Kamis, 17 Mei 2012

Efek Sosial Komunikasi Budaya

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Dalam rapat atau presentasi, bahasa yang dugunakan oleh setiap budaya tidak selalu mempunyai arti yang sama. Contoh bagus adalah penggunaan kata “ya” oleh orang Amerika dan Jepang. Dalam kebudayaan Amerika, kata “ya” adalah tanda menyetujui atau menerima pernyataan sebelumnya. Sementara itu, kata “ya” yang diucapkan oleh orang Jepang tidak berarti mereka setuju dengan Anda, tetapi sekedar menunjukkan bahwa mereka mengerti apa yang Anda maksud.
Masih banyak lagi bentuk benturan budaya dalam bahasa. Penggunaan bahasa juga mencerminkan gambaran diri setiap budaya. Orang Amerika menggunakan kata dan kalimat langsung untuk mencapai kesimpulan dengan cepat. Situasi ini tidak akan cocok bagi para eksekutif Jepang dan Arab karena nilai yang mereka anut adalah keselarasan kelompok dan hubungan jangka panjang.
Penggunaan bahasa oleh orang Arab mencerminkan rasa kesediaan dan minat untuk mempertahankan hubungan jangka panjang. Mempercepat proses pertemuan dengan meminta kesanggupan atau menetapkan batas waktu tertentu merupakan penghinaan, dan mungkin bisa menjadi akhir dari semua rencana bisnis di masa depan. Meskipun bahasa Inggris sudah menjadi bahasa internasional untuk bisnis, rintangan bahasa tetap ada. Untuk memecahkan masalah ini penerjemah kadang-kadang digunakan. Meski demikian, penerjemah tidak selalu merupakan sarana yang menjamin bahwa pesan Anda tersampaikan dengan benar dan utuh. Jika orang tidak mengerti bahan yang Anda presentasikan maka Anda membingungkan mereka yang hadir dalam presentasi Anda. Masalah ini sering kali muncul bila presentasi Anda mengandung bahasa teknis atau logat yang tidak dimengerti penerjemah. Maka, ada baiknya Anda memberi penerjemah salinan dari bahan yang akan Anda presentasikan.
Sementara bahasa merupakan alat penting dalam rapat dan presentasi, komunikasi nonverbal tidak kalah pentingnya, terutama dalam situasi-situasi di mana persuasi diperlukan. Contoh yang tepat adalah ciri orang Amerika untuk menatap langsung mata lawan bicaranya, yang memeberi orang Amerika rasa ketulusan dan kesamaan derajat. Tetapi—orang Jepang—terutama mereka yang tidak berkedudukan tinggi—hampir tidak pernah saling menatap mata. Jadi, sikap orang Amerika yang langsung, akan dirasakan terlalu berani dan menyeleweng dari usaha menjaga keselarasan kelompok yang merupakan nilai yang dianut orang Jepang. (Elashmawi dan Harris, 1996, hlm. 44-45).
Petikan cerita tersebut menggambarkan terjadinya komunikasi antarpribadi dari beberapa orang yang berbeda etnik dan ras, urusan mereka berkaitan dengan organisasi, komunikasi berlangsung dengan tatap muka (tanpa media) dalam sebuah situasi atau konteks tertentu, itulah komunikasi antarbudaya.[1]
Dalam pembahasan komunikasi antarbudaya, yang akan diuraikan pada makalah ini, akan berakhir pada pemahaman mengenai efek sosial apa yang dihasilkan dari komunikasi antarbudaya.
B.            Rumusan Masalah
1.             Apa pengertian komunikasi antarbudaya?
2.             Apa fungsi sosial komunikasi antarbudaya?
3.             Bagaimanakah komunikasi antarbudaya dan sosialisasi itu?
4.             Apa dampak komunikasi antarbudaya dalam masyarakat?
5.             Bagaimanakah masyarakat dan budaya jika dikaji dalam teori interaksionisme simbolik? 


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Komunikasi Antarbudaya
a.              Definisi Komunikasi
Meskipun orang selalu berkomunikasi, namun sering kali tidak memahami betul apa yang sedang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat komunikasi yang baik dan benar. Karenanya, di sini akan dijelaskan beberapa definisi komunikasi yang dapat membantu dalam memahami komunikasi.
Pertama, menurut Richard L. Weafer II, komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan.
Kedua, Billie J.W. mengungkapkan komunikasi adalah (1) pernyataan diri yang efektif; (2) pertukaran pesan-pesan yang tertulis pesan-pesan dalam percakapan, bahkan melalui imajinasi; (3) pertukaran informasi atau hiburan dengan kata-kata melalui percakapan atau dengan metode lain; (4) pengalihan informasi dari seseorang kepada orang lain; (5) pertukaran makna antarpribadi dengan sistem simbol; (6) proses pengalihan pesan melalui saluran tertentu kepada orang lain dengan efek tertentu. (Walhstrom, 1992, hlm. 9).
Keempat, Komunikasi adalah transmisi informasi dari seorang individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lain.
Keenam, komunikasi harus dipahami sebagai interaksi antarpribadi yang menggunakan sistem simbol linguistik, meliputi verbal, dan nonverbal. (Karlfried Knapp, 1998)
Dari beberapa definisi di atas, teramati beberapa pengertian yang sama, yakni komunikasi dapat (1) membuat orang lain mengambil bagian untuk memberi dan mengalihkan informasi sebagai berita atau gagasan; (2) berarti kegiatan untuk menyebarkan informasi; (3) mengatur kebersamaan; (4) membuat dan menangani komunikasi; (5) menghubungkan; (6) mengambil bagian dalam kebersamaan. Selain itu, komunikasi juga merupakan suatu proses aktivitas simbolik, dan pertukaran makna antarmanusia.[2]
b.             Definisi Kebudayaan
Seringkali awam memberikan arti kebudayaan dengan sangat sederhana. Ada yang mengatakan budaya itu seni, padahal patut diingat bahwa kebudayaan bukan sekedar sebuah seni, kebudayaan melebihi seni itu sendiri karena kebudayaan meliputi sebuah jaringan kerja dalam kehidupan antarmanusia. Kebudayaan itu mempengaruhi nilai-nilai yang dimiliki manusia, bahkan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia.
Berikut adalah definisi kebudayaan: Pertama, Iris Varner dan Linda Beamer, dalam Intercultural Communication in the Global Workplace, mengartikan kebudayaan sebagai pandangan yang koheren tentang sesuatu yang dipelajari, yang dibagi, atau yang dipertukarkan oleh sekelompok orang.
Kedua, kebudayaan—dalam arti yang luas—adalah perilaku yang telah tertanam, dia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan secara sosial (disosialisasikan)—tidak sekedar sebuah catatan ringkas—tetapi dalam bentuk perilaku melalui pembelajaran sosial (social learning).
Ketiga, kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol—yang mereka terima tanpa sadar/tanpa dipikirkan—yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari generasi kepada generasi berikutnya.
Keempat, kebudayaan adalah komunikasi simbolis, yang mana simbolisme itu merupakan keterampilan kelompok, pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-simbol itu dipelajari dan disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi.
Kelima, kebudayaan terdiri dari pola-pola yang eksplisit maupun implisit dari dan untuk sebuah perilaku tertentu yang dialihkan melalui simbol-simbol yang merupakan prestasi kelompok manusia—termasuk peninggalan berbentuk artifak yang merupakan inti atau esensi dari gagasan-gagasan tradisional—dan dikemas dalam nilai-nilai yang mereka terima.
Keenam, kebudayaan adalah jumlah keseluruhan perilaku yang dipelajari oleh sekelompok orang yang secara umum menerangkan sebuah tradisi kehidupan yang diwariskan oleh sebuah generasi ke generasi lain.
Ketujuh, kebudayaan merupakan segala sesuatu yang dimiliki bersama oleh seluruh atau sebagian anggota kelompok sosial. Serta segala sesutau yang coba dialihkan oleh anggota tertua dari sebuah kelompok kepada anggota yang muda. (Adler, 1997, hlm. 15).
Kedelapan, kebudayaan itu meliputi semua aspek kehidupan kita setiap hari, terutama pandangan hidup—apapun bentuknya—baik itu mitos maupun sistem  nilai dalam masyarakat. (Levo Henriksson, 1994, hlm. 155).
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa budaya merupakan suatu unit interpretasi, ingatan, dan makna yang ada di dalam manusia, dan bukan sekedar dalam kata-kata. Ia meliputi kepercayaan, nilai-nilai, dan norma, semua ini merupakan langkah awal di mana kita merasa berada dalam sebuah wacana.
Pengertian kebudayaan tersebut mengandung beberapa karakteristik atau ciri-ciri yang sama, yakni kebudayaan itu ada di antara umat manusia yang sangat beraneka ragam, diperoleh dan diteruskan secara sosial melalui pembelajaran, dijabarkan dari komponen biologi, psikologi, dan sosiologi sebagai eksistensi manusia, berstruktur, terbagi dalam beberapa aspek, dinamis dan nilainya relatif.[3]
c.              Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi langkah dan cara menusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan juga meliputi bagaimana menjajaki makna, pola-pola tindakan, dan bagaimana makna serta pola-pola itu diartikulasi dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan tekhnologi yang melibatkan interaksi antarmanusia.
Lalu apakah komunikasi antarbudaya itu? Pertama, Andrea L.R. dan Dennis M.O. menyatakan dalam buku Intercultural Communication, A Render bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya. (Larry A. Samovar dan Richard E. Potter, 1976, hlm. 25).
Kedua, Menurut Charley H. Dood komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, atau kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
Ketiga, Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, dan kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang—yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan—memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk prilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan (Lustig dan Koester, 1993).
Keempat, “Intercultural Communication” yang disingkat ICC, mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi antarpribadi, antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda.
Setelah membaca beberapa pengertian komunikasi antarbudaya di atas, dapat disimpulkan bahwa proses komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.[4]
B.           Fungsi Sosial Komunikasi Budaya
Selain memiliki fungsi sosial, komunikasi budaya juga memiliki fungsi pribadi, yakni sebagai berikut:[5]
a.              Fungsi pribadi, ialah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui komunikasi yang bersumber dari seorang individu, antara lain untuk:
1.             Menyatakan identitas sosial: Dalam komunikasi, budaya dapat menunjukkan beberapa perilaku komunikan yang digunakan untuk menyatakan identitas diri maupun identitas sosial.
2.             Menyatakan integrasi[6] sosial: Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi dan antarkelompok namun tetap menghargai perbedaan perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Perlu dipahami bahwa salah satu tujuan komunikasi adalah memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi antara komunikator dan komunikan.
3.             Menambah pengetahuan: Sering kali komunikasi antarbribadi maupun antarbudaya dapat menambah pengetahuan bersama, dan adanya saling mempelajari kebudayaan masing-masing antara komunikator dan komunikan.
4.             Melepaskan diri/jalan keluar: Hal yang sering kita lakukan dalam berkomunikasi dengan orang lain adalah untuk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang kita hadapi.
b.             Fungsi sosial, ialah fungsi-fungsi komunikasi yang bersumber dari faktor budaya yang ditunjukkan melalui prilaku komunikasi yang bersumber dari interaksi sosial, diantaranya berfungsi sebagai berikut:
1.             Pengawasan: Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan “perkembangan“ tentang lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan oleh media massa yang menyebarluaskan secara rutin perkembangan peristiwa yang terjadi di sekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam sebuah konteks kebudayaan yang berbeda. Akibatnya adalah kita turut mengawasi perkembangan sebuah peristiwa dan berusaha mawas diri seandainya peristiwa itu terjadi pula dalam lingkungan kita.
2.             Menjembatani: Dalam proses komunikasi antarpribadi, termasuk komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antar dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan diantara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan. Keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.
3.             Sosialisasi nilai: Fungsi sosialisasi merupkan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat ke masyarakat lain. Dalam komunikasi antarbudaya seringkali tampil perilaku non verbal yang kurang dipahami namun yang lebih penting daripadanya adalah bagaimana kita menangkap nilai yang terkandung dalam gerakan tubuh, gerakan imaginer dari tarian-tarian tersebut.
4.             Menghibur: Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya. American fun yang sering ditampilkan TVRI memberikan gambaran tentang bagaimana orang-orang sibuk memanfaatkan waktu luang untuk mengunjungi teater dan menikmati suatu pertunjukan humor. Menonton Qosidah yang ditampilkan oleh anak-anak sebuah pesantren mungkin kurang disukai oleh mereka yang suka musik klasik, namun kalau Anda menonton dengan mental menikmati maka tampilan Qosidah tidak mengganggu Anda.


C.           Komunikasi Antarbudaya dan Sosialisasi
a.              Komunikasi Antarbudaya
Tidak banyak orang menyadari bahwa dalam bersosialisasi antarbudaya sesungguhnya secara tidak langsung maupun langsung mengharuskan semua orang untuk mengenal komunikasi antarbudaya itu. Dalam kenyataan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Dapat dikatakan pula bahwa sosialisasi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya.
Komunikasi itu muncul, karena adanya kontak, interaksi dan hubungan antar warga masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Sehingga "kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan, begitulah kata Edward T. Hall.
Esensi komunikasi terletak pada proses, yakni sesuatu aktivitas yang "melayani" hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Itulah sebabnya mengapa semua orang pertama-tama tertarik mempelajari komunikasi manusia (human communication), sebuah proses komunikasi yang melibatkan manusia kemarin, kini, dan mungkin di masa yang akan datang.
Sedangkan Komunikasi budaya (komunikasi antarbudaya) adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda, bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan tersebut. Menurut Stewart L. Tubbs, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosioekonomi). Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.[7]
Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1.             Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.
2.             Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.
3.             Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita.
4.             Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan berbagai cara.[8]
Jadi yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya ialah komunikasi antarpribadi yang dilakukan mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan. Jadi, suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang (karena memiliki keragaman) memberikan interpretasi dan harapan secara berbada terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan.
Tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Tingkat ketidakpastian itu akan berkurang jika kita mampu melihat secara tepat proses komunikasi. Karena itu, dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi.
Demikian pula, dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbarui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manejemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi, mengurangi konflik yang seluruhnya merupakan bentuk dari komunikasi antarbudaya. Disinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi antarbudaya. Selain karena disebabkan perubahan yang ada, juga karena kurangnya komunikasi. Akhirnya, komunikasi antarbudaya diperlukan guna mengurangi kesalahpahaman di antara sesama manusia.
b.             Sosialisasi
Sosialisasi adalah suatu konsep umum yang bisa dimaknakan sebagai sebuah proses di mana kita belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara berpikir, merasakan dan bertindak, di mana kesemuanya itu merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup kita.
Sosialisasi diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup bagaimana seorang individu mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup, nilai-nilai, dan norma-norma sosial yang terdapat dalam masyarakat agar dapat diterima oleh masyarakatnya. Berikut pengertian sosialisasi menurut para ahli:
·                Charlotte Buhler Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
·                Peter Berger Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
·                Paul B. Horton Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
·                Soerjono Soekanto Sosialisasi adalah proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat yang baru.[9]
Dari berbagai pendapat diatas dapat ditarik beberapa pengertian pokok tenteng sosialisasi sebagai berikut:
·                Sosialisasi adalah proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia.
·                Dalam sosialisasi terjadi saling pengaruh antar individu beserta segala potensi kemanusiankemanusiannya masyarakat beserta kebudayaannya.
·                Melalui proses sosialisasi, individu menyerap pengetahuan, kepercayaan nilai-nilai norma, sikap dan keterampilan-keterampilan dari budaya masyarakatnya.
·                Hasil Sosialisasi adalah berkembangnya kepribadian seseorang menjadi satu pribadi yang unik, sedangkan kebudayaan masyarakat juga terpelihara dan berkembang melalui proses sosialisasi.
Dalam sosialisasi juga terdapat proses sosialisasi yang memungkinkan seseorang belajar tentang sikap-sikap, nilai-nilai, dan tindakan-tindakan yang dianggap tepat oleh suatu masyarakat atau oleh satu kebudayaan tertentu. Proses sosialisasi memungkinkan orang berpikir sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga terhindar dari prilaku asosial, yakni prilaku yang bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat.
Oleh karena itu dalam hidup bermasyarakat seseorang harus siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi akan melibatkan orang-orang dari latar belakang sosial budaya. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman latar belakang sosial budaya, kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai, atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Padahal syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya.[10]
Terdapat pula jenis-jenis dalam sosialisasi yang terbagi menjadi dua bagian, diantaranya:
1.             Sosialisasi Primer
Artinya sosialisasi pertama yang dijalani seseorang semasa kanak-kanak, dan berfungsi mengantar mereka memasuki kehidupan sebagai anggota masyarakat.
2.             Sosialisasi Sekunder
Artinya sosialisasi lanjutan dimana seseorang menjalani sosialisasi di sektor-sektor kehidupan yang nyata dalam masyarakat.
D.           Dampak Komunikasi Antarbudaya dalam Kehidupan Masyarakat
a.              Dampak positif komunikasi antarbudaya dalam masyarakat:
·                Tertransaksinya simbol, gagasan, atau pesan dari satu pihak ke pihak lain meski memiliki latar belakang yang berbeda.
·                Komunikasi sosial budaya menghasilkan proses simbolik, misal: Putri Diana adalah lambang kecantikan.
·                Jika interaksi dalam komunikasi antarbudaya dapat terjalin dengan baik, maka akan tercipta masyarakat yang harmonis.
b.             Dampak negatif komunikasi antarbudaya dalam masyarakat:
·                Mengakibatkan terjadinya pencarian kesamaan dalam usaha untuk mencari orang yang memiliki kesamaan budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu kelompok.
·                Penarikan diri: penarikan diri dari interaksi tatap muka, atau dari suatu komunitas.
·                Kecemasan: perasaan psikologis yang secara tiba-tiba menghasilkan sebuah situasi baru yang kurang aman/nyaman.
·                Bertambahnya ketidakpastian: tidak ada usaha untuk mengurangi ketidakpastian atau dengan berusaha memprediksi perilaku apa yang akan dilakukan lawan bicara saat berinteraksi.
·                Stereotip: Penggeneralisasian orang-orang (kelompok etnis lain) berdasarkan sedikit info dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam satu kelompok.
·                Prasangka: keyakinan yang didasarkan pada gagasan yang terlebih dahulu disederhanakan, digeneralisasi atau dilebih-lebihkan pada sekelompok orang.
·                Etnosentrisme: menganggap kelompok budaya/etnisnya yang lebih baik (superior) hingga bisa menimbulkan rasisme yaitu pengkategorisasian individu berdasarkan warna kulit, rambut, dan lainnya.
·                Culture Shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan kehilangan tanda keluarga dan simbol dari pergaulan sosial, gegar budaya terjadi ketika kita memasuki lingkungan baru yang berbeda budaya.
E.           Masyarakat dan Budaya dalam Kajian Teori Interaksionisme Simbolik
George Herbert Mead, yang dikenal sebagai pencetus awal Teori Interaksionisme simbolik, sangat mengagumi kemampuan manusia untuk menggunakan simbol; dia menyatakan bahwa orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul di dalam sebuah situasi tertentu. Interaksionisme simbolik membentuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial. Sebagaimana diamati oleh Kenneth J. Smith dan Linda Liska Belgrave (1984), Interaksionisme simbolik beragumen bahwa masyarakat dibuat menjadi “nyata” oleh interaksi individu-individu,yang “hidup dan bekerja untuk membuat dunia sosial mereka bermakna” (Hlm. 253). Selanjutnya, pada argumentasi ini dapat dilihat meyakinan Mead bahwa individu merupakan partisipan yang aktif dan reflektif terhadap konteks sosialnya.[11]
Interaksionisme simbolik selalu didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Asumsi-asumsi dalam teori ini ialah sebagai berikut:
·                Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain terhadap mereka.[12]
Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respon orang berkaitan dengan rangsangan tersebut. Contohnya, ketika seseorang berada pada lingkungan baru dengan budaya yang berbeda, dia akan memberikan makna dengan menerapkan interpretasi yang diterima secara umum pada hal-hal yang dilihatnya.
Makna yang diberikan pada simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarkan kesepakatan untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula. Contohnya, Budaya masaa yang menghubungkan cincin perkawinan dengan cinta dan komitmen.
·                Makna diciptakan dari interaksi antarmanusia.[13]
Makna dapat ada, hanya ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Interaksionisme simbolik melihat makna sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah “produk sosial” atau “ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi”. Ketika dua individu yang berbeda budaya sedang berinteraksi, sangat penting bagi kedua individu tersebut untuk berbagi bahasa yang samadan sepakat pada denotasi dan konotasi dari simbol-simbol yang mereka pertukarkan, guna mendapatkan makna yang sama dari pembicaraan tersebut.
·                Makna dimodifikasi melalui proses interpretatif.[14]
Terdapat dua langkah dalam proses interpretatif[15]. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna. Kedua, melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna di dalam konteks di mana mereka berada. Setiap orang berhak untuk memberikan makna akan sesuatu akan tetapi, ketika berada pada lingkungan baru yang berbeda budayanya, maka seseorang dituntut untuk memberikan makna sosial yang sama dan relevan sekaligus dapat diterima secara budaya.
·                Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.[16]
Dalam membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Orang-orang tidak lahir dengan konsep diri; mereka belajar tentang diri mereka melalui interaksi. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka konsep mengenai dirinya akan terbentuk.
·                Konsep diri memberikan motif penting untuk perilaku.[17]
Pemikiran bahwa keyakinan, nilai, perasaan, penilaian-penilaian mengenai diri memengaruhi perilaku adalah sebuah prinsip penting pada interaksionisme simbolik. Manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini juga digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Ketika seseorang mendapat pujian mengenai kemampuannya, maka orang tersebut akan melakukan pemenuhan diri terkait kemampuannya.
·                Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya.[18]
Asumsi yang mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu. Selain itu, budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap yang dianggap penting dalam konsep diri. Di Amerika misalnya, terdapat suatu budaya yang individualis yang menghargai ketegasan dan individualitas, sehingga orang sering kali bangga jika melihat dirinya sebagai orang yang tegas.
·                Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.[19]
Interaksionisme simbolik percaya bahwa manusia adalah pembuat pilihan. Sehingga asumsi ini menengahi posisi yang diambil oleh asumsi sebelumnya. Interaksionisme simbolik mempertanyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial. Padahal sebenarnya manusia sebagai pembuat pilihan tidaklah dibatasi oleh budaya atau situasi.


DAFTAR PUSTAKA

Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Tubbs, Stewart L. dan Sylvia Moss. 1996. Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya.
Abdullah, Wulat Wigati. 2006. Sosiologi. Jakarta: Grasindo.
Aw, Suranto. 2010. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
West, Richard, dan Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.



[1] Alo Liliweri. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Hlm. 1-2.
[2] Alo Liliweri. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. Hlm. 3-5.
[3] Alo Liliweri. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Ibid. Hlm. 7-11.
[4] Alo Liliweri. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Ibid. Hlm. 12-14.
[5] Alo Liliweri. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 11-12, 36-42.
[6] Integrasi: penyatuan hingga menjadi satu kesatuan yang bulat.
[7] Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss. 1996. Human Communication: Konteks-konteks Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya. Hal. 236-238.
[8] Alo Liliweri. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hal. 11-12,36-42.
[9] Wulat Wigati Abdullah. 2006. Sosiologi. Jakarta: Grasindo. Hlm. 37.
[10] Suranto Aw. 2010. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 31
[11] Richard West dan Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Hlm. 96-97.
[12] Richard West dan Lynn H. Turner. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Ibid. Hlm. 99.
[13] Ibid. Hlm. 100.
[14] Ibid. Hlm. 100.
[15] Interpretasi: Pandangan teoritis terhadap sesuatu.
[16] Ibid. Hlm. 102.
[17] Ibid. Hlm. 102.
[18] Ibid. Hlm. 103.
[19] Ibid. Hlm. 104.
[20] Alo Liliweri. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar