Senin, 29 Juli 2013

Kiprah Jurnalis RTV dalam Turut Serta Mencerdaskan Masyarakat

A.           Jurnalistik
Sejarah Jurnalistik dimulai jaman Romawi Kuno, pada masa pemerintahan Julius Caesar (100-44 SM).  Pada saat itu, terdapat acta diurna yang memuat semua hasil sidang, peraturan baru, keputusan-keputusan senat dan berbagai informasi penting yang ditempel di sebuah pusat kota. “Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.[1]
Namun sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah sebagai pemberitahuan pada setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.[2]
Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal, yakni kata “Diurnal” yang dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Kemudian diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Sehingga, dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik.[3] MacDougall menyebutkan bahwa journalistik adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa.[4]
Berbicara mengenai jurnalistik pasti tidak lepas dari pembicaraan tentang pers. Karena, pers dan jurnalistik adalah dua kata yang sulit dipisahkan. Ketika jurnalistik adalah bentuk kerja atau hasil kerja jurnalis dalam menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporan peristiwa, maka pers merupakan media yang digunakan untuk menyampaikan hasil kerja tersebut. Oleh karena itu, mempelajari atau memahami jurnalistik sama juga dengan mempelajari maupun memahami pers itu sendiri.
B.           Fungsi Pers
Tugas dan fungsi pers tidaklah sederhana, sebab pers memiliki tanggung jawab dalam mengamankan hak-hak warga negara dalam kehidupan bernegaranya. Oleh karena itu, menurut Hikmat dan Purnama Kusumaningrat fungsi pers dijelaskan sebagai berikut:[5]
·                Fungsi Informatif
Pers memberikan informasi, atau berita, kepada khalayak ramai dengan cara yang teratur. Pers menghimpun berita yang dianggap berguna dan penting bagi orang banyak dan kemudian menuliskannya dalam kata-kata. Misalnya, pers akan memperingatkan orang banyak tentang peristiwa-peristiwa yang diduga akan terjadi, seperti perubahan cuaca atau bencana alam, atau juga tentang perhitungan pajak pribadi berdasarkan tarif pajak baru.
·                Fungsi Kontrol
Yaitu dengan cara masuk ke balik panggung kejadian untuk menyelidiki pekerjaan pemerintah atau perusahaan. Pers harus memberitakan apa yang berjalan baik dan tidak berjalan baik. Fungsi kontrol ini harus dilakukan lebih efektif oleh pers daripada kelompok masyarakat lainnya.
·                Fungsi Interpretatif dan Direktif
Pers memberikan interpretasi dan bimbingan dengan menceritakan pada masyarakat tentang arti suatu kejadian. Biasanya dilakukan oleh pers melalui tajuk rencana atau tulisan-tulisan latar belakang. Kadang pula dengan menganjurkan tindakan yang harusnya diambil masyarakat. Misalnya, menulis surat protes pada DPR atau memberikan sumbangan bagi korban bencana alam – dan memberikan alasan kenapa harus bertindak.
·                Fungsi Menghibur
Secara umum, media massa memang memiliki fungsi menghibur. Lebih-lebih bagi masyarakat yang tingkat apresiasinya terhadap informasi masih relatif rendah, media massa semata-mata hanya disikapi sebagai media hiburan. Oleh karena itu, secara khusus pers juga memiliki fungsi menghibur. Di samping itu, materi-materi yang lebih bersifat hiburan juga dimuat dengan maksud untuk mengimbangi berita-berita berat serta tulisan-tulisan yang menuntut pemikiran dengan tetap memperhatikan frekuensi pemuatan materi-materi hiburan.
·                Fungsi Regeneratif
Di sini pers menceritakan bagaimana sesuatu itu dilakukan di masa lampau, bagaimana dunia ini dijalankan sekarang, bagaimana sesuatu itu diselesaikan, dan apa yang dianggap oleh dunia itu benar atau salah. Jadi, pers membantu menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru agar terjadi proses regenerasi dari angkatan yang sudah tua kepada angkatan yang lebih muda.
·                Fungsi Pengawalan Hak-Hak Negara
Yaitu mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi. Demikian pula halnya bila ada masyarakat berdemonstrasi, pers harus menjaga baik-baik jangan sampai timbul tirani golongan mayoritas yang menguasai dan menekan golongan minoritas. Pers yang bekerja berdasarkan teori tanggung jawab harus dapat menjamin hak setiap pribadi untuk didengar dan diberi penerangan yang dibutuhkannya.
·                Fungsi Ekonomi
Yakni dengan melayani setiap ekonomi melalui iklan. Tanpa radio, televisi, majalah, dan surat kabar, maka beratlah untuk mengembangkan perekonomian pesat seperti sekarang. Karena dengan iklan penawaran akan berjalan dari tangan ke tangan dan barang produksi pun dapat dijual.
·                Fungsi Swadaya
Pers mempunyai kewajiban untuk memupuk kemampuannya sendiri agar ia dapat membebaskan dirinya dari pengaruh-pengaruh serta tekanan-tekanan dalam bidang keuangan. Dan untuk memelihara kebebasannya yang murni, pers pun berkewajiban untuk memupuk kekuatan permodalannya sendiri.
C.           Sejarah Perkembangan Jurnalistik di Indonesia
Berbicara mengenai sejarah jurnalistik Indonesia, semua itu tidak bisa lepas dari pengaruh sejarah jurnalistik yang ada di berbagai negara, khususnya negara-negara yang ada di kawasan Eropa. Pengaruh-pengaruh tersebut menyebar melalui beberapa cara. Salah satunya adalah melalui penjajahan Belanda.
Sejarah jurnalistik dalam Indonesia sendiri sudah diperoleh saat Indonesia masih belum merdeka. Di mana sejarah tersebut kemudian menjadi tonggak berkembangnya dunia pers Indonesia hingga sekarang masih terus mendunia.  Sedang perkembangannya sendiri mulai tumbuh pesat sejak Indonesia meraih kemerdekaan.
Sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia digolongkan menjadi beberapa fase.[6] Fase pertama terjadi pada masa kemerdekaan (1945-1950), pers menjadi alat perjuangan untuk memberi informasi dan alat provokasi untuk mengajak rakyat agar berjuang bersama-sama melawan penjajahan.
Fase kedua terjadi pada era 1950-1960. Pada era ini, pergolakan politik di Indonesia mulai terjadi. Pada masa ini, pers indonesia mulai terjebak menjadi media politik. Di mana pers, khususnya surat kabar menjadi media propaganda partai politik. Pada periode ini sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia menjadi begitu dramatis, sebab pers menjadi alat untuk menjatuhkan citra partai politik lain.
Fase ketiga dari sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia adalah pembredelan pers pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, pers dibatasi kegiatannya karena sebelumnya sering mengkritik pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Pada masa itu, setiap pers atau unsur jurnalistik yang menetang atau mengkritik pemerintahan akan mengalami pembredelan.
Fase keempat terjadi setelah rezim Orde baru runtuh. Setelah rezim Soeharto turun, pers mendapatkan kebebasan dalam melakukan tugas jurnalistik. Bahkan, sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia mulai bangkit dengan adanya kebebasan pers yang bertanggung jawab. Dan dalam periode ini juga, pers menjadi alat pengawas pemerintahan.
Pada era setelah reformasi, sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia menjadi lebih berkembang. Tak hanya menjadi alat pengawas kinerja pemerintahan, sejarah perkembangan jurnalistik di Indonesia pun berkembang menjadi industri jurnalistik yang menyuguhkan informasi selain politik, seperti musik, gaya hidup, hiburan, kuliner, dan topik jurnalistik lainnya.
D.           Kiprah Jurnalistik dalam Mencerdaskan Bangsa
Telah disinggung sedikit pada sub judul sebelumnya, bahwa setelah era reformasi, barulah muncul kebebasan pers dalam jurnalistik Indonesia. Sehingga, banyak media-media serta organisasi pers dan jurnalistik di luar PWI yang bermunculan. Sayangnya, kebebasan jurnalistik yang sekarang justru mengalami “kebablasan”. Di mana tidak sedikit kode etik jurnalistik yang dilanggar. Seperti kasus pemerasan yang dilakukan oleh beberapa wartawan yang beritanya pernah dimuat di Viva News berikut:[7]
VIVAnews - Dewan Pers hari ini mengumumkan hasil pemeriksaan silang terhadap Metro TV, Harian Seputar Indonesia, Harian Kompas, detikcom, konsultan IPO Krakatau Steel (KS), Henny Lestari, dan Mandiri Sekuritas,  terkait dugaan meminta hak istimewa untuk membeli saham Krakatau.
Keputusannya, "Telah terjadi pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan profesi wartawan karena ada usaha yang dilakukan wartawan untuk mendapatkan saham perdana PT KS dengan menggunakan profesi dan jaringannya sebagai wartawan," kata Ketua Divisi Pengaduan, Dewan Pers, Agus Sudibyo, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu 1 Desember 2010.
Ditambahkan Agus, tindakan tersebut menimbulkan konflik kepentingan. "Karena sebagai wartawan yang meliput kegiatan di bursa efek, juga berusaha terlibat dalam proses jual beli saham untuk kepentingan pribadi. Ini bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik," tambah dia...
Menanggapi kasus tersebut, Cristopel Paino menyampaikan pendapatnya melalui Republika News berikut:[8]
REPUBLIKA.CO.ID – “Pemberian amplop dari narasumber atau pihak-pihak tertentu kepada jurnalis yang sedang dalam tugas peliputan, dapat membuat moral para insan pers jadi `keropos`,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo, Cristopel Paino. Menurutnya, uang amplop dari narasumber pada tingkat tertentu dapat menimbulkan candu bagi jurnalis, itu menandakan sebuah keadaan moral yang keropos.
“Selain mengancam independensi,” lanjutnya, “tak jarang Jurnalis yang terbiasa menerima amplop, kerap menjadikan narasumber sebagai obyek yang hanya sebatas dipandang dari segi uang atau fasilitas lain yang bisa mereka berikan.”
"Narasumber tidak lagi dihargai sebagai subyek yang memberikan informasi, namun lebih pada persoalan seberapa besar uang lelah yang dia berikan pada wartawan, bahkan ada yang memakai cara pemerasan untuk mendapatkan uang," kata dia.
Namun dirinya tidak memungkiri, hal itu masih terkait dengan sistem pengupahan wartawan oleh media tempat bekerja, yang pada umumnya, masih terbilang minim. "Gaji wartawan di Gorontalo misalnya, masih banyak yang berada di bawah satu juta rupiah, atau sistem kontrak," Kata dia.
Hal itu juga ditambah dengan sikap narasumber sendiri, yang masih membiasakan diri untuk memberikan uang amplop pada wartawan saat bertugas, dengan dalih, sebagai pengganti transportasi atau ongkos lelah. "Mereka tak sadar, banyak wartawan yang akhirnya menjadi tergantung dengan hal itu," kata dia.
Dengan keadaan yang sedemikian kompleks itu, menurutnya dibutuhkan kreativitas wartawan, semisal dengan menjalankan usaha sampingan yang tidak melanggar kode etik jurnalistik, sambil terus mengupayakan agar pekerjaannya mendapatkan upah yang layak.
Sungguh memalukan memang perbuatan wartawan yang menyalahgunakan profesinya untuk memeras sebagaimana kasus di atas. Sebab, tindakan tersebut hanya akan mencoreng kredibilitas dunia pers yang seharusnya, serta peran mereka dalam mencerdaskan masyarakat. Oleh karena itu, sikap tegas harus berani diambil oleh media-media atau organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen dan Persatuan Wartawan Indonesia. Mereka harus berani memecat anggota yang menyelewengkan profesinya untuk memeras.
Tanpa tindakan tegas, profesi wartawan akan dipandang rendah oleh publik. Orang akan menilai jurnalis tak ada bedanya dengan tukang palak. Akibatnya, kredibilitas pers akan luntur dan karya jurnalistik tidak lagi dihargai. Bahkan kecaman pers terhadap perilaku para pejabat serta anggota parlemen, juga hanya akan menjadi bahan tertawaan bila perilaku kalangan jurnalis tak ada bedanya dengan mereka.
E.           Kesimpulan
Sudah tidak terbantahkan lagi di era serba digital seperti sekarang ini, sebuah portal berita memegang peranan yang sangat penting untuk menyampaikan berita dan informasi secara langsung kepada pembacanya. Berita dan informasi yang akan disampaikan diharapkan dapat disajikan secara cepat dan akurat serta memuat berita-berita yang berkualitas, adil, berimbang dan terpercaya.
Penyampaian berita dan informasi yang berkualitas dan berimbang tentu akan dapat menciptakan sebuah kondisi yang sehat serta meningkatkan kecerdasan di masyarakat. Hal inilah yang seharusnya di pahami oleh para jurnalis di Indonesia. Sebagai pewarta berita, mereka harusnya selalu mengedepankan nilai-nilai luhur dalam sebuah tugas jurnalistik. Di mana itu sudah menjadi tuntutan profesionalisme agar terbentuk kinerja jurnalistik yang lebih baik. Sehingga, poin penting yang seharusnya tidak boleh dilupakan, adalah bahwa kehadiran para jurnalis tersebut turut menjadi bagian dalam mencerdaskan masyarakat.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Curtis D. MacDougall. 1972. Interpretative Reporting. New York: Macmillan Publishing.
Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. 2005. Jurnalistik: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
http://10arhando.blogspot.com/2012/03/sejarah-singkat-jurnalistik.html
http://rachmadisaleh.blogspot.com/2011/03/makalah-paper-sejarah-jurnalistik.html
http://nadiverboys.wordpress.com/2012/10/07/perkembangan-jurnalistik-indonesia-dan-luar-indonesia-dengan-menggunakan-media-komunikasi/
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/191634-dewan-pers--empat-wartawan-langgar-kode-etik
http://ajipalembang.blogspot.com/2012/01/aji-amplop-membuat-moral-jurnalis.html


[1] http://10arhando.blogspot.com/2012/03/sejarah-singkat-jurnalistik.html
[2] http://rachmadisaleh.blogspot.com/2011/03/makalah-paper-sejarah-jurnalistik.html
[3] Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. 2005. Jurnalistik: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 15.
[4] Curtis D. MacDougall. 1972. Interpretative Reporting. New York: Macmillan Publishing.
[5] Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. Jurnalistik: Teori dan Praktek. Hal 27-29.
[6] http://nadiverboys.wordpress.com/2012/10/07/perkembangan-jurnalistik-indonesia-dan-luar-indonesia-dengan-menggunakan-media-komunikasi/
[7] http://nasional.news.viva.co.id/news/read/191634-dewan-pers--empat-wartawan-langgar-kode-etik
[8] http://ajipalembang.blogspot.com/2012/01/aji-amplop-membuat-moral-jurnalis.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar