Senin, 29 Juli 2013

Komunikasi Lintas Budaya dalam Konteks Pendidikan

A.           Hubungan Kebudayaan Dengan Pendidikan
Kebudayaan merupakan hasil budi manusia, dalam hal ini berbagai bentuk dan menifestasinya dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak kaku, melainkan selalu berkembang dan berubah serta membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kultural dan tantangan zaman tradisional ketika memasuki zaman modern.
Manusia sebagai mahluk berakal dan berbudaya selalu berupaya untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis manusia terus berevolusi meningkatkan kualitas hidup yang semakin terus maju, ketika alamlah yang mengendalikan manusia dengan sifatnya yang tidak iddle curiousity (rasa keingin tahuan yang terus berkembang) makin lama daya rasa, cipta dan karsanya telah dapat mengubah alam menjadi sesuatu yang berguna, maka alamlah yang dikendalikan oleh manusia.
Pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya. Dalam menjaga dan melestarikan kebudayaan sendiri, secara proses mentransfernya yang paling efektif adalah dengan cara pendidikan. Keduanya sangat erat sekali hubungannya karena saling melengkapi dan mendukung antara satu sama lainnya.
Tujuan pendidikan adalah melestarikan dan selalu meningkatkan kebudayaan itu sendiri. Sehingga, dengan adanya pendidikanlah seseorang bisa mentransfer kebudayaan itu sendiri dari generasi ke generasi selanjutnya. Hal ini dilakukan agar terwujudnya masyarakat dan kebudayaan yang lebih baik ke depannya.
Menurut DR. Sahiq Sama'an dalam al-Syaibany (1979) pendidikan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik-pendidik dan filosofis untuk menerangkan, menyelaraskan, mengecam dan merubah proses pendidikan dengan persoalan-persoalan kebudayaan dan unsur-unsur yang bertentangan di dalamnya.[1]
Dilihat dari sudut pandang individu, pendidikan merupakan usaha untuk menimbang dan menghubungkan potensi individu. Adapun dari sudut pandang kemasyarakatan, pendidikan merupakan usaha pewarisan nilai-nilai budaya dari generasi tua kepada generasi muda, agar nilai-nilai budaya tersebut tetap terpelihara.
Dalam konteks ini dapat dilihat hubungan antara pendidikan dengan tradisi budaya serta kepribadian suatu masyarakat, betapapun sederhananya masyarakat tersebut. Dan tradisi sebagai muatan budaya senantiasa terlestarikan dalam setiap masyarakat, dari generasi ke generasi. Hubungan ini tentunya hanya akan mungkin terjadi bila para pendukung nilai tersebut dapat menuliskannya kepada generasi mudanya sebagai generasi penerus.
Transfer nilai-nilai budaya paling efektif adalah melalui proses pendidikan. Dalam masyarakat modern proses pendidikan tersebut didasarkan pada program pendidikan secara formal. Oleh sebab itu dalam penyelenggarannya dibentuk kelembagaan pendidikan formal.
Seperti dikemukakan Hasan Langgulung bahwa pendidikan mencakup dua kepentingan utama, yaitu pengembangan potensi individu dan pewarisan nilai-nilai budaya. Maka sudah jelas sekali bahwa kedua hal tersebut pendidikan dan kebudayaan berkaitan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa itu masing-masing, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan karena saling membutuhkan antara satu sama lainnya.
B.            Pendidikan Merupakan Gejala Kebudayaan
Pandangan bahwa pendidikan merupakan gejala kebudayaan didasarkan pada hal-hal berikut:[2]
1.         Manusia Adalah Makhluk Budaya
Pendidikan hanya dapat dilakukan oleh makhluk yang berbudaya dan menghasilkan nilai kebudayaan, yaitu manusia. Hal ini juga yang merupakan perbedaan antara manusia dan hewan dengan adanya budaya dan pendidikan. Sifat dunia hewan statis, di mana instink dan dan reflek sebagai pembatas (misalnya lingkungan air, udara dan tanah). Adapun sifat dunia manusia terbuka, di mana manusia memberi arti bagi dunianya (secara kongkrit).
2.         Perkembangan Pendidikan Sejajar Dengan Perkembangan Budaya
a.         Pendidikan bersifat reflektif
Pendidikan selalu berubah sesuai perkembangan kebudayaan, karena pendidikan merupakan proses transfer kebudayaan dan sebagai cermin nilai-nilai kebudayaan.
b.         Pendidikan juga bersifat progresif
Selalu mengalami perubahan perkembangan sesuai tuntutan perkembangan kebudayaan. Kedua sifat tersebut berkaitan erat dan terintegrasi. Untuk itu perlu pendidikan formal dan informal. Perbedaan kebudayaan menjadi cermin bagi bangsa lain, membuat perbedaan sistem, isi dan pendidikan pengajaran sekaligus menjadi cermin tingkat pendidikan dan kebudayaan.
3.         Pendidikan Informal dan Pendidikan Formal Sama Derajatnya dan Harus Ada Kesejajaran Tujuan
Pendidikan informal lebih dahulu ada dari pada pendidikan formal (education dan schooling). Pendidikan informal merupakan unsur mutlak kebudayaan untuk semua tingkat kebudayaan yang muncul karena adanya pembagian kerja. Pada dasarnya keduanya disengaja dan merupakan gejala kebudayaan. Sehingga, memisahkan keduanya tidaklah berguna. Tugas kebudayaan bukan memonopoli lembaga pendidikan formal, tetapi kebersamaan warga dan negara karena segala unsur kebudayaan bernilai pendidikan baik direncanakan atau tidak.

C.           Pendidikan Manusia Antarbudaya
Konflik antarbangsa dewasa ini disebabkan tidak adanya atau kurangnya pemahaman dan penghargaan atas budaya bangsa lain, maka salah satu usaha untuk  menanggulangi konflik tersebut adalah dengan mendidik manusia-manusia, khususnya para (calon) pemimpin bangsanya, untuk menjadi manusia-manusia antarbudaya. Melalui pendidikan ini kita dapat menciptakan generasi-generasi baru yang tidak terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik dan teritorial. Kita harus mengganti cara-cara berpikir ini dengan pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-realitas dan tuntutan-tuntutan internasional.
Pendidikan yang dimaksud di sini bisa formal dan bisa juga informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antarbudaya, adalah bidang-bidang studi yang cukup penting diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi. Penting pula pertukaran siswa, mahasiswa, ilmuwan, artis dan olahragawan bangsa. Bidang-bidang studi di atas penting tidak hanya bagi orang-orang yang dikirim ke luar negeri, tetapi juga bagi orang-orang di dalam negeri yang bergaul dengan orang-orang asing seperti para wartawan, para pegawai perusahaan asing dan karyawan-karyawan hotel berbintang yang menerima banyak tamu asing.
Media massa juga merupakan sarana yang dapat digunakan untuk memasyarakatkan nilai universal ini, melalui berita, ulasan, feature, pandangan mata, dsb. Begitu pula buku-buku, khususnya yang berisi pengetahuan tentang budaya bangsa-bangsa lain yang meliputi adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan perilaku komunikasi mereka. Itu adalah usaha-usaha yang perlu dilakukan terutama untuk membentuk manusia-manusia antarbudaya tingkat internasional. Untuk membentuk manusia-manusia antarbudaya tingkat nasional, perlu dilakukan usaha-usaha lain, seperti:[3]
1.         Penggunaan bahasa nasional di forum-forum resmi seperti lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, kantor swasta, dsb. Juga di forum-forum tidak resmi yang melibatkan lebih dari satu suku bangsa. Disamping itu, pemaksaan unsur-unsur suatu bahasa daerah yang berlebihan ke dalam bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam ini merupakan gejala etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah-daerah lain.
2.         Penyajian kebudayaan (kesenian) yang adil melalui media elektronik nasional, khususnya televisi, dan di forum-forum internasional. Jangan sampai ada suatu kebudayaan atau kesenian suatu daerah yang terlalu ditonjolkan atau dianaktirikan.
3.         Sosialisasi yang merata di lembaga-lembaga pendidikan dan kantor-kantor pemerintahan dan swasta, dengan menerima (maha) siswa dan pegawai yang cakap, tanpa mempedulikan apa suku mereka.
4.         Kontak antarsuku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai (termasuk guru dan dosen) antarprovinsi, paling tidak untuk suatu periode tertentu.
5.         Perkawinan antarsuku, sepanjang orang-orang yang berbeda suku tersebut mempunyai kecocokan dalam segi-segi penting, misalnya dalam agama.
6.         Pembangunan daerah yang merata oleh pemerintah. Jangan ada daerah yang sebagian maju dan sebagian lagi terlantar, ini bisa juga menimbulkan kebencian antarsuku.
Usaha-usaha di atas tentunya tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, tetapi harus bersama-sama dengan lembaga-lembaga yang berwenang, terutama pemerintah. Namun sebagai awal dari usaha-usaha ini, kita secara pribadi-pribadi dapat melakukan apa yang sekiranya bisa kita lakukan, seperti mengembangkan kompetensi komunikasi antarbudaya.
D.           Mengembangkan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya
Dalam upaya mengembangkan kompetensi komunikasi antarbudaya pada konteks pendidikan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Ketika pemerintah menggulirkan otonomi daerah, ancaman konflik etnis merebak diman-mana. Kerukunan antar etnis yang dibanggakan sebagai manifestasi idiom Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana tercantum dalam lambing Negara Garuda Pancasila menjadi sirna dan kehilangan makna. Oleh karena itu, dua aspek humaniora dan kearifan lokal menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.
1.         Humaniora
Humaniora menjadi salah satu aspek penting yang perlu dikembangkan kembali. Humaniora yang termarginalkan mulai terasa saat Orde Baru menggandrungi paradigma konsensus dan developmentalisme. Situasi ini menciptakan fenomena penyeragaman yang sangat alergis dengan keanekaragaman, sehingga pemikiran dan aktivitas yang bersifat eksploratif dan mengedepankan pentingnya sebuah pluralitas dipinggirkan. Humaniora merupakan nilai yang bersifat universal karena mampu menembus batas-batas agama dan perspektif ideologis lainnya sehingga bisa mengatasi pandangan sempit primordial.[4]
Menurut tokoh humanis Soedjatmoko, bahwa hidup dan nasib manusia sebagai sebuah bangsa pada dasranya tergantung pada apa yang dilakukannya sendiri, yaitu pada kemampuannya untuk memilih dan mengolah kemungkinan yang terdapat dalam dunia ini. keberhasilan dan kegagalan hidup tidak ada hubungannya dengan kekuatan-kekuatan dari luar.
2.         Kearifan Lokal
Proses dehumanisasi yang terjadi di berbagai lokasi di Indonesia sebagai akibat benturan antar nilai, penyembuhannya bisa dilakukan dengan himanisme yang digali melauli kearifan lokal itu sendiri. Banyak yang menyepakati bahwa tradisi-tradisi lokal dan kebudayaan lokal sarat dengan nilai-nilai humanistik,yang tidak terkontaminasi dengan nilai-nilai luar yang masih efektif sebagai solusi konflik. Humaniora yang bersumber dari kearifan lokal semacam itu, seharusnya dimiliki oleh setiap budaya. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mengidentifikasikan nilai-nilai lokal yang humanistik perlu dilakukan, untuk kemudian diinternalisasikan melalui pendidikan keluarga maupun pendidikan sekolah.
Apabila pendidikan humaniora kurang diberikan kepada bangsa maka perlahan-lahan suatu bangsa dan masyarakat menjadi ‘kebal rasa’. Dampaknya antara lain apabila terjadi konflik antar suku, bangsa dan agama maka tidak dapat diselesaikan secara tuntas, ditambah jika tidak menjadikan kearifan lokal sebagai pendukung resolusi konflik.

E.            Kompetensi
Dalam upaya meningkatkan Cultural Competition komunikasi antar budaya. Dikenal istilah kompetensi yang berarti kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, berkelompok, organisasi atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas, ketrampilan, pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orang-orang lain yang berbeda kebudayaan. Kompetensi antar budaya berkaitan dengan suatu keadaan dan kesiapan individu sehingga kapasitasnya dapat berfungsi efektif dalam situasi perbedaan budaya.
Setiap kompetensi antarbudaya dari setiap individu tergantung pada institusi sosial, organisasi, kelompok kerja dan tempat individu itu berada. Ada beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari kompetensi antarbudaya:
a.         Adanya perbedaan nilai budaya.
b.         Tata aturan budaya cenderung mengatur dirinya sendiri.
c.         Kesadaran untuk mengelola dinamika perbedaan.
d.        Pengetahuan kebudayaan yang sudah institusional.
e.         Mengadaptasikkan kekuatan semangat layanan dalam keragaman budaya demi melayani orang lain.
F.            Unsur-Unsur Kompetensi
Pada umumnya pembahasan tentang kompetensi menghendaki adanya suatu ketrampilan atau kecakapan yang dimiliki seseorang saat berkomunikasi. Brian Spitzberg dan Willian Cupach menampilkan tiga komponen kompetensi komunikasi yaitu motivasi, pengetahuan dan ketrampilan, dengan penjelasannya sebagai berikut:
1.         Motivasi
Motivasi adalah daya tarik dari komunikator yang mendorong seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Motivasi itu dapat berupa kebutuhan seseorang terhadap suatu informasi. Namun karena kebutuhan setiap individu berbeda-beda, jadi setiap individu memiliki kombinasi kebutuhan dan hal itu menentukan kekuatan motivasi seseeorang untuk berkomunikasi dengan orang lain.
2.         Pengetahuan
Komponen kedua adalah pengetahuan, komponen ini menentukan tingkat kesadaran atau pemahaman seseorang tentang kebutuhan apa yang harus dilakukan dalam rangka  komunikasi secara tepat dan efektif. Pada komponen pengetahuan ini setidaknya ada tiga strategi yang dapat digunakan mengumpulkan informasi untuk mengurangi ketidakpastian yakni strategi pasif, strategi aktif dan strategi interaktif.
Strategi pasif yakni memfungsikan diri sendiri sebagai pengamat terhadap seseorang yang akan dilibatkan dalam proses interaksi. Strategi aktif dilakukan dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin mengenai seseorang yang menjadi target interaksi serta membandingkan hasil pengamatan dan literatur mengenai budaya orang tersebut. Sedangkan strategi interaktif yang dimaksud disini adalah mengadakan hubungan atau interaksi langsung dengan orang yang menjadi target.
3.         Ketrampilan
Komponen terakhir adalah ketrampilan. Komponen ini sangat dibutuhkan dalam mengurangi tingkat ketidakpastian dan kecemasan. Ketrampilan yang dibutuhkan adalah empati, berperilaku seluwes mungkin, dan kemampuan untuk mengurangi ketidakpastian itu sendiri.
Seseorang dikatakan memiliki kompetensi komunikasi jika dia memiliki motivasi yang kuat, pengetahuan yang memadai dan ketrampilan yang cukup bagi tercapainya komunikasi yang efektif. Wiemann dan Kelly menyatakan bahwa motivasi tanpa ketrampilan tidak akan bermanfaat secara sosial dan ketrampilan tidak dapat digunakan kalau tanpa kemampuan pengetahuan untuk memberikan diagnose atas kebutuhan situasi dan hambatan yang dihadapi. Motivasi manusia, pengetahuan manusia dan ketrampilan interaksi dengan hasil yang diinginkan selalu berkaitan dengan persepsi orang yang berkomunikasi dengan anda. Kalau orang lain menerima kehadiran anda dalam sebuah interaksi yang cepat maka anda dikatakan memiliki kompetensi. Inilah kompetensi komunikasi.


G.           Pendekatan Kompetensi Berkomunikasi Antarbudaya
1.         Pendekatan perangai
Tatkala berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan lain maka kita akan  menampilkan perangai tertentu. Perangai tidak saja di bentuk oleh faktor-faktor internal indivudu, tetapi juga pengaruh factor-faktor sosial. Itulah yang di sebut Internal Respons Trait (IRT). Internal respons trait adalah derajat kestabilan disposisi dan konsistensi disposisi individu untuk merespon karakteristik orang lain. Dasar utama dari asumsi IRT adalah perilaku sosial dari individu untuk merespon suatu objek – dalam hal ini orang dari kebudayaan yang lain – disalurkan melalui perangai respon antarpribadi. IRT berawal dari beberapa konsep lain yang berkaitan. Jadi, IRT merupakan saluran, media tempat dimana perilaku sosial dari individu harus diaktualisasikan.
2.         Pendekatan Perseptual
Ada beberapa model dalam pendekatan perseptual, yaitu sebagai berikut:
·           Model shanon & weaver
Model ini berbentuk linier, di sebut demikian karena proses komunikasi dipandang sebagai “transaksi “ di mana pengirim dan penerima mengetahui apa yang dikirim, tidak ada mekanisme umpan balik. Contoh, komunikasi yang memiliki kemungkinan umpan balik paling kecil adalah media massa. Model ini menggambarkan teknik pengalihan aspek-aspek komunikasi, sehingga menjadikan konteks dan isi komunikasi tidak relevan.
Gangguan merupakan salah satu konsep penting dalam model ini. Gangguan adalah bentuk hambatan fisik yang dialami oleh sinyal (statis, cuaca, cahaya silau, atau saluran yang kelebihan muatan). Gangguan tersebut digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan segala sesuatu yang mungkin akan menghambat dan menginterupsi komunikasi.
·           Model Gerbner
Menurut Gerbner setiap orang yang terlibat dalam komunikasi mempunyai persepsi dan penyaring. Baik persepsi maupun penyaring sama-sama merupakan suatu struktur yang menentukan bagaimana seseorang mengirim atau menerima sebuah pesan. Kemudian dia juga berpendapat bahwa sebuah pesan adalah sebuah isi dan bentuk tambahan yang menghasilkan makna tertentu. Model yang diajukan gerbner memperhitungkan juga perbedaan kekuatan saluran (variasi penggunaan media) yang memperbesar akses pengiriman dan penerimaan atau mengubah nilai rasa penerima.
·           Model Singer Saat seseorang berkomunikasi, maka muncul persepsi. Menurut Sinner persepsi terkadang bukan menunjukkan realitas itu sendiri, itu hanyalah variasi dari persepsi seseorang, hal ini karena persepsi orang tersebut dipengaruhi oleh faktor fisik, lingkungan, dan kemampuan untuk mempelajari kebudayaan. Sehingga, seseorang dapat melihat bahwa semua orang memperoleh informasi dari lingkungan tetapi apa yang dilihat itu selalu melalui sebuah media tertentu. Atau mungkin, semua orang memperoleh informasi, namun, membuat interpretasi yang berbeda atas informasi itu.
Menurut singger, setiap detik, dunia membanjiri kita dengan informasi. Namun, prosedur akal kita untuk menginterpretasi dan model persepsi hanya terukur dalam menit. Oleh karena itu, manusia menggunakan cara tertentu untuk menyeleksi informasi yang menerpa mereka, di sinilah terjadi proses penyaringan, dan inilah esensi dari faktor penentu terhadap setiap pesan yang diterima.
3.         Pendekatan perilaku
Pendekatan terhadap kompetensi komunikasi antarbudaya dapat dilakukan melalui pendekatan perilaku, terutama perilaku sosial (perilaku individu dalam konteks sosial) karena individu berhubungan dengan seseorang dalam konteks budaya tertentu. Ada beberapa teori terkait hal ini, yaitu:
·           Teory Stimulus-respons
Kay Feaux dan Lawrence S. Wrigtsman mengemukakan beberapa contoh pendekatan perilaku antarpribadi, misalnya Reinforcement Theory dan cognitive Theory. Dua pendekatan ini mengemukakan bahwa perilaku sosial ditentukan oleh prinsip-prinsip penguatan dan pembelajaran. Para ahli psikologi yang berpendapat demikian antara lain John Watson. Clark ment theory adalah analisis hubungan antara stimulus internal maupun eksternal yang membangkitkan respons penerima. Berarti untuk mengubah respons seseorang terhadap stimulus dari luar maka kita perlu meningkatkan derajat penguatan atau tekanan internal maupun eksternal tertentu. Sedangkan dalam cognitive theory dikatakan bahwa sebab-sebab perilaku historis maupun perilaku terkini ditentukan oleh memori dan stkruktur kognitif. Jadi, setiap orang selalu bertindak berdasarkan struktur kognitif.
·           Teori F. B. Skinnner tentang Perilaku yang Dapat Diamati
Pendekatan perilaku yang diajukan oleh skinner menekankan bahwa untuk memahami kepribadian seseorang, tidak perlu memahami kognisi orang itu. Kognisi tidak penting  dalam memahami kepribadian karena kepribadian merupakan perilaku yang dapat diamati. Dengan demikian, kepribadian manusia itu berkaitan erat dengan situasi. Pandangan ini merupakan gagasan dasar dari sebagian besar teori sosial learning yang juga menekankan bahwa pengalaman individu dengan lingkungan itulah yang membentuk sebuah kepribadian. Skinner dikritik oleh para psikolog lain hanya karena dia tidak pernah berpikir bahwa untuk menanggapi lingkungan, seseorang membentuk pemikiran berdasarkan kesadaran atau bahkan alam bawah sadar.
·           Teori Albert Bandura Tentang Sosial Learning
Sebagaimana dikatakan diatas, teori sosial learning percaya bahwa lingkungan merupakan faktor penentu terpenting bagi pembentukan kepribadian. Bandura mengatakan bahwa sebetulnya setiap orang dapat mengontrol perilakunya sendiri melalui pikiran kepercyaan, dan nilai-nilai. Albert bandura yng memperkenalkan social learning theory mengatakan bahwa ‘belajar sosial’ merupakan hasil dari respon langsung, akibat dari frekuensi perilaku setelah seseorang mengamati orang lain. Perilaku orang lain dapat dijadikan sebagai model atau informasi yang kemudian akan di tiru. Bandura dan Mischel mengatakan bahwa berbagai faktor internal dan eksternal sangat menentukan control diri seseorang. 
·           George Homans tentang social exchange theory
Ada  pula social exchange theory (teori pertukaran sosial) yang mendasari diri pada prinsip-prinsip ekonomi bahwa interaksi antarmanusia tergantung dari ganjaran dan biaya yang melibatkan mereka berdua atau yang mereka cari dalam relasi mereka itu. Makin besar keuntungan yang diperoleh maka makin renggang atau putuslah relasi tersebut. Menurut humans, pada dasarnya manusia itu bersifat hedonistic, dengan kata lain, mereka mencari kepuasan maksimal dan biaya minimal. Dalam interaksi dengan sesama, mereka mencari dan menukar kepuasan itu.
4.         Pendekatan kebudayaan khusus
Anda dapat mengidentifikasi persepsi khusus kebudayaan dan perilaku unik yang dimiliki oleh peserta komunikasi. Oleh karena itu, sebagai pesera komunikasi anda harus memahami beberapa komponen kemampuan komunikasi antarabudaya seperti konteks, ketepatan akan efektifitas, pengetahuan, motivasi dan aksi, yang semuanya itu berbeda-beda berdasarkan kebudayaan. Jika kita ingin meningkatkan komunikasi dengan orang dari dari kebudayaan lain, maka yang di lakukan adalah mempelajari kebudayaan, belajar tentang nilai, norma, kepercayaan, bahasa, struktur pengetahuan, sistem sosial dan budaya, sistem ekonomi, mata pencaharian dan adat istiadat.
H.           Implementasi Prinsip-Prinsip Komunikasi Sosial Budaya dalam Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran merupakan suatu bentuk komunikasi yaitu komunikasi antara subjek didik dengan pendidik, antara mahasiswa dengan dosen, antara siswa dengan guru. Di dalam komunikasi tersebut terdapat pembentukan (transformasi) dan pengalihan (transfer) pengetahuan, keterampilan ataupun sikap dan nilai dari komunikator (pendidik, dosen, guru) kepada komunikan (subjek didik, mahasiswa, siswa) sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.[5] Menurut Sudjana (1991), terdapat tiga pola komunikasi yang digunakan untuk mengembangkan interaksi dinamis dalam suatu proses pembelajaran, yaitu:
·           Komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah. Dalam komunikasi ini guru berperan sebagai pemberi aksi dan siswa sebagai penerima aksi. Guru aktif dan siswa pasif. Namun komunikasi jenis ini kurang menghidupkan semangat siswa untuk belajar.
·           Komunikasi sebagai interaksi ataukomunikasi dua arah. Pada komunikasi ini guru dan siswa dapat berperan sama, yaitu pemberi aksi dan penerima aksi. Keduanya dapat saling member dan menerima. Komunikasi ini lebih baik daripada yang pertama, sebab kegiatan guru dan siswa relatif sama.
·           Komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah. Yakni komunikasi yang tidak hanya melibatkan interaksi dinamis antara guru dan siswa, tetapi juga melibatkan interaksi dinamis antara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Proses belajar mengajar dengan pola komunikasi ini mengarah kepada prosesa pembelajaran yang menmgembangkan kegiatan siswa yang optimal, sehingga mendorong siswa belajar aktif.
Penerapan dari ketiga pola di atas dalam proses pembelajaran dimanifestasikan dalam bentuk metode yang digunakan guru ketikamengadakan interaksi dengan siswa pada saat berlangsungnya prosespembelajaran. Metode yang digunakan guru memiliki peranan yangs angat penting dalam menciprtakan iklim pembelajaran yang suportif dan kondusif.
Dalam penyampaian materi pembelajaran kepada peserta didik, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbnagkan, diantaranya adalah peserta didik, ruang kelas, metode dna materi itu sendiri. Untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada suatu proses pembelajaran, metode pembelajaran komunikasi harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Metode pembelajaran komunikasi tidak selalu harus sama untuk setiap materi. Proses pembelajran pada hakikatnya adalah proses komunikasi sosial budaya. Alasannya adalah:
·           Proses pembelajran merupakan proses transaksional. Materi yang ditransaksikan dalah pesan-pesan berupa pengetahuan bahan ajar.
·           Dalam proses pembelajaran melibatkan guru dan siswa, di mana guru dan siswa itu memiliki latar belakang sosial buday aynag berbeda.
·           Adanya perbedaan latar belakang budaya memperngaruhi apakah prose komunikasi pembelajraan berjalan efektif.
Berdasarkan prisnsip memaklumi perbedaan latar belakang sosial budaya ini, maka implementasinya dalam proses pembelajran dapat diuraikan berikut ini:
1.         Setiap individu memiliki nilai-nilai sosial budaya dan berhak menggunakan nilai-nilai itu.
Dalam hal ini komunikator dan komunikan yang saling berbeda latar belaknag budaya,  harus bisa saling menghargai. Apabila terjadi perbedaan penafsiran dan pemaknaan atas lambang-lambang tertentu, hal itu harus dimaklumi dan dipergunakan sebagai awal untuk saling berbagi pengetahuan sehingga dikemudian hari dapat dilakukan komunikasi yang efektif, yang ditandai oleh adanya kesamaan pengalaman dalam memberi arti simbol-simbol oleh komunikator dan komunikan. Komunikasi antara guru dna siswa merupakan jembatan yang dapat menghubungkan berbagai perbedaan nilai dari dua sisi: guru dan siswa. Komunikasi pembelajran tidak dapat dilihat terlalu simple sebagai proses pengoperan pengetahuan, melainkan proses interaktif yang melibatkan ke dua belah pihak untuk mengurangi perbedaan dan menyamakan tujuan.
2.         Seting pembelajaran mengikuti pola komunikasi horizontal dua arah, bukan vertikal satu arah.
Seting horizontal, artinya posisi guru dan siswa dalam proses pembelajaran adalah sejajar. Komunikasi dua arah, berarti guru mesti membangun sistem komunikasi dua arah dengan siswa, sehingga proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses “berbagi”. Dengan demikian, guru harus menghargai pendapat siswa.
3.         Empati merupakan kaidah emas untuk mengatasi ancaman kegagalan berkomunikasi.
Kaidah emas mengasumsikan bahwa semua orang itu sama dalam hal memiliki perasaan. Yakni dalam memperoleh kesenangan, keselamatan, keberhasilan, dan sebagainya. Empati adalah memposisikan diri pada posisi orang lain. Contoh: seorang siswa yang terlihat sedih hingga tidak berkonsentrasi pada pelajaran. Menghadapai hal yang seperti ini, guru tidak boleh tersinggung dan marah karena pelajarannya tidak diperhatikan. Justru seharusnya, guru bertanya pada siswa terkait alasan kenapa siswanya bersedih.
4.         Proses pembelajaran tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga mendidik nilai-nilai sosial budaya.
Untuk mewujudkan pendidikan yang bermakna bagi pengembangan manusia seutuhnya, dibutuhkan lembaga pendidikan yang ideal, yakni lembaga pendidikan yang memiliki karakter sebagai wahana pendidikan dan pengajaran. Suatu lembaga yang mampu melaksanakan pendidikan dan pengajaran secara seimbang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
·           Memberdayakan sumberdaya manusianya seoptimal mungkin,
·           Memfasilitasi warganya untuk belajar terus dan belajra kembali,
·           Mendorong kemandirian setiap warganya,
·           Memberikan tanggung jawab kepada warganya,
·           Mendorong setiap warganya untuk mempertanggungjawabkan setiap hasil kerjanya,
·           Mendorong adanya teamwork yang kompak dan cerdas bagi setiap warganya,
·           Mengajak warganya untuk siap menghadapi perubahan.
5.         Proses belajar menempatkan seseorang dari status kemampuan atau kecakapan yang satu kepada kemampuan atau kecakapan yang lain.
Proses belajar adalah suatu perubahan yang relatif tetap dalam persediaan tingkah laku, yang terjadi sebagai hasil pengalaman. Ini berarti, hanya dapat dikatakan terjadi proses belajar apabila seseorang menunjukkan tingkah laku yang tidak sama. Jika ia dapat membuktikan pengethauan tentang fakta-fakta baru atau ia bisa melakukan sesuatu, yang sebelumnya ia tidak dapat meakukannya.
6.         Perlunya memahami karakteristik komunikan (siswa) dan berusaha menyesuaikan cara mengajar dengan karakteristik siswa tersebut.
Pengajar yang baik seyogyanya memahami karakteristik siswanya, agar ia sukses dalam melaksanakan peran mengajarnya. Dalam proses belajar mengajar kemungkinan akan ditemui siswa yang sulit untuk melakukan kontak dengan dunia sekitarnya, suka mengasingkan diri, dan cenderung menutup diri. Dalam kaitan dengan hal ini, maka guru hendaknya merencanakan proses belajar mengajar yang sesuai dengan keadaan dan kepribadian siswa.
7.         Pembelajaran adalah suatu proses mengelola input menjadi output.
Pembelajaran sebagai proses, pada hakikatnya mengandung tiga unsur, yaitu adanya input (bahan mentah yang akan diolah), proses (kegiatan mengolah input), dan output (hasil yang telah diolah). Dalam hal ini, input proses belajar mengajar adalah siswa atau mahasiswa sebelum proses pembelajaran. Proses belajar mengajar adalah interaksi antara komponen-komponen belajar mengajar yaitu tujuan, bahan, metode, dosen/guru, mahasiswa/siswa, fasilitas dan penilaian. Output dari proses belajar mengajar yaitu peserta didik setelah menerima pembelajaran.
8.         Pembelajaran sebagai proses komunikasi antara guru dan siswa secara terbuka.
Komunikasi secara terbuka diindikasikan oelh adanya peluang yang sama dari komunikator dan komunikan untuk menyampaikan gagasan. Keefektifan komunikasi yang didesain secara terbuka tersebut tergantung dari kedua belah pihak, namun, karena guru yang memegang kendali maka tanggungjawab terjadinya komunikasi yang sehat, terbuka dan efektif terletak ditangan guru. Salah satu indikator komunikasi yang terbuka adalah kemampuan siswa untuk mengungkapkan perasaannya. Kemampuan ini berkaitan dengan penciptaan iklim yang positif dalam kegiatan belajar, yang memungkinkan siswa mau mengungkapkan perasaan atau masalah yang dihadapinya tanpa merasa takut kepada guru.
9.         Memberdayakan siswa dengan mengubah teacher directed strategies menjadi student directed strategies.
Secara umum, strategi pembelajaran dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu:
Strategi yang diarahkan pengajar (teacher directed strategies). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah ceramah, tanya-jawab dan latihan.
Strategi yang terpusat pada mahasiswa/siswa (student directed strategies). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah belajar kelompok, dan penyikapan yang terbimbing.


[1] http://hadirukiyah.blogspot.com/2010/07/hubungan-kebudayaan-dengan-pendidikan.html
[2] http://web-budiman.blogspot.com/2013/01/hubungan-pendidikan-dan-kebudayaan-2.html
[3] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. 1993. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hal. 206.
[4] Alo Liliweri. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS. Hal. 258.
[5] Suranto. 2010. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 241.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar