Suatu
negara dikatakan demokratis jika sistem sosial dan politik dalam negara tersebut
memberi jaminan penuh terhadap kebebasan individu. Dari masyarakat yang
demokratis inilah lahir suatu sistem media demokratis dimana melalui media
jurnalis bertanggung jawab dalam membuka seterang mungkin suatu masalah
sehingga publik dapat memahami dan membicarakan masalah-masalah yang mereka
hadapi secara tuntas. Namun kebijakan-kebijakan dalam hal ini tetap perlu untuk
dirumuskan. Hanya saja dalam penetapan kebijakan ini seringkali menjadi
perdebatan politik yang panjang oleh masyarakat dan berbagai kekuatan politik
yang merasa berkepentingan untuk turut terlibat di dalamnya.
Seorang
pakar komunikasi Jurgen Habermas mengatakan bahwa di masyarakat terdapat suatu
istilah yang disebut ‘ruang publik’, yakni suatu wilayah yang bebas dari
kontrol negara dan modal. Setiap anggota masyarakat dapat saling berinteraksi,
belajar, dan berdebat tentang masalah-masalah publik tanpa perlu risau adanya
campur tangan penguasa ekonomi dan penguasa politik. Dalam hal ini yang
dimaksud adalah media. Namun pada perkembangan yang ada, potensi demokratis itu
melenyap ketika negara dan modal (atau kombinasi keduanya) mulai mendominasi
atau mengambil alih ruang tersebut. Dari sinilah muncul suatu istilah dalam
media yang disebut dengan bisnis media.
Keberadaan
suatu media tentu tidak lepas dari pihak-pihak yang menjadi sponsor media.
Ketergantungan media akan pihak sponsor yang merupakan pemberi modal
mengakibatkan media semakin tidak bisa lepas dari pemenuhan kebutuhan mereka.
Karenanya seringkali jurnalis dituntut untuk menghasilkan berita yang bukan
hanya saja memberi informasi pada khalayak, namun informasi tersebut juga harus
banyak diminati. Jika tidak, dampak yang dirasakan oleh media adalah tidak
adanya modal karena tidak ada sponsor. Pada konteks hiburan juga demikian.
Contoh sederhananya, artis yang saat itu sedang banyak digandrungi akan lebih
dipilih untuk menjadi pemeran suatu sinetron misalnya, meski cerita yang
disuguhkan biasa saja.
Bukan
hanya itu, keberadaan politisi dan publik figur yang merupakan sumber berita,
mengakibatkan tidak jarang dari mereka yang memanipulasi pemberitaan. Meski
demikian seorang jurnalis hanya tetap bisa bertugas karena mereka membutuhkan
berita. Dampaknya, masyarakat menjadi semakin sulit mendapatkan informasi yang
benar, ditambah tidak berlakunya lagi ruang publik tersebut.
Untuk
mengembalikan fungsi media massa sabagaimana mestinya, maka media demokratis
harus dapat menyingkirkan penguasaan besar-besaran dari kalangan bisnis dan
pemasang iklan. Selain itu, pemerintah harus memberikan subsidi pada beberapa
bagian dari ruang publik ini. Pemerintah itu sendiri hanya diijinkan terlibat dalam
beberapa bidang tertentu yang itu akan menguntungkan pertumbuhan media
demokratis. Kemudian negara juga harus membuat serangkaian peraturan yang
merangsang pertumbuhan ruang publik yang bersifat non-komersial sekaligus bebas
dari campur tangan negara.
Oleh
karena itu, tujuan dari pembuatan kebijakan harus dapat menentukan bagaimana
cara terbaik yang dapat dilakukan setiap orang/pihak tertentu dalam mengelolah
dan menggunakan teknologi yang ada untuk menciptakan sektor yang
terdesentralisasi, bersifat non-komersial, dapat dipercaya dan yang terpenting,
memberikan pelayanan yang menguntungkan seluruh masyarakat.
Mbak. Tulisannya bagus. Mungkin saya bisa dikasih tahu referensinya.
BalasHapus