstrasi, pers harus menjaga baik-baik jangan sampai timbul
tirani golongan mayoritas yang menguasai dan menekan golongan minoritas. Pers
yang bekerja berdasarkan teori tanggung jawab harus dapat menjamin hak setiap
pribadi untuk didengar dan diberi penerangan yang dibutuhkannya.
·
Fungsi Ekonomi
Yakni
dengan melayani setiap ekonomi melalui iklan. Tanpa radio, televisi, majalah,
dan surat kabar, maka beratlah untuk mengembangkan perekonomian pesat seperti
sekarang. Karena dengan iklan penawaran akan berjalan dari tangan ke tangan dan
barang produksi pun dapat dijual.
·
Fungsi Swadaya
Pers
mempunyai kewajiban untuk memupuk kemampuannya sendiri agar ia dapat
membebaskan dirinya dari pengaruh-pengaruh serta tekanan-tekanan dalam bidang
keuangan. Dan untuk memelihara kebebasannya yang murni, pers pun berkewajiban
untuk memupuk kekuatan permodalannya sendiri.
C.
Sejarah Perkembangan Jurnalistik di Indonesia
Berbicara mengenai sejarah jurnalistik Indonesia, semua itu tidak bisa
lepas dari pengaruh sejarah jurnalistik yang ada di berbagai negara, khususnya
negara-negara yang ada di kawasan Eropa. Pengaruh-pengaruh tersebut menyebar
melalui beberapa cara. Salah satunya adalah melalui penjajahan Belanda.
Sejarah jurnalistik dalam Indonesia sendiri sudah diperoleh saat Indonesia
masih belum merdeka. Di mana sejarah tersebut kemudian menjadi tonggak
berkembangnya dunia pers Indonesia hingga sekarang masih terus mendunia. Sedang perkembangannya sendiri mulai tumbuh
pesat sejak Indonesia meraih kemerdekaan.
Sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia digolongkan menjadi
beberapa fase.[6]
Fase pertama terjadi pada masa kemerdekaan (1945-1950), pers menjadi alat
perjuangan untuk memberi informasi dan alat provokasi untuk mengajak rakyat
agar berjuang bersama-sama melawan penjajahan.
Fase kedua terjadi pada era 1950-1960. Pada era ini, pergolakan politik
di Indonesia mulai terjadi. Pada masa ini, pers indonesia mulai terjebak
menjadi media politik. Di mana pers, khususnya surat kabar menjadi media
propaganda partai politik. Pada periode ini sejarah perkembangan jurnalistik di
Indonesia menjadi begitu dramatis, sebab pers menjadi alat untuk menjatuhkan
citra partai politik lain.
Fase ketiga dari sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia adalah
pembredelan pers pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, pers dibatasi
kegiatannya karena sebelumnya sering mengkritik pemerintahan di bawah pimpinan
Presiden Soeharto. Pada masa itu, setiap pers atau unsur jurnalistik yang
menetang atau mengkritik pemerintahan akan mengalami pembredelan.
Fase keempat terjadi setelah rezim Orde baru runtuh. Setelah rezim
Soeharto turun, pers mendapatkan kebebasan dalam melakukan tugas jurnalistik.
Bahkan, sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia mulai bangkit dengan
adanya kebebasan pers yang bertanggung jawab. Dan dalam periode ini juga, pers
menjadi alat pengawas pemerintahan.
Pada era setelah reformasi, sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia
menjadi lebih berkembang. Tak hanya menjadi alat pengawas kinerja pemerintahan,
sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia pun berkembang menjadi industri
jurnalistik yang menyuguhkan informasi selain politik, seperti musik, gaya
hidup, hiburan, kuliner, dan topik jurnalistik lainnya.
D.
Kiprah Jurnalistik dalam Mencerdaskan Bangsa
Telah disinggung sedikit pada sub judul sebelumnya, bahwa setelah era
reformasi, barulah muncul kebebasan pers dalam jurnalistik Indonesia. Sehingga,
banyak media-media serta organisasi pers dan jurnalistik di luar PWI yang
bermunculan. Sayangnya, kebebasan jurnalistik yang sekarang justru mengalami
“kebablasan”. Di mana tidak sedikit kode etik jurnalistik yang dilanggar.
Seperti kasus pemerasan yang dilakukan oleh beberapa wartawan yang beritanya
pernah dimuat di Viva News berikut:[7]
VIVAnews - Dewan Pers hari ini mengumumkan hasil
pemeriksaan silang terhadap Metro TV, Harian Seputar Indonesia, Harian Kompas,
detikcom, konsultan IPO Krakatau Steel (KS), Henny Lestari, dan Mandiri
Sekuritas, terkait dugaan meminta hak
istimewa untuk membeli saham Krakatau.
Keputusannya, "Telah terjadi pelanggaran
kode etik dan penyalahgunaan profesi wartawan karena ada usaha yang dilakukan
wartawan untuk mendapatkan saham perdana PT KS dengan menggunakan profesi dan
jaringannya sebagai wartawan," kata Ketua Divisi Pengaduan, Dewan Pers,
Agus Sudibyo, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu 1 Desember 2010.
Ditambahkan Agus, tindakan tersebut menimbulkan
konflik kepentingan. "Karena sebagai wartawan yang meliput kegiatan di
bursa efek, juga berusaha terlibat dalam proses jual beli saham untuk
kepentingan pribadi. Ini bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik
Jurnalistik," tambah dia...
Menanggapi kasus tersebut,
Cristopel Paino menyampaikan pendapatnya melalui Republika News berikut:[8]
REPUBLIKA.CO.ID – “Pemberian amplop dari
narasumber atau pihak-pihak tertentu kepada jurnalis yang sedang dalam tugas
peliputan, dapat membuat moral para insan pers jadi `keropos`,” kata Ketua
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo, Cristopel Paino. Menurutnya, uang
amplop dari narasumber pada tingkat tertentu dapat menimbulkan candu bagi
jurnalis, itu menandakan sebuah keadaan moral yang keropos.
“Selain mengancam independensi,” lanjutnya, “tak
jarang Jurnalis yang terbiasa menerima amplop, kerap menjadikan narasumber
sebagai obyek yang hanya sebatas dipandang dari segi uang atau fasilitas lain
yang bisa mereka berikan.”
"Narasumber tidak lagi dihargai sebagai
subyek yang memberikan informasi, namun lebih pada persoalan seberapa besar
uang lelah yang dia berikan pada wartawan, bahkan ada yang memakai cara
pemerasan untuk mendapatkan uang," kata dia.
Namun dirinya tidak memungkiri, hal itu masih
terkait dengan sistem pengupahan wartawan oleh media tempat bekerja, yang pada
umumnya, masih terbilang minim. "Gaji wartawan di Gorontalo misalnya,
masih banyak yang berada di bawah satu juta rupiah, atau sistem kontrak,"
Kata dia.
Hal itu juga ditambah dengan sikap narasumber
sendiri, yang masih membiasakan diri untuk memberikan uang amplop pada wartawan
saat bertugas, dengan dalih, sebagai pengganti transportasi atau ongkos lelah.
"Mereka tak sadar, banyak wartawan yang akhirnya menjadi tergantung dengan
hal itu," kata dia.
Dengan keadaan yang sedemikian kompleks itu,
menurutnya dibutuhkan kreativitas wartawan, semisal dengan menjalankan usaha
sampingan yang tidak melanggar kode etik jurnalistik, sambil terus mengupayakan
agar pekerjaannya mendapatkan upah yang layak.
Sungguh memalukan memang perbuatan wartawan yang menyalahgunakan
profesinya untuk memeras sebagaimana kasus di atas. Sebab, tindakan tersebut
hanya akan mencoreng kredibilitas dunia pers yang seharusnya, serta peran
mereka dalam mencerdaskan masyarakat. Oleh karena itu, sikap tegas harus berani
diambil oleh media-media atau organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen
dan Persatuan Wartawan Indonesia. Mereka harus berani memecat anggota yang
menyelewengkan profesinya untuk memeras.
Tanpa tindakan tegas, profesi wartawan akan dipandang rendah oleh publik.
Orang akan menilai jurnalis tak ada bedanya dengan tukang palak. Akibatnya,
kredibilitas pers akan luntur dan karya jurnalistik tidak lagi dihargai. Bahkan
kecaman pers terhadap perilaku para pejabat serta anggota parlemen, juga hanya
akan menjadi bahan tertawaan bila perilaku kalangan jurnalis tak ada bedanya
dengan mereka.
E.
Kesimpulan
Sudah tidak terbantahkan lagi di era serba digital seperti sekarang ini,
sebuah portal berita memegang peranan yang sangat penting untuk menyampaikan
berita dan informasi secara langsung kepada pembacanya. Berita dan informasi
yang akan disampaikan diharapkan dapat disajikan secara cepat dan akurat serta
memuat berita-berita yang berkualitas, adil, berimbang dan terpercaya.
Penyampaian berita dan informasi yang berkualitas dan berimbang tentu
akan dapat menciptakan sebuah kondisi yang sehat serta meningkatkan kecerdasan
di masyarakat. Hal inilah yang seharusnya di pahami oleh para jurnalis di
Indonesia. Sebagai pewarta berita, mereka harusnya selalu mengedepankan
nilai-nilai luhur dalam sebuah tugas jurnalistik. Di mana itu sudah menjadi tuntutan
profesionalisme agar terbentuk kinerja jurnalistik yang lebih baik. Sehingga, poin
penting yang seharusnya tidak boleh dilupakan, adalah bahwa kehadiran para
jurnalis tersebut turut menjadi bagian dalam mencerdaskan masyarakat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Curtis D. MacDougall. 1972.
Interpretative Reporting. New York: Macmillan Publishing.
Hikmat dan Purnama Kusumaningrat.
2005. Jurnalistik: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
http://10arhando.blogspot.com/2012/03/sejarah-singkat-jurnalistik.html
http://rachmadisaleh.blogspot.com/2011/03/makalah-paper-sejarah-jurnalistik.html
http://nadiverboys.wordpress.com/2012/10/07/perkembangan-jurnalistik-indonesia-dan-luar-indonesia-dengan-menggunakan-media-komunikasi/
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/191634-dewan-pers--empat-wartawan-langgar-kode-etik
http://ajipalembang.blogspot.com/2012/01/aji-amplop-membuat-moral-jurnalis.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar