A.
Hubungan Kebudayaan Dengan Pendidikan
Kebudayaan
merupakan hasil budi manusia, dalam hal ini berbagai bentuk dan menifestasinya
dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak kaku, melainkan selalu
berkembang dan berubah serta membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kultural dan tantangan
zaman tradisional ketika memasuki zaman modern.
Manusia
sebagai mahluk berakal dan berbudaya selalu berupaya untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang
kreatif dan dinamis manusia terus berevolusi meningkatkan kualitas hidup yang
semakin terus maju, ketika alamlah yang mengendalikan manusia dengan sifatnya
yang tidak iddle curiousity (rasa keingin tahuan yang terus berkembang) makin
lama daya rasa, cipta dan karsanya telah dapat mengubah alam menjadi sesuatu
yang berguna, maka alamlah yang dikendalikan oleh manusia.
Pendidikan
secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya. Dalam menjaga dan
melestarikan kebudayaan sendiri, secara proses mentransfernya yang paling efektif adalah dengan cara pendidikan. Keduanya
sangat erat sekali hubungannya karena saling melengkapi dan mendukung antara
satu sama lainnya.
Tujuan
pendidikan adalah melestarikan dan selalu meningkatkan kebudayaan itu sendiri. Sehingga, dengan
adanya pendidikanlah seseorang bisa mentransfer kebudayaan itu sendiri dari
generasi ke generasi selanjutnya. Hal ini dilakukan agar terwujudnya masyarakat
dan kebudayaan yang lebih baik ke depannya.
Menurut
DR. Sahiq Sama'an dalam al-Syaibany (1979) pendidikan adalah kegiatan yang
dilakukan oleh pendidik-pendidik dan filosofis untuk menerangkan, menyelaraskan,
mengecam dan merubah proses pendidikan dengan persoalan-persoalan kebudayaan dan unsur-unsur yang bertentangan di dalamnya.[1]
Dilihat dari
sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk menimbang dan
menghubungkan potensi individu. Adapun dari sudut pandang kemasyarakatan,
pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada
generasi muda, agar nilai-nilai budaya tersebut tetap terpelihara.
Dalam konteks
ini dapat dilihat hubungan antara pendidikan dengan tradisi budaya serta
kepribadian suatu masyarakat, betapapun sederhananya masyarakat tersebut. Dan tradisi sebagai
muatan budaya senantiasa terlestarikan dalam setiap masyarakat, dari generasi
ke generasi. Hubungan ini tentunya hanya akan mungkin terjadi bila para
pendukung nilai tersebut dapat menuliskannya kepada generasi mudanya sebagai
generasi penerus.
Transfer nilai-nilai budaya paling efektif
adalah melalui proses pendidikan. Dalam masyarakat modern proses pendidikan tersebut
didasarkan pada program pendidikan secara formal. Oleh sebab itu dalam
penyelenggarannya dibentuk kelembagaan pendidikan formal.
Seperti
dikemukakan Hasan Langgulung bahwa pendidikan mencakup dua kepentingan utama,
yaitu pengembangan potensi individu dan pewarisan nilai-nilai budaya. Maka
sudah jelas sekali bahwa kedua hal tersebut pendidikan dan kebudayaan berkaitan
erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa itu masing-masing, kedua hal tersebut tidak
dapat dipisahkan karena saling membutuhkan antara satu sama lainnya.
B.
Pendidikan
Merupakan Gejala Kebudayaan
Pandangan bahwa pendidikan
merupakan gejala kebudayaan didasarkan pada hal-hal berikut:[2]
1.
Manusia
Adalah Makhluk Budaya
Pendidikan
hanya dapat dilakukan oleh makhluk yang berbudaya dan menghasilkan nilai
kebudayaan,
yaitu manusia. Hal ini juga yang merupakan perbedaan antara manusia dan hewan
dengan adanya budaya dan pendidikan. Sifat dunia hewan statis, di mana instink dan dan reflek sebagai
pembatas (misalnya lingkungan air, udara dan tanah). Adapun sifat dunia manusia terbuka, di mana manusia memberi arti bagi
dunianya (secara kongkrit).
2.
Perkembangan Pendidikan Sejajar Dengan
Perkembangan Budaya
a.
Pendidikan bersifat reflektif
Pendidikan
selalu berubah sesuai perkembangan kebudayaan, karena pendidikan merupakan
proses transfer kebudayaan dan sebagai cermin nilai-nilai kebudayaan.
b.
Pendidikan
juga bersifat progresif
Selalu
mengalami perubahan perkembangan sesuai tuntutan perkembangan kebudayaan. Kedua
sifat tersebut berkaitan erat dan terintegrasi. Untuk itu perlu pendidikan
formal dan informal. Perbedaan kebudayaan menjadi cermin bagi bangsa lain,
membuat perbedaan sistem, isi dan pendidikan pengajaran sekaligus menjadi
cermin tingkat pendidikan dan kebudayaan.
3.
Pendidikan
Informal dan Pendidikan Formal Sama Derajatnya dan Harus Ada Kesejajaran Tujuan
Pendidikan
informal lebih dahulu ada dari pada pendidikan formal (education dan
schooling). Pendidikan informal merupakan unsur mutlak kebudayaan untuk semua
tingkat kebudayaan yang muncul karena adanya pembagian kerja. Pada dasarnya
keduanya disengaja dan merupakan gejala kebudayaan. Sehingga, memisahkan keduanya
tidaklah
berguna. Tugas kebudayaan bukan memonopoli lembaga pendidikan formal, tetapi
kebersamaan warga dan negara karena segala unsur kebudayaan bernilai pendidikan
baik direncanakan atau tidak.
C.
Pendidikan
Manusia Antarbudaya
Konflik antarbangsa dewasa ini
disebabkan tidak adanya atau kurangnya pemahaman dan penghargaan atas budaya
bangsa lain, maka salah satu usaha untuk
menanggulangi konflik tersebut adalah dengan mendidik manusia-manusia,
khususnya para (calon) pemimpin bangsanya, untuk menjadi manusia-manusia
antarbudaya. Melalui pendidikan ini kita dapat menciptakan generasi-generasi
baru yang tidak terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik dan
teritorial. Kita harus mengganti cara-cara berpikir ini dengan
pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-realitas dan
tuntutan-tuntutan internasional.
Pendidikan yang dimaksud di sini
bisa formal dan bisa juga informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik,
komunikasi antarbudaya, adalah bidang-bidang studi yang cukup penting diajarkan
di sekolah dan perguruan tinggi. Penting pula pertukaran siswa, mahasiswa,
ilmuwan, artis dan olahragawan bangsa. Bidang-bidang studi di atas penting
tidak hanya bagi orang-orang yang dikirim ke luar negeri, tetapi juga bagi
orang-orang di dalam negeri yang bergaul dengan orang-orang asing seperti para
wartawan, para pegawai perusahaan asing dan karyawan-karyawan hotel berbintang
yang menerima banyak tamu asing.
Media massa juga merupakan sarana
yang dapat digunakan untuk memasyarakatkan nilai universal ini, melalui berita,
ulasan, feature, pandangan mata, dsb. Begitu pula buku-buku, khususnya
yang berisi pengetahuan tentang budaya bangsa-bangsa lain yang meliputi adat
istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan perilaku komunikasi mereka. Itu adalah usaha-usaha
yang perlu dilakukan terutama untuk membentuk manusia-manusia antarbudaya
tingkat internasional. Untuk membentuk manusia-manusia antarbudaya tingkat
nasional, perlu dilakukan usaha-usaha lain, seperti:[3]
1.
Penggunaan
bahasa nasional di forum-forum resmi seperti lembaga pendidikan, kantor
pemerintahan, kantor swasta, dsb. Juga di forum-forum tidak resmi yang
melibatkan lebih dari satu suku bangsa. Disamping itu, pemaksaan unsur-unsur
suatu bahasa daerah yang berlebihan ke dalam bahasa nasional hendaknya
dihindari. Pemaksaan semacam ini merupakan gejala etnosentrisme yang tidak akan
menyenangkan orang-orang dari daerah-daerah lain.
2.
Penyajian
kebudayaan (kesenian) yang adil melalui media elektronik nasional, khususnya
televisi, dan di forum-forum internasional. Jangan sampai ada suatu kebudayaan
atau kesenian suatu daerah yang terlalu ditonjolkan atau dianaktirikan.
3.
Sosialisasi
yang merata di lembaga-lembaga pendidikan dan kantor-kantor pemerintahan dan
swasta, dengan menerima (maha) siswa dan pegawai yang cakap, tanpa mempedulikan
apa suku mereka.
4.
Kontak
antarsuku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai (termasuk guru
dan dosen) antarprovinsi, paling tidak untuk suatu periode tertentu.
5.
Perkawinan
antarsuku, sepanjang orang-orang yang berbeda suku tersebut mempunyai kecocokan
dalam segi-segi penting, misalnya dalam agama.
6.
Pembangunan
daerah yang merata oleh pemerintah. Jangan ada daerah yang sebagian maju dan
sebagian lagi terlantar, ini bisa juga menimbulkan kebencian antarsuku.
Usaha-usaha di atas tentunya tidak dapat dilakukan
secara sendiri-sendiri, tetapi harus bersama-sama dengan lembaga-lembaga yang
berwenang, terutama pemerintah. Namun sebagai awal dari usaha-usaha ini, kita
secara pribadi-pribadi dapat melakukan apa yang sekiranya bisa kita lakukan, seperti mengembangkan kompetensi komunikasi antarbudaya.
D.
Mengembangkan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya
Dalam upaya mengembangkan kompetensi komunikasi
antarbudaya pada konteks pendidikan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Ketika
pemerintah menggulirkan otonomi daerah, ancaman konflik etnis merebak
diman-mana. Kerukunan antar etnis yang dibanggakan sebagai manifestasi idiom
Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana tercantum dalam lambing Negara Garuda
Pancasila menjadi sirna dan kehilangan makna. Oleh karena itu, dua aspek humaniora dan kearifan lokal menjadi hal yang
penting untuk diperhatikan.
1.
Humaniora
Humaniora menjadi salah satu aspek penting yang
perlu dikembangkan kembali. Humaniora yang termarginalkan mulai terasa saat
Orde Baru menggandrungi paradigma konsensus dan developmentalisme. Situasi ini
menciptakan fenomena penyeragaman yang sangat alergis dengan keanekaragaman,
sehingga pemikiran dan aktivitas yang bersifat eksploratif dan mengedepankan
pentingnya sebuah pluralitas dipinggirkan. Humaniora merupakan nilai yang
bersifat universal karena mampu menembus batas-batas agama dan perspektif
ideologis lainnya sehingga bisa mengatasi pandangan sempit primordial.[4]
Menurut tokoh humanis Soedjatmoko, bahwa hidup dan nasib
manusia sebagai sebuah bangsa pada dasranya tergantung pada apa yang
dilakukannya sendiri, yaitu pada kemampuannya untuk memilih dan mengolah
kemungkinan yang terdapat dalam dunia ini. keberhasilan dan kegagalan hidup
tidak ada hubungannya dengan kekuatan-kekuatan dari luar.
2.
Kearifan Lokal
Proses dehumanisasi yang terjadi di berbagai lokasi
di Indonesia sebagai akibat benturan antar nilai, penyembuhannya bisa dilakukan
dengan himanisme yang digali melauli kearifan lokal itu sendiri. Banyak yang
menyepakati bahwa tradisi-tradisi lokal dan kebudayaan lokal sarat dengan
nilai-nilai humanistik,yang tidak terkontaminasi dengan nilai-nilai luar yang
masih efektif sebagai solusi konflik. Humaniora yang bersumber dari kearifan
lokal semacam itu, seharusnya dimiliki oleh setiap budaya. Oleh karena itu,
berbagai upaya untuk mengidentifikasikan nilai-nilai lokal yang humanistik
perlu dilakukan, untuk kemudian diinternalisasikan melalui pendidikan keluarga
maupun pendidikan sekolah.
Apabila pendidikan humaniora kurang diberikan kepada
bangsa maka perlahan-lahan suatu bangsa dan masyarakat menjadi ‘kebal rasa’.
Dampaknya antara lain apabila terjadi konflik antar suku, bangsa dan agama maka
tidak dapat diselesaikan secara tuntas, ditambah jika tidak menjadikan kearifan
lokal sebagai pendukung resolusi konflik.
E.
Kompetensi
Dalam upaya meningkatkan Cultural Competition komunikasi antar budaya. Dikenal istilah
kompetensi yang berarti kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik secara
pribadi, berkelompok, organisasi atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan
kapasitas, ketrampilan, pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari
orang-orang lain yang berbeda kebudayaan. Kompetensi antar budaya berkaitan
dengan suatu keadaan dan kesiapan individu sehingga kapasitasnya dapat
berfungsi efektif dalam situasi perbedaan budaya.
Setiap kompetensi antarbudaya dari setiap individu
tergantung pada institusi sosial, organisasi, kelompok kerja dan tempat
individu itu berada. Ada beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari
kompetensi antarbudaya:
a.
Adanya
perbedaan nilai budaya.
b.
Tata
aturan budaya cenderung mengatur dirinya sendiri.
c.
Kesadaran
untuk mengelola dinamika perbedaan.
d.
Pengetahuan
kebudayaan yang sudah institusional.
e.
Mengadaptasikkan
kekuatan semangat layanan dalam keragaman budaya demi melayani orang lain.
F.
Unsur-Unsur Kompetensi
Pada umumnya pembahasan tentang
kompetensi menghendaki adanya suatu ketrampilan atau kecakapan yang dimiliki seseorang saat berkomunikasi. Brian
Spitzberg dan Willian Cupach menampilkan tiga komponen kompetensi komunikasi
yaitu motivasi, pengetahuan dan ketrampilan,
dengan penjelasannya sebagai berikut:
1.
Motivasi
Motivasi adalah daya tarik dari
komunikator yang mendorong seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Motivasi itu dapat berupa kebutuhan seseorang terhadap suatu informasi. Namun karena kebutuhan
setiap individu berbeda-beda, jadi
setiap individu memiliki kombinasi kebutuhan dan hal itu menentukan kekuatan
motivasi seseeorang untuk berkomunikasi dengan orang lain.
2.
Pengetahuan
Komponen kedua adalah
pengetahuan, komponen ini menentukan tingkat kesadaran atau pemahaman seseorang
tentang kebutuhan apa yang harus dilakukan dalam rangka komunikasi secara tepat dan efektif. Pada
komponen pengetahuan
ini setidaknya ada tiga strategi yang dapat digunakan mengumpulkan informasi
untuk mengurangi ketidakpastian yakni strategi
pasif, strategi aktif dan strategi interaktif.
Strategi pasif yakni memfungsikan diri
sendiri sebagai pengamat terhadap seseorang yang akan dilibatkan dalam proses
interaksi. Strategi aktif dilakukan dengan mengumpulkan informasi sebanyak
mungkin mengenai seseorang yang menjadi target interaksi serta membandingkan
hasil pengamatan dan literatur mengenai budaya orang tersebut. Sedangkan
strategi interaktif yang dimaksud disini adalah mengadakan hubungan atau
interaksi langsung dengan orang yang menjadi target.
3.
Ketrampilan
Komponen terakhir adalah ketrampilan. Komponen ini sangat
dibutuhkan dalam mengurangi tingkat ketidakpastian dan kecemasan. Ketrampilan
yang dibutuhkan adalah
empati, berperilaku
seluwes mungkin, dan kemampuan untuk mengurangi ketidakpastian itu sendiri.
Seseorang dikatakan
memiliki kompetensi komunikasi jika dia memiliki motivasi yang kuat,
pengetahuan yang memadai dan ketrampilan yang cukup bagi tercapainya komunikasi
yang efektif. Wiemann dan Kelly menyatakan bahwa motivasi tanpa ketrampilan
tidak akan bermanfaat secara sosial dan ketrampilan tidak dapat digunakan kalau
tanpa kemampuan pengetahuan untuk memberikan diagnose atas kebutuhan situasi
dan hambatan yang dihadapi. Motivasi manusia,
pengetahuan manusia dan ketrampilan interaksi dengan hasil yang diinginkan
selalu berkaitan dengan persepsi orang yang berkomunikasi dengan anda. Kalau
orang lain menerima kehadiran anda dalam sebuah interaksi yang cepat maka anda
dikatakan memiliki kompetensi. Inilah kompetensi komunikasi.
G.
Pendekatan Kompetensi Berkomunikasi Antarbudaya
1.
Pendekatan perangai
Tatkala berkomunikasi dengan
seseorang dari kebudayaan lain maka kita akan
menampilkan perangai tertentu. Perangai tidak saja di bentuk oleh faktor-faktor internal indivudu,
tetapi juga pengaruh factor-faktor sosial. Itulah yang di
sebut Internal Respons Trait (IRT). Internal respons trait adalah derajat
kestabilan disposisi dan konsistensi disposisi individu untuk merespon
karakteristik orang lain. Dasar
utama dari asumsi IRT adalah perilaku sosial
dari individu untuk merespon suatu objek – dalam hal ini orang
dari kebudayaan yang lain – disalurkan
melalui perangai respon antarpribadi. IRT berawal dari beberapa konsep lain
yang berkaitan. Jadi, IRT merupakan saluran, media tempat dimana perilaku sosial dari individu harus
diaktualisasikan.
2.
Pendekatan Perseptual
Ada beberapa model dalam pendekatan perseptual, yaitu
sebagai berikut:
·
Model shanon & weaver
Model ini berbentuk linier, di sebut
demikian karena proses komunikasi dipandang sebagai “transaksi “ di mana pengirim dan
penerima mengetahui apa yang dikirim, tidak ada mekanisme umpan balik. Contoh,
komunikasi yang memiliki kemungkinan
umpan balik paling kecil adalah media massa. Model ini menggambarkan
teknik pengalihan aspek-aspek
komunikasi,
sehingga menjadikan konteks dan isi komunikasi
tidak relevan.
Gangguan merupakan salah satu konsep
penting dalam model ini. Gangguan adalah bentuk hambatan fisik yang dialami oleh
sinyal (statis, cuaca, cahaya silau, atau saluran yang kelebihan muatan). Gangguan tersebut digunakan sebagai
metafora untuk menggambarkan segala sesuatu yang mungkin akan menghambat dan
menginterupsi komunikasi.
·
Model Gerbner
Menurut Gerbner setiap orang yang
terlibat dalam komunikasi mempunyai persepsi dan penyaring. Baik persepsi
maupun penyaring sama-sama
merupakan suatu struktur yang menentukan bagaimana seseorang mengirim atau
menerima sebuah pesan. Kemudian dia juga berpendapat bahwa sebuah pesan adalah
sebuah isi dan bentuk tambahan yang menghasilkan makna tertentu. Model yang
diajukan gerbner memperhitungkan juga perbedaan kekuatan saluran (variasi
penggunaan media) yang
memperbesar akses pengiriman dan penerimaan atau mengubah nilai rasa penerima.
·
Model Singer Saat seseorang berkomunikasi, maka muncul persepsi.
Menurut Sinner persepsi
terkadang bukan menunjukkan realitas itu sendiri, itu hanyalah variasi dari
persepsi seseorang,
hal ini karena persepsi orang tersebut
dipengaruhi oleh faktor fisik, lingkungan, dan kemampuan untuk mempelajari kebudayaan.
Sehingga, seseorang dapat melihat bahwa
semua orang memperoleh informasi dari lingkungan tetapi apa yang dilihat
itu selalu melalui sebuah media tertentu. Atau mungkin, semua orang memperoleh informasi, namun, membuat
interpretasi yang berbeda atas informasi itu.
Menurut singger, setiap detik, dunia
membanjiri kita dengan informasi. Namun, prosedur akal kita untuk
menginterpretasi dan model persepsi hanya terukur dalam menit. Oleh karena itu,
manusia menggunakan
cara tertentu untuk menyeleksi informasi yang menerpa mereka, di sinilah terjadi proses
penyaringan, dan inilah esensi dari faktor
penentu terhadap setiap pesan yang diterima.
3.
Pendekatan perilaku
Pendekatan terhadap kompetensi komunikasi
antarbudaya dapat dilakukan melalui
pendekatan perilaku, terutama perilaku sosial
(perilaku individu dalam konteks sosial)
karena individu berhubungan dengan seseorang dalam konteks budaya tertentu. Ada
beberapa teori terkait hal ini, yaitu:
·
Teory Stimulus-respons
Kay Feaux
dan Lawrence S. Wrigtsman mengemukakan beberapa contoh pendekatan perilaku
antarpribadi, misalnya Reinforcement Theory dan cognitive Theory. Dua pendekatan ini mengemukakan bahwa
perilaku sosial
ditentukan oleh prinsip-prinsip
penguatan dan pembelajaran. Para ahli psikologi yang berpendapat demikian antara lain John Watson. Clark ment theory
adalah analisis hubungan antara stimulus internal maupun eksternal yang
membangkitkan respons penerima. Berarti untuk mengubah respons seseorang
terhadap stimulus dari luar maka kita perlu meningkatkan derajat penguatan atau
tekanan internal maupun eksternal tertentu. Sedangkan dalam cognitive theory
dikatakan bahwa sebab-sebab
perilaku historis maupun perilaku terkini ditentukan oleh memori dan stkruktur
kognitif. Jadi, setiap orang selalu bertindak berdasarkan struktur kognitif.
·
Teori F. B. Skinnner tentang Perilaku yang Dapat Diamati
Pendekatan perilaku yang diajukan oleh skinner
menekankan bahwa untuk
memahami kepribadian seseorang, tidak perlu memahami kognisi orang itu. Kognisi
tidak penting dalam memahami kepribadian
karena kepribadian merupakan perilaku yang dapat diamati. Dengan demikian, kepribadian manusia itu
berkaitan erat dengan situasi. Pandangan ini merupakan gagasan dasar dari
sebagian besar teori
sosial learning yang juga
menekankan bahwa pengalaman
individu dengan lingkungan itulah yang membentuk sebuah kepribadian. Skinner
dikritik oleh para psikolog lain hanya karena dia tidak pernah berpikir bahwa
untuk menanggapi lingkungan, seseorang membentuk pemikiran berdasarkan
kesadaran atau bahkan alam bawah sadar.
·
Teori Albert Bandura
Tentang Sosial Learning
Sebagaimana
dikatakan diatas,
teori sosial learning percaya
bahwa lingkungan merupakan faktor
penentu terpenting bagi pembentukan kepribadian. Bandura mengatakan bahwa
sebetulnya setiap orang dapat mengontrol perilakunya sendiri melalui pikiran
kepercyaan, dan nilai-nilai.
Albert bandura yng memperkenalkan
social learning theory mengatakan bahwa ‘belajar sosial’ merupakan hasil dari
respon langsung, akibat dari frekuensi perilaku setelah seseorang mengamati
orang lain. Perilaku orang lain dapat dijadikan sebagai model atau informasi
yang kemudian akan di tiru. Bandura dan Mischel mengatakan bahwa berbagai faktor internal dan
eksternal sangat menentukan control diri seseorang.
·
George Homans tentang social exchange theory
Ada pula
social exchange theory (teori pertukaran sosial)
yang mendasari diri pada prinsip-prinsip
ekonomi bahwa interaksi antarmanusia tergantung dari ganjaran dan biaya yang
melibatkan mereka berdua atau yang mereka cari dalam relasi mereka itu. Makin
besar keuntungan yang diperoleh maka makin renggang atau putuslah relasi tersebut. Menurut humans, pada
dasarnya manusia itu bersifat hedonistic, dengan kata lain, mereka mencari
kepuasan maksimal dan biaya minimal. Dalam interaksi dengan sesama, mereka
mencari dan menukar kepuasan itu.
4.
Pendekatan kebudayaan khusus
Anda dapat mengidentifikasi persepsi khusus
kebudayaan dan perilaku unik
yang dimiliki oleh peserta komunikasi. Oleh karena itu, sebagai pesera
komunikasi anda harus memahami beberapa komponen kemampuan komunikasi
antarabudaya seperti konteks, ketepatan akan efektifitas, pengetahuan, motivasi
dan aksi, yang semuanya itu berbeda-beda
berdasarkan kebudayaan. Jika kita ingin meningkatkan komunikasi dengan orang
dari dari kebudayaan lain, maka yang di lakukan
adalah mempelajari kebudayaan, belajar tentang nilai, norma, kepercayaan,
bahasa, struktur pengetahuan, sistem
sosial dan budaya, sistem ekonomi, mata
pencaharian dan adat
istiadat.
H.
Implementasi
Prinsip-Prinsip Komunikasi Sosial Budaya dalam Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran merupakan suatu bentuk
komunikasi yaitu komunikasi antara subjek didik dengan pendidik, antara
mahasiswa dengan dosen, antara siswa dengan guru. Di dalam komunikasi tersebut
terdapat pembentukan (transformasi) dan pengalihan (transfer) pengetahuan,
keterampilan ataupun sikap dan nilai dari komunikator (pendidik, dosen, guru)
kepada komunikan (subjek didik, mahasiswa, siswa) sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan.[5] Menurut Sudjana (1991),
terdapat tiga pola komunikasi yang digunakan untuk mengembangkan interaksi
dinamis dalam suatu proses pembelajaran, yaitu:
·
Komunikasi
sebagai aksi atau komunikasi satu arah. Dalam komunikasi ini guru berperan
sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai penerima aksi. Guru aktif dan siswa
pasif. Namun komunikasi jenis ini kurang menghidupkan semangat siswa untuk
belajar.
·
Komunikasi
sebagai interaksi ataukomunikasi dua arah. Pada
komunikasi ini guru dan siswa dapat berperan sama, yaitu pemberi aksi dan
penerima aksi. Keduanya dapat saling member dan menerima. Komunikasi ini lebih
baik daripada yang pertama, sebab kegiatan guru dan siswa relatif sama.
·
Komunikasi
sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah. Yakni komunikasi yang tidak
hanya melibatkan interaksi dinamis antara guru dan siswa, tetapi juga
melibatkan interaksi dinamis antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya.
Proses belajar mengajar dengan pola komunikasi ini mengarah kepada prosesa
pembelajaran yang menmgembangkan kegiatan siswa yang optimal, sehingga
mendorong siswa belajar aktif.
Penerapan dari ketiga pola di atas
dalam proses pembelajaran dimanifestasikan dalam bentuk metode yang digunakan
guru ketikamengadakan interaksi dengan siswa pada saat berlangsungnya
prosespembelajaran. Metode yang digunakan guru memiliki peranan yangs angat
penting dalam menciprtakan iklim pembelajaran yang suportif dan kondusif.
Dalam penyampaian
materi pembelajaran kepada peserta didik, ada beberapa faktor yang perlu
dipertimbnagkan, diantaranya adalah peserta didik, ruang kelas, metode dna
materi itu sendiri. Untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada
suatu proses pembelajaran, metode pembelajaran komunikasi harus mendapat
perhatian yang sungguh-sungguh. Metode pembelajaran komunikasi tidak selalu
harus sama untuk setiap materi. Proses pembelajran pada hakikatnya adalah
proses komunikasi sosial budaya. Alasannya adalah:
·
Proses pembelajran merupakan proses transaksional. Materi yang
ditransaksikan dalah pesan-pesan berupa pengetahuan bahan ajar.
·
Dalam proses pembelajaran melibatkan guru dan siswa, di mana guru dan siswa
itu memiliki latar belakang sosial buday aynag berbeda.
·
Adanya perbedaan latar belakang budaya memperngaruhi apakah prose
komunikasi pembelajraan berjalan efektif.
Berdasarkan prisnsip memaklumi perbedaan latar belakang
sosial budaya ini, maka implementasinya dalam proses pembelajran dapat
diuraikan berikut ini:
1.
Setiap individu memiliki nilai-nilai sosial budaya dan berhak menggunakan
nilai-nilai itu.
Dalam hal ini komunikator dan
komunikan yang saling berbeda latar belaknag budaya, harus bisa saling menghargai. Apabila terjadi
perbedaan penafsiran dan pemaknaan atas lambang-lambang tertentu, hal itu harus
dimaklumi dan dipergunakan sebagai awal untuk saling berbagi pengetahuan
sehingga dikemudian hari dapat dilakukan komunikasi yang efektif, yang ditandai
oleh adanya kesamaan pengalaman dalam memberi arti simbol-simbol oleh
komunikator dan komunikan. Komunikasi antara guru dna siswa merupakan jembatan
yang dapat menghubungkan berbagai perbedaan nilai dari dua sisi: guru dan
siswa. Komunikasi pembelajran tidak dapat dilihat terlalu simple sebagai proses
pengoperan pengetahuan, melainkan proses interaktif yang melibatkan ke dua
belah pihak untuk mengurangi perbedaan dan menyamakan tujuan.
2.
Seting pembelajaran mengikuti pola komunikasi horizontal dua arah, bukan
vertikal satu arah.
Seting horizontal, artinya
posisi guru dan siswa dalam proses pembelajaran adalah sejajar. Komunikasi dua
arah, berarti guru mesti membangun sistem komunikasi dua arah dengan siswa,
sehingga proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses “berbagi”. Dengan
demikian, guru harus menghargai pendapat siswa.
3.
Empati merupakan kaidah emas untuk mengatasi ancaman kegagalan
berkomunikasi.
Kaidah emas mengasumsikan bahwa
semua orang itu sama dalam hal memiliki perasaan. Yakni dalam memperoleh
kesenangan, keselamatan, keberhasilan, dan sebagainya. Empati adalah
memposisikan diri pada posisi orang lain. Contoh: seorang siswa yang terlihat
sedih hingga tidak berkonsentrasi pada pelajaran. Menghadapai hal yang seperti
ini, guru tidak boleh tersinggung dan marah karena pelajarannya tidak
diperhatikan. Justru seharusnya, guru bertanya pada siswa terkait alasan kenapa
siswanya bersedih.
4.
Proses pembelajaran tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga
mendidik nilai-nilai sosial budaya.
Untuk mewujudkan pendidikan
yang bermakna bagi pengembangan manusia seutuhnya, dibutuhkan lembaga
pendidikan yang ideal, yakni lembaga pendidikan yang memiliki karakter sebagai
wahana pendidikan dan pengajaran. Suatu lembaga yang mampu melaksanakan
pendidikan dan pengajaran secara seimbang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
·
Memberdayakan sumberdaya manusianya seoptimal mungkin,
·
Memfasilitasi warganya untuk belajar terus dan belajra kembali,
·
Mendorong kemandirian setiap warganya,
·
Memberikan tanggung jawab kepada warganya,
·
Mendorong setiap warganya untuk mempertanggungjawabkan setiap hasil
kerjanya,
·
Mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas bagi setiap warganya,
·
Mengajak warganya untuk siap menghadapi perubahan.
5.
Proses belajar menempatkan seseorang dari status kemampuan atau kecakapan
yang satu kepada kemampuan atau kecakapan yang lain.
Proses belajar adalah suatu
perubahan yang relatif tetap dalam persediaan tingkah laku, yang terjadi
sebagai hasil pengalaman. Ini berarti, hanya dapat dikatakan terjadi proses
belajar apabila seseorang menunjukkan tingkah laku yang tidak sama. Jika ia
dapat membuktikan pengethauan tentang fakta-fakta baru atau ia bisa melakukan
sesuatu, yang sebelumnya ia tidak dapat meakukannya.
6.
Perlunya memahami karakteristik komunikan (siswa) dan berusaha menyesuaikan
cara mengajar dengan karakteristik siswa tersebut.
Pengajar yang baik seyogyanya
memahami karakteristik siswanya, agar ia sukses dalam melaksanakan peran
mengajarnya. Dalam proses belajar mengajar kemungkinan akan ditemui siswa yang
sulit untuk melakukan kontak dengan dunia sekitarnya, suka mengasingkan diri,
dan cenderung menutup diri. Dalam kaitan dengan hal ini, maka guru hendaknya
merencanakan proses belajar mengajar yang sesuai dengan keadaan dan kepribadian
siswa.
7.
Pembelajaran adalah suatu proses mengelola input menjadi output.
Pembelajaran sebagai proses,
pada hakikatnya mengandung tiga unsur, yaitu adanya input (bahan mentah yang
akan diolah), proses (kegiatan mengolah input), dan output (hasil yang telah
diolah). Dalam hal ini, input proses belajar mengajar adalah siswa atau
mahasiswa sebelum proses pembelajaran. Proses belajar mengajar adalah interaksi
antara komponen-komponen belajar mengajar yaitu tujuan, bahan, metode,
dosen/guru, mahasiswa/siswa, fasilitas dan penilaian. Output dari proses
belajar mengajar yaitu peserta didik setelah menerima pembelajaran.
8.
Pembelajaran sebagai proses komunikasi antara guru dan siswa secara
terbuka.
Komunikasi secara terbuka diindikasikan
oelh adanya peluang yang sama dari komunikator dan komunikan untuk menyampaikan
gagasan. Keefektifan komunikasi yang didesain secara terbuka tersebut
tergantung dari kedua belah pihak, namun, karena guru yang memegang kendali
maka tanggungjawab terjadinya komunikasi yang sehat, terbuka dan efektif
terletak ditangan guru. Salah satu indikator komunikasi yang terbuka adalah
kemampuan siswa untuk mengungkapkan perasaannya. Kemampuan ini berkaitan dengan
penciptaan iklim yang positif dalam kegiatan belajar, yang memungkinkan siswa
mau mengungkapkan perasaan atau masalah yang dihadapinya tanpa merasa takut
kepada guru.
9.
Memberdayakan siswa dengan mengubah teacher directed strategies menjadi
student directed strategies.
Secara umum, strategi
pembelajaran dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu:
Strategi yang diarahkan pengajar (teacher directed strategies). Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah ceramah, tanya-jawab dan latihan.
Strategi yang terpusat pada mahasiswa/siswa (student
directed strategies). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah belajar kelompok,
dan penyikapan yang terbimbing.
[3] Deddy Mulyana
dan Jalaluddin Rakhmat. 1993. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hal. 206.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar