BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam rapat atau presentasi, bahasa yang dugunakan
oleh setiap budaya tidak selalu mempunyai arti yang sama. Contoh bagus adalah penggunaan kata “ya” oleh orang
Amerika dan Jepang. Dalam kebudayaan Amerika, kata “ya” adalah tanda menyetujui
atau menerima pernyataan sebelumnya. Sementara itu, kata “ya” yang diucapkan
oleh orang Jepang tidak berarti mereka setuju dengan Anda, tetapi sekedar
menunjukkan bahwa mereka mengerti apa yang Anda maksud.
Masih banyak lagi bentuk benturan budaya dalam
bahasa. Penggunaan bahasa juga mencerminkan
gambaran diri setiap budaya. Orang Amerika menggunakan kata dan kalimat
langsung untuk mencapai kesimpulan dengan cepat. Situasi ini tidak akan cocok
bagi para eksekutif Jepang dan Arab karena nilai yang mereka anut adalah
keselarasan kelompok dan hubungan jangka panjang.
Penggunaan bahasa oleh orang Arab mencerminkan rasa
kesediaan dan minat untuk mempertahankan hubungan jangka panjang. Mempercepat
proses pertemuan dengan meminta kesanggupan atau menetapkan batas waktu
tertentu merupakan penghinaan, dan mungkin bisa menjadi akhir dari semua
rencana bisnis di masa depan. Meskipun bahasa Inggris sudah menjadi bahasa
internasional untuk bisnis, rintangan bahasa tetap ada. Untuk memecahkan
masalah ini penerjemah kadang-kadang digunakan. Meski demikian, penerjemah tidak
selalu merupakan sarana yang menjamin bahwa pesan Anda tersampaikan dengan
benar dan utuh. Jika orang tidak mengerti bahan yang Anda presentasikan maka
Anda membingungkan mereka yang hadir dalam presentasi Anda. Masalah ini sering
kali muncul bila presentasi Anda mengandung bahasa teknis atau logat yang tidak
dimengerti penerjemah. Maka, ada baiknya Anda memberi penerjemah salinan
dari bahan yang akan Anda presentasikan.
Sementara bahasa merupakan
alat penting dalam rapat dan presentasi, komunikasi nonverbal tidak kalah
pentingnya, terutama dalam situasi-situasi di mana persuasi diperlukan. Contoh
yang tepat adalah ciri orang Amerika untuk menatap langsung mata lawan
bicaranya, yang memeberi orang Amerika rasa ketulusan dan kesamaan derajat.
Tetapi—orang Jepang—terutama mereka yang tidak berkedudukan tinggi—hampir tidak
pernah saling menatap mata. Jadi, sikap orang Amerika yang langsung, akan
dirasakan terlalu berani dan menyeleweng dari usaha menjaga keselarasan
kelompok yang merupakan nilai yang dianut orang Jepang. (Elashmawi dan Harris,
1996, hlm. 44-45).
Petikan cerita tersebut
menggambarkan terjadinya komunikasi antarpribadi dari beberapa orang yang
berbeda etnik dan ras, urusan mereka berkaitan dengan organisasi, komunikasi
berlangsung dengan tatap muka (tanpa media) dalam sebuah situasi atau konteks
tertentu, itulah komunikasi antarbudaya.[1]
Dalam pembahasan komunikasi
antarbudaya, yang akan diuraikan pada makalah ini, akan berakhir pada pemahaman
mengenai efek sosial apa yang dihasilkan dari komunikasi antarbudaya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
komunikasi antarbudaya?
2.
Apa fungsi sosial
komunikasi antarbudaya?
3.
Bagaimanakah
komunikasi antarbudaya dan sosialisasi itu?
4.
Apa dampak
komunikasi antarbudaya dalam masyarakat?
5.
Bagaimanakah
masyarakat dan budaya jika dikaji dalam teori interaksionisme simbolik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Komunikasi Antarbudaya
a.
Definisi Komunikasi
Meskipun orang selalu berkomunikasi, namun sering
kali tidak memahami betul apa yang sedang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat
komunikasi yang baik dan benar. Karenanya, di sini akan dijelaskan beberapa
definisi komunikasi yang dapat membantu dalam memahami komunikasi.
Pertama, menurut
Richard L. Weafer II, komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi,
gagasan, dan perasaan.
Kedua, Billie J.W.
mengungkapkan komunikasi adalah (1) pernyataan diri yang efektif; (2)
pertukaran pesan-pesan yang tertulis pesan-pesan dalam percakapan, bahkan
melalui imajinasi; (3) pertukaran informasi atau hiburan dengan kata-kata melalui
percakapan atau dengan metode lain; (4) pengalihan informasi dari seseorang
kepada orang lain; (5) pertukaran makna antarpribadi dengan sistem simbol; (6)
proses pengalihan pesan melalui saluran tertentu kepada orang lain dengan efek
tertentu. (Walhstrom, 1992, hlm. 9).
Keempat, Komunikasi
adalah transmisi informasi dari seorang individu atau kelompok kepada individu
atau kelompok lain.
Keenam, komunikasi
harus dipahami sebagai interaksi antarpribadi yang menggunakan sistem simbol
linguistik, meliputi verbal, dan nonverbal. (Karlfried Knapp, 1998)
Dari beberapa definisi di atas, teramati beberapa
pengertian yang sama, yakni komunikasi dapat (1) membuat orang lain mengambil
bagian untuk memberi dan mengalihkan informasi sebagai berita atau gagasan; (2)
berarti kegiatan untuk menyebarkan informasi; (3) mengatur kebersamaan; (4)
membuat dan menangani komunikasi; (5) menghubungkan; (6) mengambil bagian dalam
kebersamaan. Selain itu,
komunikasi juga merupakan suatu proses aktivitas simbolik, dan pertukaran makna
antarmanusia.[2]
b.
Definisi Kebudayaan
Seringkali awam memberikan arti kebudayaan dengan
sangat sederhana. Ada yang mengatakan budaya itu seni, padahal patut diingat
bahwa kebudayaan bukan sekedar sebuah seni, kebudayaan melebihi seni itu
sendiri karena kebudayaan meliputi sebuah jaringan kerja dalam kehidupan
antarmanusia. Kebudayaan itu mempengaruhi nilai-nilai yang dimiliki manusia,
bahkan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.
Berikut adalah definisi kebudayaan: Pertama,
Iris Varner dan Linda Beamer, dalam Intercultural Communication in the
Global Workplace, mengartikan kebudayaan sebagai pandangan yang koheren
tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan oleh
sekelompok orang.
Kedua,
kebudayaan—dalam arti yang luas—adalah perilaku yang telah tertanam, dia merupakan totalitas
dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan
secara sosial (disosialisasikan)—tidak sekedar sebuah catatan ringkas—tetapi
dalam bentuk perilaku melalui pembelajaran sosial (social learning).
Ketiga, kebudayaan
merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku,
kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol—yang mereka terima tanpa sadar/tanpa
dipikirkan—yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari
generasi kepada generasi berikutnya.
Keempat, kebudayaan
adalah komunikasi simbolis, yang mana simbolisme itu merupakan keterampilan
kelompok, pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-simbol itu
dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi.
Kelima, kebudayaan
terdiri dari pola-pola yang eksplisit maupun implisit dari dan untuk sebuah
perilaku tertentu yang dialihkan melalui simbol-simbol yang merupakan prestasi
kelompok manusia—termasuk
peninggalan berbentuk artifak yang merupakan inti atau esensi dari
gagasan-gagasan tradisional—dan dikemas dalam nilai-nilai yang mereka terima.
Keenam, kebudayaan adalah jumlah keseluruhan perilaku yang
dipelajari oleh sekelompok orang yang secara umum menerangkan sebuah tradisi kehidupan
yang diwariskan oleh sebuah generasi ke generasi lain.
Ketujuh, kebudayaan merupakan segala sesuatu yang dimiliki
bersama oleh seluruh atau sebagian anggota kelompok sosial. Serta segala
sesutau yang coba dialihkan oleh anggota tertua dari sebuah kelompok kepada
anggota yang muda. (Adler, 1997, hlm. 15).
Kedelapan, kebudayaan itu meliputi semua aspek kehidupan kita
setiap hari, terutama pandangan hidup—apapun bentuknya—baik itu mitos maupun
sistem nilai dalam masyarakat. (Levo
Henriksson, 1994, hlm. 155).
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa
budaya merupakan suatu unit interpretasi, ingatan, dan makna yang ada di dalam
manusia, dan bukan sekedar dalam kata-kata. Ia meliputi kepercayaan,
nilai-nilai, dan norma, semua ini merupakan langkah awal di mana kita merasa
berada dalam sebuah wacana.
Pengertian kebudayaan tersebut mengandung beberapa
karakteristik atau ciri-ciri yang sama, yakni kebudayaan itu ada di antara umat
manusia yang sangat beraneka ragam, diperoleh dan diteruskan secara sosial
melalui pembelajaran, dijabarkan dari komponen biologi, psikologi, dan
sosiologi sebagai eksistensi manusia, berstruktur, terbagi dalam beberapa
aspek, dinamis dan nilainya relatif.[3]
c.
Pengertian
Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang
tidak dapat dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada
variasi langkah dan cara menusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau
kelompok sosial. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan juga meliputi bagaimana
menjajaki makna, pola-pola tindakan, dan bagaimana makna serta pola-pola itu
diartikulasi dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik,
proses pendidikan, bahkan lingkungan tekhnologi yang melibatkan interaksi
antarmanusia.
Lalu apakah komunikasi antarbudaya itu? Pertama,
Andrea L.R. dan Dennis M.O. menyatakan dalam buku Intercultural
Communication, A Render bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi
antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya. (Larry A. Samovar dan Richard E.
Potter, 1976, hlm. 25).
Kedua, Menurut
Charley H. Dood komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan
peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, atau kelompok dengan
tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku
komunikasi para peserta.
Ketiga, Komunikasi
antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif,
transaksional, dan kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang—yang karena
memiliki perbedaan derajat kepentingan—memberikan interpretasi dan harapan
secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk prilaku tertentu
sebagai makna yang
dipertukarkan (Lustig dan Koester, 1993).
Keempat, “Intercultural
Communication” yang disingkat ICC, mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai
interaksi antarpribadi, antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda.
Setelah membaca beberapa pengertian komunikasi
antarbudaya di atas, dapat disimpulkan bahwa proses komunikasi antarbudaya merupakan interaksi
antarpribadi dan
komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar
belakang kebudayaan yang berbeda.[4]
B.
Fungsi Sosial Komunikasi Budaya
Selain memiliki
fungsi sosial, komunikasi budaya juga memiliki fungsi pribadi, yakni sebagai
berikut:[5]
a.
Fungsi pribadi, ialah
fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui komunikasi yang bersumber
dari seorang individu, antara lain untuk:
1.
Menyatakan identitas
sosial: Dalam komunikasi, budaya
dapat menunjukkan beberapa perilaku komunikan yang digunakan untuk menyatakan
identitas diri maupun identitas sosial.
2.
Menyatakan integrasi[6]
sosial: Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan
antarpribadi dan antarkelompok namun tetap menghargai perbedaan perbedaan yang dimiliki
oleh setiap unsur. Perlu
dipahami bahwa salah satu tujuan komunikasi adalah memberikan makna yang sama
atas pesan yang dibagi antara komunikator dan komunikan.
3.
Menambah pengetahuan:
Sering kali komunikasi antarbribadi maupun antarbudaya dapat menambah
pengetahuan bersama, dan
adanya saling mempelajari kebudayaan
masing-masing antara
komunikator dan komunikan.
4.
Melepaskan diri/jalan
keluar: Hal yang sering kita lakukan dalam berkomunikasi dengan orang lain
adalah untuk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang
kita hadapi.
b.
Fungsi sosial, ialah
fungsi-fungsi komunikasi yang bersumber dari faktor budaya yang ditunjukkan
melalui prilaku komunikasi yang bersumber dari interaksi sosial, diantaranya berfungsi sebagai berikut:
1.
Pengawasan: Praktek
komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan komunikan yang berbeda
kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi
antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan “perkembangan“ tentang
lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan oleh media massa yang
menyebarluaskan secara rutin perkembangan peristiwa yang terjadi di sekitar
kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah konteks kebudayaan yang
berbeda. Akibatnya adalah kita turut mengawasi perkembangan sebuah peristiwa
dan berusaha mawas diri seandainya peristiwa itu terjadi pula dalam lingkungan
kita.
2.
Menjembatani: Dalam
proses komunikasi antarpribadi, termasuk komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi
yang dilakukan antar dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas
perbedaan diantara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui
pesan-pesan yang mereka pertukarkan. Keduanya
saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan
makna yang sama.
3.
Sosialisasi nilai:
Fungsi sosialisasi merupkan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu
masyarakat ke masyarakat lain. Dalam komunikasi antarbudaya seringkali tampil
perilaku non verbal yang kurang dipahami namun yang lebih penting daripadanya
adalah bagaimana kita menangkap nilai yang terkandung dalam gerakan tubuh, gerakan imaginer dari
tarian-tarian tersebut.
4.
Menghibur: Fungsi
menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya. American fun
yang sering ditampilkan TVRI memberikan gambaran tentang bagaimana orang-orang
sibuk memanfaatkan waktu luang untuk mengunjungi teater dan menikmati suatu
pertunjukan humor. Menonton Qosidah yang ditampilkan oleh anak-anak sebuah pesantren
mungkin kurang disukai oleh mereka yang suka musik klasik, namun kalau Anda menonton dengan
mental menikmati maka tampilan Qosidah
tidak mengganggu Anda.
C.
Komunikasi Antarbudaya dan Sosialisasi
a.
Komunikasi Antarbudaya
Tidak banyak orang menyadari
bahwa dalam bersosialisasi antarbudaya sesungguhnya secara tidak langsung
maupun langsung mengharuskan semua orang untuk mengenal komunikasi antarbudaya
itu. Dalam kenyataan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial
kalau dia tidak berkomunikasi. Dapat dikatakan pula bahwa sosialisasi
antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya.
Komunikasi itu muncul, karena adanya kontak,
interaksi dan hubungan antar warga masyarakat yang berbeda kebudayaannya.
Sehingga "kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan,
begitulah kata Edward T. Hall.
Esensi komunikasi terletak pada proses, yakni
sesuatu aktivitas yang "melayani" hubungan antara pengirim dan
penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Itulah sebabnya mengapa semua orang
pertama-tama tertarik mempelajari komunikasi manusia (human communication), sebuah
proses komunikasi yang melibatkan manusia kemarin, kini, dan mungkin di masa
yang akan datang.
Sedangkan Komunikasi
budaya (komunikasi antarbudaya) adalah komunikasi yang
terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda, bisa beda ras,
etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan tersebut. Menurut
Stewart L. Tubbs, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang
yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan
sosioekonomi). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh
sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.[7]
Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi
antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang
membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya
sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1.
Dengan negosiasi untuk melibatkan
manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema
melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai
makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu
dinegosiasikan atau diperjuangkan.
2.
Melalui pertukaran sistem simbol
yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi,
sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang
sama.
3.
Sebagai pembimbing perilaku budaya
yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap
perilaku kita.
4.
Menunjukkan fungsi sebuah kelompok
sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya
dengan berbagai cara.[8]
Jadi yang dimaksud
dengan komunikasi antarbudaya ialah komunikasi antarpribadi yang dilakukan
mereka yang berbeda latar belakang
kebudayaan. Jadi, suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif,
transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang (karena memiliki
keragaman) memberikan interpretasi dan harapan secara berbada terhadap apa yang
disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan.
Tujuan komunikasi
antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain.
Tingkat ketidakpastian itu akan berkurang jika kita mampu melihat secara tepat
proses komunikasi. Karena itu, dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia
tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi.
Demikian pula, dapat
dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari
komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan
komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila
bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta
komunikasi untuk memperbarui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan
dan memperbaharui sebuah manejemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat
kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi,
mengurangi konflik yang seluruhnya merupakan bentuk dari komunikasi
antarbudaya. Disinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi antarbudaya.
Selain karena disebabkan perubahan yang ada, juga karena kurangnya komunikasi.
Akhirnya, komunikasi antarbudaya diperlukan guna mengurangi kesalahpahaman di
antara sesama manusia.
b.
Sosialisasi
Sosialisasi adalah suatu konsep umum yang bisa
dimaknakan sebagai sebuah proses di mana kita belajar melalui interaksi dengan
orang lain, tentang cara berpikir, merasakan dan bertindak, di mana kesemuanya
itu merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial
yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup
kita.
Sosialisasi diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup bagaimana seorang
individu mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup,
nilai-nilai, dan norma-norma sosial yang
terdapat dalam masyarakat agar dapat diterima oleh masyarakatnya. Berikut
pengertian sosialisasi menurut para ahli:
·
Charlotte Buhler Sosialisasi adalah
proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana
cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi
dengan kelompoknya.
·
Peter Berger Sosialisasi adalah
suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam
masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
·
Paul B. Horton Sosialisasi adalah
suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam
masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
·
Soerjono Soekanto Sosialisasi adalah
proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat yang baru.[9]
Dari berbagai pendapat diatas dapat ditarik beberapa pengertian pokok tenteng sosialisasi sebagai berikut:
·
Sosialisasi adalah proses yang
berlangsung sepanjang hidup
manusia.
·
Dalam sosialisasi terjadi saling pengaruh
antar individu
beserta segala potensi kemanusian—kemanusiannya masyarakat beserta kebudayaannya.
·
Melalui proses sosialisasi, individu
menyerap pengetahuan, kepercayaan nilai-nilai norma, sikap dan keterampilan-keterampilan dari budaya
masyarakatnya.
·
Hasil Sosialisasi adalah
berkembangnya kepribadian seseorang
menjadi satu pribadi yang unik, sedangkan kebudayaan masyarakat juga terpelihara dan berkembang melalui proses sosialisasi.
Dalam sosialisasi juga terdapat proses sosialisasi yang memungkinkan seseorang belajar tentang sikap-sikap, nilai-nilai, dan tindakan-tindakan yang dianggap tepat oleh suatu
masyarakat atau oleh satu kebudayaan tertentu. Proses sosialisasi memungkinkan
orang berpikir sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga
terhindar dari prilaku asosial, yakni prilaku
yang bertentangan dengan nilai dan norma
masyarakat.
Oleh karena itu dalam hidup bermasyarakat seseorang
harus siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan
atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi akan melibatkan orang-orang dari
latar belakang sosial budaya. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman
latar belakang sosial budaya, kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan
yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa,
lambang-lambang, nilai, atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya.
Padahal syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling
pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya.[10]
Terdapat pula jenis-jenis dalam sosialisasi yang terbagi menjadi dua
bagian, diantaranya:
1.
Sosialisasi Primer
Artinya sosialisasi pertama yang dijalani seseorang semasa kanak-kanak, dan berfungsi mengantar mereka memasuki
kehidupan sebagai anggota masyarakat.
2.
Sosialisasi Sekunder
Artinya sosialisasi lanjutan dimana seseorang menjalani sosialisasi di sektor-sektor
kehidupan yang nyata
dalam masyarakat.
D.
Dampak Komunikasi Antarbudaya dalam Kehidupan Masyarakat
a.
Dampak positif komunikasi antarbudaya dalam masyarakat:
·
Tertransaksinya
simbol, gagasan, atau pesan dari satu pihak ke pihak lain meski memiliki latar
belakang yang berbeda.
·
Komunikasi sosial
budaya menghasilkan proses simbolik, misal: Putri Diana adalah lambang
kecantikan.
·
Jika interaksi
dalam komunikasi antarbudaya dapat terjalin dengan baik, maka akan tercipta
masyarakat yang harmonis.
b.
Dampak negatif komunikasi antarbudaya dalam masyarakat:
·
Mengakibatkan terjadinya pencarian kesamaan dalam usaha untuk mencari orang
yang memiliki kesamaan budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu
kelompok.
·
Penarikan diri: penarikan diri dari interaksi tatap muka, atau dari suatu
komunitas.
·
Kecemasan: perasaan psikologis yang secara tiba-tiba menghasilkan sebuah
situasi baru yang kurang aman/nyaman.
·
Bertambahnya ketidakpastian: tidak ada usaha untuk mengurangi
ketidakpastian atau dengan berusaha memprediksi perilaku apa yang akan
dilakukan lawan bicara saat berinteraksi.
·
Stereotip: Penggeneralisasian orang-orang (kelompok etnis lain) berdasarkan
sedikit info dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan
mereka dalam satu kelompok.
·
Prasangka: keyakinan yang didasarkan pada gagasan yang terlebih dahulu
disederhanakan, digeneralisasi atau dilebih-lebihkan pada sekelompok orang.
·
Etnosentrisme: menganggap kelompok budaya/etnisnya yang lebih baik
(superior) hingga bisa menimbulkan rasisme yaitu pengkategorisasian individu
berdasarkan warna kulit, rambut, dan lainnya.
·
Culture Shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan kehilangan
tanda keluarga dan simbol dari pergaulan sosial, gegar budaya terjadi ketika
kita memasuki lingkungan baru yang berbeda budaya.
E.
Masyarakat dan Budaya dalam Kajian Teori Interaksionisme
Simbolik
George Herbert
Mead, yang dikenal sebagai pencetus awal Teori Interaksionisme simbolik, sangat
mengagumi kemampuan manusia untuk menggunakan simbol; dia menyatakan bahwa
orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul di dalam sebuah situasi
tertentu. Interaksionisme simbolik membentuk sebuah jembatan antara teori yang
berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial.
Sebagaimana diamati oleh Kenneth J. Smith dan Linda Liska Belgrave (1984),
Interaksionisme simbolik beragumen bahwa masyarakat dibuat menjadi “nyata” oleh
interaksi individu-individu,yang “hidup dan bekerja untuk membuat dunia sosial
mereka bermakna” (Hlm. 253). Selanjutnya, pada argumentasi ini dapat dilihat
meyakinan Mead bahwa individu merupakan partisipan yang aktif dan reflektif
terhadap konteks sosialnya.[11]
Interaksionisme
simbolik selalu didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan
masyarakat. Asumsi-asumsi dalam teori ini ialah sebagai berikut:
·
Manusia bertindak
terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain terhadap
mereka.[12]
Asumsi ini menjelaskan perilaku
sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar
antara rangsangan dan respon orang berkaitan dengan rangsangan tersebut.
Contohnya, ketika seseorang berada pada lingkungan baru dengan budaya yang
berbeda, dia akan memberikan makna dengan menerapkan interpretasi yang diterima
secara umum pada hal-hal yang dilihatnya.
Makna yang diberikan pada
simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan
untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula. Contohnya, Budaya
masaa yang menghubungkan cincin perkawinan dengan cinta dan komitmen.
·
Makna diciptakan
dari interaksi antarmanusia.[13]
Makna dapat ada, hanya ketika
orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka
pertukarkan dalam interaksi. Interaksionisme simbolik melihat makna sebagai
sesuatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah “produk sosial” atau
“ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian aktivitas manusia ketika
mereka berinteraksi”. Ketika dua individu yang berbeda budaya sedang
berinteraksi, sangat penting bagi kedua individu tersebut untuk berbagi bahasa
yang samadan sepakat pada denotasi dan konotasi dari simbol-simbol yang mereka
pertukarkan, guna mendapatkan makna yang sama dari pembicaraan tersebut.
·
Makna dimodifikasi
melalui proses interpretatif.[14]
Terdapat dua langkah dalam
proses interpretatif[15].
Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna. Kedua,
melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna
di dalam konteks di mana mereka berada. Setiap orang berhak untuk memberikan
makna akan sesuatu akan tetapi, ketika berada pada lingkungan baru yang berbeda
budayanya, maka seseorang dituntut untuk memberikan makna sosial yang sama dan
relevan sekaligus dapat diterima secara budaya.
·
Individu
mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.[16]
Dalam membangun perasaan akan
diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain.
Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri; mereka belajar tentang diri mereka
melalui interaksi. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka konsep
mengenai dirinya akan terbentuk.
·
Konsep diri
memberikan motif penting untuk perilaku.[17]
Pemikiran bahwa keyakinan,
nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri memengaruhi perilaku adalah
sebuah prinsip penting pada interaksionisme simbolik. Manusia memiliki diri,
mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme
ini juga digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Ketika seseorang mendapat
pujian mengenai kemampuannya, maka orang tersebut akan melakukan pemenuhan diri
terkait kemampuannya.
·
Orang dan kelompok
dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya.[18]
Asumsi yang mengakui bahwa
norma-norma sosial membatasi perilaku individu. Selain itu, budaya secara kuat
mempengaruhi perilaku dan sikap yang dianggap penting dalam konsep diri. Di
Amerika misalnya, terdapat suatu budaya yang individualis yang menghargai
ketegasan dan individualitas, sehingga orang sering kali bangga jika melihat
dirinya sebagai orang yang tegas.
·
Struktur sosial
dihasilkan melalui interaksi sosial.[19]
Interaksionisme simbolik
percaya bahwa manusia adalah pembuat pilihan. Sehingga asumsi ini menengahi
posisi yang diambil oleh asumsi sebelumnya. Interaksionisme simbolik
mempertanyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui
bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial. Padahal sebenarnya manusia
sebagai pembuat pilihan tidaklah dibatasi oleh budaya atau situasi.
DAFTAR PUSTAKA
Liliweri, Alo.
2002. Makna Budaya dalam Komunikasi
Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Tubbs, Stewart
L. dan Sylvia Moss. 1996. Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi. Bandung.
Remaja Rosdakarya.
Abdullah, Wulat Wigati. 2006. Sosiologi. Jakarta: Grasindo.
Aw, Suranto. 2010. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
West, Richard,
dan Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Teori
Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.
[1] Alo Liliweri. 2002. Makna Budaya
dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Hlm. 1-2.
[2] Alo Liliweri. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Hlm. 3-5.
[5] Alo Liliweri. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 11-12, 36-42.
[7] Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. 1996. Human
Communication: Konteks-konteks
Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya. Hal. 236-238.
[8] Alo Liliweri. 2003. Dasar-Dasar
Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 11-12,36-42.
[10] Suranto Aw. 2010. Komunikasi
Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 31
[11] Richard West dan Lynn H.
Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi:
Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Hlm. 96-97.
[12] Richard West dan Lynn H.
Turner. Pengantar Teori Komunikasi:
Analisis dan Aplikasi. Ibid. Hlm. 99.
[20] Alo Liliweri. 2002. Makna
Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar