BAB I
PENDAHULUAN
Menurut catatan para sejarawan, orang yang pertama kali menggunakan istilah filsafat adalah Phytagoras dari Yunani yang lahir antara 582-496 SM. Pada waktu itu arti filsafat belum begitu jelas. Kemudian, pengertian filsafat itu diperjelas seperti yang banyak dipakai sekarang ini. Istilah filsafat pertamakali dipakai oleh kaum Sophist (ahli debat) dan Socrates (470-399 SM) yang merupakan murid dari Plato (427-347 SM) dan Aritoteles (384-322 SM). Berbeda dengan Al-Farabi yang mengatakan bahwa filsafat adalah silsilah keturunan dari Timur. Ilmu ini (Filsafat Yunani) dahulu kala diantara orang Chaldea, yakni penduduk Irak, kemudian sampai ke rakyat Mesir dan dari negeri ini sampai ke Yunani, di Yunani ilmu ini menetap beberapa lama sampai kemudian diteruskan ke Syiria dan kemudian jatuh ke tangan orang-orang Arab. Sehingga setelah itu munculah beberapa tokoh filsafat islam baik dari dunia islam timur dan dunia islam barat.
Dari dunia islam timur, salah satu tokohnya adalah Al-Ghazali. Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, dilahirkan di Thus, Khurasan (Persia) pada pertengahan abad kelima hijriyah, (450 H /1058 M). Ia adalah salah seorang pemikir besar islam yang dianugerahi gelar Hujjat Al-Islam (Bukti Kebenaran Agama Islam) dan Zayn Ad-Din (Perhiasan Agama).
Al-Ghazali hidup ketika pemikiran di dunia islam berada pada tingkat perkembangannya yang tinggi. Pemikiran-pemikiran yang tidak berhenti pada hasil karya individual saja, tetapi berkembang menjadi aliran-aliran dengan metode dan sistemnya masing-masing. Sehingga ketika menjadi mahasiswa Al-Ghazali sangat mendambakan untuk mencari pengetahuan yang dianggap mutlak benar, yakni pengetahuan yang pasti, yang tidak bisa salah dan tidak diragukan sedikitpun.
Kemudian dari dunia islam barat, salah satu tokohnya adalah Ibnu Rusyd, nama lengkapnya Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M.
Keterkenalan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat diawali dari peristiwa khalifah Abu Yakub yang menyuruh Ibnu Thufail untuk menyuruh orang meringkas intisari filsafat Aristoteles. Saat itu Ibnu Rusyd mampu meramu dan meringkas pikiran-pikiran filsafat Yunani, sehingga Ibnu Rusyd disebut sebagai ”Juru Ulas” dan dengan sebutan itulah, dia dikenal oleh masyarakat eropa abad pertengahan. Namun berbeda dengan masyarakat timur, Ibnu Rusyd tidak dikenal dan dihargai di sana, dikarenakan paling tidak dua sebab. Pertama, tulisan-tulisannya yang banyak jumlahnya itu diterjemahkan kedalam bahasa latin dan diedarkan serta dilestarikan, sedangkan tulisannya yang asli dalam bahasa arab dibakar atau dilarang diterbitkan lantaran mengandung semangat anti filsafat dan filsuf. Kedua, Eropa pada zaman Renaissance dengan mudah menerima filsafat dan metode ilmiah sebagaimana dianut oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan di Timur, ilmu dan filsafat mulai dikorbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis keagamaan. Sehingga agama memenangkan pertikaian itu di Timur, dan ilmu memenangkannya di Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
- Al-Ghazali
Tipologi Filsafat Al-Ghazali
Setelah Al-Ghazali menganalisis paham atau ajaran yang ada dalam filsafat, baik yang berasal dari pengaruh Yunani ataupun orisinalitas dari para filsuf muslim, akhirnya Al-Ghazali memberikan pemetaan masalah sekaligus memberikan ulasan terhadap masalah tersebut, yakni:
- Berpendapat bahwa alam itu azali
- Berpendapat bahwa alam itu abadi
- Berpendapat bahwa Allah SWT. adalah pencipta alam dan alam adalah ciptaan-Nya
- Menetapkan adanya Pencipta
- Membangun argumen untuk menunjukkan kemustahilan adanya dua Tuhan
- Menafikan (meniadakan) sifat-sifat Tuhan
- Berpendapat bahwa substansi Al-Awwal (Tuhan) bukanlah jenis dan bukan pula diferensia
- Berpendapat bahwa Al-Awwal (Tuhan) adalah wujud yang simpel tanpa esensi
- Berpendapat bahwa Al-Awwal (Tuhan) itu bukan tubuh
- Seharusnya mereka mengatakan adanya massa dan meniadakan pencipta alam
- Berpendapat bahwa Al-Awwal (Tuhan) mengetahui selain diri-Nya
- Berpendapat bahwa Ia (Tuhan) mengetahui substansi-Nya
- Berpendapat bahwa Al-Awwal (Tuhan) tidak mengetahui juz’iyyat (yang juz’i/individual/partikular)
- Berpendapat bahwa langit adalah awan yang bergerak dengan iradah (kehendak)
- Memberikan keterangan tentang tujuan yang menggerakkan langit
- Berpendapat bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua juz’iyyat (semua yang juz’i/individual/partikular)
- Menyatakan kemustahilan terjadinya kejadian yang luar biasa
- Berpendapat bahwa jiwa manusia adalah substansi yang berdiri dengan dirinya sendiri, bukan dengan tubuh, dan bukan pula dengan aksiden
- Menyatakan kemustahilan fananya jiwa-jiwa manusia, dan
- Mengingkari kebangkitan tubuh-tubuh manusia, untuk merasakan kesenangan jasmaniah di surga dan kepedihan jasmani di neraka
Namun dengan segala kemampuan daya nalarnya, Al-Ghazali membatalkan pendapat-pendapat pada nomor-nomor: (1), (2), (6), (7), (8), (13), (15), (16), (17), dan (20); memandang lemah argumen-argumen mereka pada nomor-nomor: (4), (5), (9), (11), (12), (14), (18), dan (19); dan menyatakan bahwa pendapat mereka pada nomor (3) sebagai pendapat mereka yang bukan sebenarnya; dan sebenarnya dan seharusnya mereka berpendapat seperti pada nomor (10). Diakhir bukunya, Tahafut Al-Falasifah Al-Ghazali mengkafirkan paham nomor (1), yakni pendapat bahwa alam itu azali atau qadim, paham nomor (13), yakni pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang juz’i/individual/partikular), dan paham nomor (20), yakni paham yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh dihari akhirat. Itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali jatuh kedalam kekafiran. Adapun paham-paham yang lain bila dianut tidal membawa kekafiran, meskipun paham-paham itu tidak benar atau tidak kuat argumentasi/dalilnya.
Secara khusus, ia berpendapat bahwa para filsuf menjadi kafir karena tiga masalah:
- Kekekalan dunia (tesis khas Aristoteles)
- Ketidakmungkinan Tuhan mengetahui hal-hal paltikular (tesis yang dipegang kuat-kuat oleh Ibnu Sina)
- Dan penolakan terhadap kebangkitan jasmani dan moralitas jiwa individu, teori naturalistis yang tidak melalui Aristotelian
Tiga masalah ini sudah cukup untuk mentransformasikan pesan filosofis menjadi teori yang berpotensi merusak. Sekalipun para filsuf terbesar pada umumnya tidak dapat dituduh kafir (Al-Ghazali [1928]: 6-7), doktrin-doktrin mereka menggiring banyak orang “menolak detail-detail agama dan kredo, dan mempercayai bahwa semua itu adalah hukum dan karya buatan manusia” (Al-Ghazali [1928]: 5).1
Paham Qadim-nya Alam
Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak bermula; tidak pernah tidak ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadim-nya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an yang jelas mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi dan segala isinya). Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada disamping adanya Tuhan.
Sebaliknya, bagi para filsuf muslim, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, paham bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam. Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut mereka, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka mustahil berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah daripada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta.
Apa sebenarnya landasan berpikir Al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. “Prinsip pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, Maha Bertindak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang Ia kehendaki; Ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana yang Ia kehendaki dan dalam bentuk yang Ia kehendaki” (Al-Ghazali [1928]: 131).
Al-Ghazali sangat menekankan kehendak Tuhan. Suatu sifat yang mentransformasikan diri dalam potensi (dan aktualitas) tindakan. Dengan mempertimbangkan premis-premis ini, adakah tempat bagi sebab-sebab alamiah dalam sistem pemikiran Al-Ghazali? Masalah kualitas mungkin masalah yang paling banyak dibahas dalam literatur historiografis tentang pemikiran ini. Bahkan, belakangan ini para sarjana banyak menggarap masalah ini (Goodman [1978]; Alon [1980]; Abrahamov [1988]).
Begitu pula, salah jika menganggap bahwa Al-Ghazali menolak secara mutlak keberadaan kausalitas alamiah. Menolak fakta bahwa api membakar kapas adalah sangat bodoh. Yang ditolak Al-Ghazali adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat yang terlepas dari kehendak Tuhan yang menciptakan hakikat membakar. Jika dunia yang mungkin adalah dunia tempat segala kemungkinan, Al-Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan ini hanyalah arena tindakan bebas Tuhan. Kesulitannya bukan terletak pada keberadaan objektif hal-hal konkret hanya karena Tuhan menciptakan mereka. Problem epistemologisnya terletak pada ketidakmungkinan menghubungkan secara langsung suatu akibat pada suatu sebab. Sebab-sebab dapat senantiasa hipotesis, dan satu-satunya kepastian yang kita miliki adalah bahwa semua itu merupakan akibat-akibat dari kehendak Tuhan.2 Begitu pula halnya dalam penciptaan alam, bahwa kehendak Tuhanlah yang paling utama dan bahwa alam itu diadakan setelah Dia ada.
Al-Ghazali mengemukakan konsep yang sama di tempat-tempat lain dalam Tahafut (Al-Ghazali [1928]: 277-278). Namun dia selalu menekankan kenyataan bahwa Tuhanlah yang menciptakan kaitan antarfenomena; “Mengenai apa yang secara lahiriah tampak berhubungan ... itu bergantung pada tindakan Allah SWT. yang menentukan [taqdir], yang menciptakan (penampakan-penampakan) dalam suatu rangkaian [‘ala’ at-tasawuq]. Bahkan, Tuhan dapat menjungkirbalikkan hukum-hukum alam dan menundukkan fungsi-fungsi alam kepada hukum yang sama sekali baru. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa Tuhan benar-benar bertindak dengan cara seperti itu atau bahwa Ia tidak memberikan sifat-sifat alamiah kepada api atau air untuk membakar dan memadamkan. Oleh karena itu, layak untuk tidak berlebih-lebihan dalam menyikapi nilai skeptis beberapa pernyataan Al-Ghazali seperti berikut, “Oleh karena itu saya mulai merenungkan dengan amat tekun persepsi-indra [mahsusat] dan kebenaran yang niscaya (dharuriyyat), untuk melihat apakah hal itu menjadikan diri saya ragu. Hasil dari usaha yang berkepanjangan untuk memunculkan keraguan itu adalah bahwa saya tidak lagi percaya pada persepsi-indra.” (Al-Ghazali [1967]: 23).
Al-Ghazali menolak konsepsi filosofis yang mengatakan bahwa dunia ini kekal dan diciptakan lewat proses emanasi dengan bahan dasar yang bersifat kekal dan yang secara terus-menerus mengambil bentuknya yang berbeda. Dia menerima pendapat bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan dari benar-benar tiada, pada waktu yang lalu secara terbatas, baik (matter) maupun bentuk (form) daripada dunia ini, dulunya telah diciptakan oleh Tuhan dalam tindakan yang asli seperti itu.
Sebaliknya, menurut pemahaman filosofis ajaran Aristoteles yang dianut pula oleh Ibnu Rusyd, setiap perubahan yang terjadi harus ditentukan oleh suatu sebab yang berada diluar dirinya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk objek-objek fisik, tetapi juga berlaku untuk keadaan pikiran. Dengan demikian, besar kemungkinan jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, beberapa sebab yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunnya kearah terwujudnya keputusan itu. Seandainya alam semesta ini dalam jumlah keseluruhannya ada, dan lagi bukan ada untuk seterusnya, hal ini akan menimbulkan kesulitan. Hal itu berarti tidak akan ada sesuatu dibenak pikiran Tuhan yang dapat mempengaruhinya dalam membuat keputusan tentang keberadaan dunia, lantaran tidak ada sesuatu apapun yang ada, kecuali hanya Tuhan. Sekarang, kita tahu dari pengalaman kita bahwa dunia telah ada maka kita dapat mengambil ksimpulan bahwa persoalan sejenis ini tidak akan dapat mencegahnya untuk berada. Dalam keadaan seperti itu, dunia ini harus benar-benar ada untuk seluruh waktu atau mengesampingkan secara pelan-pelan masalah keharusan menerangkan bagaimana perubahan pertama yang menciptakan dunia ini muncul. Dengan disuguhi model penciptaan alam lewat emanasi, dunia ini akan terus-menerus terpancar dari yang Satu dan memang adalah sifat yang Satu itu untuk memproduksi apa yang seharusnya diproduksi dan bagaimana hal itu diproduksi. Jika pada suatu waktu, Tuhan itu ada tanpa adanya sesuatu yang lain, sebelum Dia menciptakan dunia, lalu apa yang mendorongnya untuk menciptakan dunia pada mula pertama kali dulu? Dulunya, tidak ada suatau apapun disekitarnya yang dapat mempengaruhinya dan dia dapat saja untuk tetap terus menerus dalam keadaan sempurna dan tidak bergerak. Namun, kita tahu bahwa dunia ini ada dan kita percaya bahwa tuhan menciptakannya, dan kita cuma dapat memahami arti dari kenyataan ini, jika kita mengakui bahwa ciptaan-Nya adalah bersifat abadi.3
Al-Ghazali memberi ulasan bahwasanya Tuhan dengan mudah mewasiatkan secara abadi agar dunia tercipta pada waktu tertentu pada masa mendatang, jika dia menginginkan begitu. Sebenarnya, menurut petunjuk Al-Qur’an, apa yang perlu dikatakan Tuhan adalah “Jadilah, maka jadilah ia” (Q.S. Ali ‘Imran:47). Mengapa dia tidak dapat membubuhi tanggal sebenarnya, begitu dikatakan, beberapa waktu kemudian dari tanggal keberadaan alam semesta? Maka dunia ini dapat saja berada pada waktu tertentu dikemudian hari. Keberatan yang biasa muncul dari pihak filsuf terhadap kemungkinan seperti itu adalah bahwa disana pasti ada beberapa alasan mengapa seseorang yang menginginkan sesuatu, yang Ia sendiri mampu melaksanakan tugas pekerjaannya. Jika dia menginginkan X dan dapat memperoleh X, mengapa dia harus menunggu dalam tempo kepanjangan waktu tertentu, setelah pelaksanaan tindakan dapat dilaksanakan untuk memuaskan keinginannya? Pasti, disana, tidak akan ada halangan yang dapat merintangi kekuasaan Tuhan untuk melaksanakan tujuan-tujuannya?4
Al-Ghazali menantang orang yang berpendapat bahwa keinginan ketuhanan tidak dapat menghasilkan akibat yang diundur. Mengapa harus ada rintangan untuk menerangkan gejala seperti itu? Dalih apa yang dimiliki para filsuf sehingga mereka benar-benar mengesampingkannya? Dia berpendapat dan mendukung adanya kemungkinan akibat atau hasil sesuatu yang diundur dengan mengetengahkan keterangan yang mengandung kilah tentang bagaimana kemauan Tuhan (divine) akan terlaksana dengan baik. Jika kita kembali pada pokok persoalan sebelumnya, yakni bahwa para filsuf itu ragu akan adanya kemungkinan suatu akibat atau hasil yang diundur karena tampaknya memang tidak ada dorongan yang dapat dipahami untuk mengundur waktu. Kita tidak dapat melihat bahwa disana ada juga masalah yang menyangkut penciptaan alam semesta pada waktu tertentu dan bukannya pada waktu tertentu yang lain. Jika Tuhan benar-benar menciptakan dunia pada waktu tertentu, Dia menentukan untuk menciptakannya pada waktu itu dan bukannya pada waktu yang lain, maka hal itu berarti membayangkan bahwa Dia tidak bertindak secara serampangan. Namun, sebelum segala sesuatu ini ada, kecuali Tuhan, lalu apa alasan yang dimiliki Tuhan untuk menciptakan dunia pada waktu tertentu itu? Dalam hal ini tidak ada suatu hal lain yang mendorongnya, kecuali pemikirannya sendiri, dan mengapa dia lebih menyukai satu waktu dan bukannya satu waktu yang lain?5
Lebih lanjut, Al-Ghazali menjelaskan sebagaimana kutipan Oliver Leaman: “......bahwa menurut keyakinan kamu, kamu tidak dapat membayangkan hal ini (adanya keinginan yang menyebabkan suatu hal atau akibat diundur), apakah kamu mengetahuinya lewat keniscayaan akal ataukah lewat proses deduksi? Kamu bisa saja memegangi bukan yang satu dan juga bukan yang lainnya. Akan tetapi, tindakan membandingkan zat Tuhan dengan kemauan kita manusia merupakan analog yang jelek, dan begitu juga analog yang sama yang kamu terapkan pada masalah yang menyangkut pengetahuan Tuhan. Sekarang sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pengetahuan Tuhan adalah berbeda sekali dari pengetahuan kita dalam beberapa hal. Dengan demikian, bukannya tidak masuk akal untuk mengakui adanya perbedaan di dalam keinginan… bagaimana kamu akan menolak orang-orang yang mengatakan bahwa bukti rasional yang melapangkan jalan untuk mengukuhkan suatu kualitas di dalam zat Tuhan, yang kualitas itu akan membedakan dua hal yang sama? Tambahan pula, kita sendiri saja tidak dapat menyamakan kemauan manusia dan mengakui bahwa hal demikian tidak dapat dibayangkan dapat terjadi. Bayangkan, ada tanggal serupa dihadapan seseorang yang mempunyai keinginan kuat untuk mengambil kedua-duanya, teteapi ia tidak sanggup mengambil kedua-duanya sekaligus. Yang pasti, dia akan mengambil salah satu dari mereka, lewat kriteria kualitas yang disukainya, dengan kualitas yang mana merupakan alat untuk membedakan dua hal yang serupa… setiap orang yang mempelajari bagaimana cara kerja yang sebenarnya dari pada mengambil keputusan baik dari diri manusia maupun Tuhan, maka dia harus mengakui adanya suatu kualitas tertentu, dengan kualitas mana dia dapat membedakan antara dua hal yang berbeda.”6
Ibnu Rusyd dengan tajam menjawab argumen ini sebagaimana berikut. “Tetapi, argumen seperti itu adalah salah karena jika seseorang menganggap seperti itu adanya, dan ada seseorang yang keinginannya didorong oleh keperluannya seperti kebutuhannya mendorongnya untuk makan dan menentukan tanggal, hal ini tidaklah merupakan persoalan yang membedakan antara dua hak yang serupa, jika dalam keadaan seperti itu, ia dapat mengambil salah satu dari dua tanggal.....kemauannya terletak dan terpatri kuat dalam dirinya sendiri maka yang dibutuhkan hanyalah untuk membedakan antara kenyataan mengambil salah satu antara keduanya dan kenyataan untuk meninggalkan kedua-duanya; melekat pada diri sendiri tidak sama sekali berarti melekat pada tindakan menentukan satu tanggal tertentu dan membedakan tindakan ini dari tindakan meninggalkan tanggal yang lain.........dia memberikan pilihan kepada tindakan memilih diatas tindakan tidak memilih.7
Al-Ghazali memperluas ruang lingkup argumen tersebut untuk menunjukkan bahwa di sana dapat saja ada perubahan bagi struktur alam semesta, baik kemungkinan bisa berubah menjadi lebih baik atau menjadi lebih jelek, tidak ada alasan khusus bagi Tuhan dalam menentukan satu tipe tertentu alam semesta dan bukan tipe yang lain. Dia mempertimbangkan keberatan yang mempertanyakan apa yang telah mendorong sang pencipta menciptakan dunia pada satu waktu dan bukan pada waktu yang lain. Sebagaimana yang telah kita lihat, dia menjawab bahwa meskipun dulunya memang tidak ada waktu, ketika alam semesta diciptakan, yang dengan demikian menuntut bahwa penciptaan harus terjadi pada waktu itu (yang berarti dapat mengurangi kekuasaan Tuhan). Namun demikian, tindakan yang berdasarkan pada keinginan murni sang penciptalah yang memilih waktu itu sendiri.
Al-Ghazali menjelaskan lebih lanjut bahwa waktu memang dibentuk dan diciptakan, dan sebelum itu tidak ada waktu sama sekali. Arti pokok dari kata-kata ini adalah bahwasanya Tuhan lebih dulu tahu daripada dunia dan waktu: Dia ada tanpa dunia dan waktu dan kemudian Dia ada dan bersamanya ada dunia dan ada pula waktu ... dunia adalah seperti orang pertama tunggal. Sebagai contoh, Tuhan ada tanpa Yesus, kemudian Dia ada bersama Yesus --- maka kata ini tidak mengandung apa-apa, kecuali pertama, keberadaan suatu hakikat dan ketidakberadaan suatu hakikat, maka yang ada cuma keberadaan dua hakikat, dan kita tidak perlu membayangkan adanya esensi, atau hakikat ketiga, yakni waktu, meskipun imajinasi kita tidak dapat berhenti atau menahan diri untuk memperkirakan adanya. Akan tetapi, kita tidak perlu mengindahkan kesalahan imajinasi kita.8 Al-Ghazali berpendapat bahwa sebelum penciptaan dunia, Tuhan telah ada, tetapi tidak dalam ruang lingkup dimensi waktu. Jika kita ingin tahu apa arti sebenarnya dari kata-kata bahwasanya sebelum penciptaan dunia disana tidak ada waktu, dan jika kita ingin tahu bagaimana kita dapat menggunakan istilah temporer untuk menunjuk pada periode yang nontemporer, Al-Ghazali berpendapat bahawa kita ini disesatkan oleh imajinasi kita.9
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa: “Orang yang menduga bahwa sebelum keberadaan dunia ini sudah ada satu kemungkinan unik yang tidak pernah hilang, harus meyakini bahwa dunia ini adalah kekal. Orang yang meyakini, seperti Al-Ghazali dalam jawabannya bahwa sebelum adanya dunia ini sudah ada sejumlah kemungkinan dunia yang tidak terbatas, tentu saja harus mengakui bahwa sebelum dunia ini ada, di sana telah ada dunia lain dan sebelum dunia yang kedua ini ada, ada dunia ketiga, demikian seterusnya, secara tidak terbatas, seperti halnya keadaan manusia, dan terutama ketika diperkirakan bahwa hancurnya generasi yang terdahulu merupakan syarat yang harus berlaku keberadaan generasi berikutnya.”
Namun demikian, perdebatan itu sampai pada titik temu bahwa dunia ini ada atau tidak ada adalah suatu kemungkian dan kenyataan bahwa dunia ini ada sekarang. Berangkat dari asumsi ini, Ibnu Rusyd menambahkan dengan nada persetujuan dengan rumusan Al-Ghazali tentang argumen para filsuf: “Ringkasnya ... bahwasanya segala sesuatu yang ada adalah bersifat mungkin sebelum dia itu ada, dan sifat kemungkinan tersebut membutuhkan sesuatu bagi inti substansinya, yaitu landasan yang dapat menerima atau mewadahi apa-apa yang bersifat mungkin tadi ... karena kemungkinan–kemungkinan yang mendahului segala sesuatu yang ada adalah mustahil, jika keberadaannya sama sekali tanpa landasan dasar (substratum) atau pelaku (agent) yang hendaknya menjadi landasan dasarnya atau sesuatu yang bersifat mungkin itu sendiri ... maka sesuatu yang paling pokok dan tetap tinggal berfungsi sebagai alat atau wadah bagi segala kemungkinan adalah materi. Materi sejauh dia itu adalah materi dia tidak akan dapat menjadi ada, karena jika saja dia itu ada, dia akan membutuhkan materi lain dan kita akan berhadapan dengan gerak mundur yang tak terbatas. Materi-materi itu yang dapat berubah menjadi ada sejauh mana dia dikaitkan dengan bentuk.”10
Paham bahwa Tuhan tidak Mengetahui Juz’iyyat
Paham bahwa Tuhan tidak Mengetahui Juz’iyyat (hal-hal yang juz’i/individual/partikular) bukanlah paham yang dianut oleh para filsuf muslim. Paham demikian dianut oleh Aristoteles. Kendati demikian, Al-Ghazali berupaya menampilkan pandangan Ibnu Sina dengan menyatakan bahwa Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, dengan pengetahuan kulli/umum, tidak termasuk dalam kategori zaman, tidak berbeda pengetahuan-Nya karena (berbedanya sesuatu itu pada) zaman yang lalu, yang akan datang dan yang sekarang. Meskipun demikian, ia berpendapat bahwa tidaklah ghaib dari pengetahuan-Nya apa saja yang ada dilangit dan dibumi kendati sekecil atom. Hanya saja Dia mengetahui hal-hal yang juz’i/individual/partikular dengan (pengetahuan) semacam (pengetahuan) kulli/umum. Setelah panjang lebar menjelaskan maksud pendapat Ibnu Sina itu, Al-Ghazali mempunyai kesimpulan bahwa maksud yang demikian adalah bahwa Tuhan sebenarnya tidak mengetahui hal-hal yang juz’i, seperti tidak mengetahui siapakah Muhammad bin Abdullah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, dan sebagainya. Benarkah demikian pendapat Ibnu Sina atau benarkah demikian maksud pendapat tentang pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal yang juz’i? Sebenarnya pada pembicaraan Ibnu Sina sudah jelas bahwa paham Ibnu Sina tentang pengetahuan Tuhan berkenaan dengan hal-hal yang juz’i tidak seperti yang disimpulkan Al-Ghazali. Bagi Ibnu Sina Tuhan mengetahui hal-hal yang kulli, menurut kulli-Nya, dan mengetahui hal-hal yang Juz’i menurut juz’i-Nya. Tetapi pengetahuan Tuhan tidak seperti pengetahuan manusia. Bila pengetahuan Tuhan muncul setelah memerhatikan hal-hal juz’i yang terjadi sehingga pengetahuan manusia merupakan akibat sehingga hal-hal yang terjadi itu merupakan sebab bagi munculnya pengetahuan manusia. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan Maha Suci dari cara mendapatkan seperti itu. Tuhan mengetahui hal-hal juz’i itu dengan pengetahuan yang tidak berubah. Hal ini dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan tentang sebab-sebab yang bersifat umum, atau dapat dipahami dengan pengertian bahwa Tuhan telah mengetahui hal-hal yang juz’i itu dengan pengetahuan yang azali dan tidak berubah. Kendati hal-hal yang juz’i itu terus-menerus berubah, Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i itu bukanlah setelah hal-hal yang juz’i itu terjadi dan diperhatikan. Jadi, tidak benar bahwa para filsuf muslim berpaham bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal juz’i yang muncul pada alam ciptaan-Nya, atau dengan kata lain tidak benar bahwa pemahaman para filsuf muslim tentang pengetahuan Tuhan membawa pada pengertian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i.
Sebaliknya, Al-Ghazali memandang bahwa Tuhan Maha Segala Tahu baik besar ataupun kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil [partikular]. Kutipan dari tudingan Al-Ghazali adalah sebagai berikut: “Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka, “Tuhan yang Maha Mulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular.” Pernyataan ini jelas-jelas menunjukkan ketidak berimanan mereka. Sebaliknya, yang benar adalah “tidak ada sebutir atompun baik di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”
Paham Kebangkitan Jasmani
Menurut Al-Ghazali, gambaran Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu kepada kehidupan rohani saja. Akan tetapi, pada kehidupan yang bersifat rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat jasmani-rohani dan merasakan azab neraka yang juga bersifat jasmani-rohani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat jasmani-rohani itu, menurut Al-Ghazali, bukanlah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu gambaran Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. itu haruslah dipahami secara hakiki saja. Pemahaman bahwa kehidupan di surga dan neraka bersifat rohani saja, menurut Al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad dihari akhirat. Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. dan karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ia berkata: “... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar didalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spiritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”11
Pemahaman secara hakiki, menurut akal mereka mustahil. Oleh karena itu, gambaran tersebut haruslah dipahami secara majasi. Penggambaran Tuhan tentang alam kubur/akhirat secara jasmani/materi, mereka pahami sebagai upaya materialisasi terhadap hal-hal yang bersifat spiritual dan itu adalah upaya yang layak. Penggambaran seperti itu adalah bijaksana.
Sebenarnya, bukan hanya para filsuf muslim yang sulit memahami kehidupan alam kubur/akhirat secara jasmani-rohani. Melainkan juga mereka yang bukan filsuf. Bagaimana bisa dipahami nikmat atau azab kubur secara jasmani-rohani bagi mereka yang mati dengan jasad yang habis dimakan oleh binatang atau sudah menjadi abu karena terbakar? Bagaimana bisa dipahami jasad yang diletakkan diliang lahat itu dapat merasakan nikmat atau azab, seperti azab malaikat berupa pukulan besi bagian kupingnya atau merasakan jepitan kalajengking atau gigitan ular besar yang datang kepada jasad yang terbaring dilahat? Bagaimana bisa dipahami bahwa kuburan orang baik-baik dilapangkan sampai 70 hasta dan dibentangkan hamparan sampai ke surga, atau kuburan orang yang jahat disempitkan sedemikian hebat sehingga remuk tulang-tulang jasad yang berbaring dilahat itu? Bagaimana bisa dipahami bahwa manusia dibangkitkan di alam masyhar dengan badan telanjang [padahal matinya mengenakan pakaian]? Bagaimana bisa dipahami bahwa mereka yang berada di surga bisa berdialog dengan mereka yang berada di neraka yang menyala-nyala? Karena tidak mudah dipahami secara jasmani-rohani, muncul pemahaman dari kalangan sufi bahwa alam kubur/akhirat itu adalah alam rohani semata. Jasad-jasad yang ada pada alam alam kubur/akhirat itu juga bersifat rohani, bukan bersifat jasmani/materi.
Secara universal, Al-Ghazali dikenal sebagai hujjah al-islam, dan kualifikasi ini hanya bermakna jika mengakui bahwa karyanya merupakan sintesis sadar dari tiga aspek konsepsi islam mengenai rasionalitas: pencarian teoritis dan filosofis, ketentuan yuridis dan praktik mistis. Barangkali jenis rasionalitas macam ini sangat berbeda dengan rasionalitas barat. Namun, keluasan pemikiran Al-Ghazali menunjukkan bahwa ia dapat dipandang sebagai prototipe intelektual muslim (Watt, 1963).
- Ibnu Rusyd
Agama dan Filsafat
Dalam rangka membela filsafat dan para filsuf muslim dari serangan para ulama, terutama Al-Ghazali, Ibnu Rusyd antara lain menegaskan bahwa antara agama islam dan filsafat tidak ada pertentangan. Inti filsafat tidak lain dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta segala yang ada ini. Ibnu Rusyd mendasarkan argumennya [istidalal] dengan dalil Al-Qur’an [Al-Hasyr: 2], dan [Q.S. Al-Isra’: 184], menyuruh manusia berpikir tentang wujud atau alam yang nampak ini dalam rangka mengetahui Tuhan. Dengan demikian, sebenarnya Al-Qur’an menyuruh umat manusia berfilsafat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan berdasarkan perintah Al-Qur’an bahwa kaum muslim wajib berfilsafat [wujud al-‘aql], atau mempelajari [mengambil manfaat] filsafat Yunani, bukan dilarang atau diharamkan. Menurut Ibnu Rusyd, bila ada teks waktu yang artinya lahiriyah bertentangan dengan pendapat akal, teks itu haruslah ditakwilkan atau ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal. Kajian ini terlihat dari kitabnya, Fasl Al-Maqal fima bain Al-Hikmah wa Asy-Syari’ah min Al-Ittishal.12
Jadi, Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari filsafat karena manusia harus membuat spekulasi atas alam raya ini dan merenungkan bermacam-macam kemaujudan. Sasaran agama secara filosofis, yakni agama berfungsi sebagai pencapai teori yang benar dan perbuatan yang benar (aal-‘ilma al-haq wal-‘amal al haqq).13 Sebab, pengetahuan sejati ialah pengetahuan tentang Tuhan, kemaujudan lainnya, dan kebahagiaan serta kesengsaraan di akhirat. Ada dua cara untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu penerapan dan persesuaian. Persesuaian bisa bersifat demonstratif, dialektis, atau retoris.
Lebih lanjut, Ibnu Rusyd membagi manusia dalam tiga golongan, sebagaimana dalam Al-Qur’an. Manusia terdiri atas tiga golongan: para filsuf, para teolog, dan orang-orang awam (Al-Jumhur). Para filsuf ialah kaum yang menggunakan cara demonstratif. Para teoloh ialah orang-orang Asy’ariah, yang ajaran-ajaran mereka menjadi ajaran-ajaran resmi pada masa Ibnu Rusyd --- ialah kaum yang lebih rendah tingkatannya karena mereka memulai dari penalaran dialektis dan bukan dari kebenaran ilmiah. Orang awam ialah orang-orang yang retoris yang hanya bias menyerap sesuatu lewat contoh-contoh dan pemikiran puitis.14
Sejauh ini, agama sejalan dengan filsafat. Tujuan dan tindakan filsafat, sama dengan tujuan dan tindakan agama. Yang ada adalah masalah keselarasan keduanya dalam metode dan permasalahan materi. Jika yang tradisional itu (Al-Manqul) ternyata bertentangan dengan yang rasional (Al-Ma’qul), yang tradisional harus ditafsirkan sedemikian rupa supaya selaras dengan yang rasional.15 Penafsiran yang bersifat alegoris (ta’wil) didasarkan pada kenyataan bahwa didalam Al-Qur’an dan ayat-ayat yang tersurat dan tersirat (batin). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meminjam istilah Ahmad Fuad Al-Ahwani,16 ”Filsafat ialah saudara kembar agama; keduanya merupakan sahabat yang pada dasarnya saling mencintai.”
Qadim-nya alam
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham qadim-nya alam itu tidak bertentangan dengana ajaran Al-Qur’an. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada justru tidak mempunyai dasar dalam Al-Qur’an. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Al-Qur’an (Q.S. 11: 7; 41: 11; 21: 30) dapat diambil kesimpulan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada (al-‘adam), tetapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa pada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau tidak dijadikan oleh Tuhan. Bagi para filsuf muslim, alam itu dikatakan qadim, justru karena alam itu diciptakan Tuhan, yakni diciptakan sejak qidam/azali. Karena diciptakan-Nya sejak qidam, alam itu menjadi qidam pula. Bagaimanapun, Tuhan dan alam tidak sama karena Tuhan adalah qadim yang mencipta, sedangkan alam adalah qadim yang dicipta.
Ibnu rusyd mendasarkan memikirkan tentang alam itu kekal adalah surat ibrahim ayat 47-48 dengan artinya sebagai berikut:
“Maka karena itu, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa Allah mengingkari janji-Nya kepada rasul-rasul-Nya. Sungguh, Allah Maha Perkasa dan mempunyai pembalasan (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka (manusia) berkumpul (di padang mahsyar) menghadap Allah yang Maha Esa, Maha Perkasa.” (Q.S.Ibrahim: 47-48)
Dalam ayat ini jelas kelihatan bahwa bumi dan langit akan ditukar dengan bumi dan langit yang lain. Sesudah alam materi sekarang akan ada alam materi lain. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dengan berpegang pada ayat ini berpendapat bahwa alam ini betul diwujudkan, tetapi diwujudkan terus-menerus. Dengan kata lain, alam adalah kekal. Dengan denikian, pendapat para filsuf tentang kekekalan alam tidaklah bertentangn dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Apalagi tidak ada ayat yang dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa alam diadakan dari tiada.17
Selanjutnya Ibnu Rusyd melihat adanya perbedaan antara kaum teolog dan kaum filsuf dalam mengartikan kata “al-ihdas” [mewujudkan]. Bagi kaum teolog, “al-ihdas” mengandung arti “mewujudkan dari tiada”, sedangkan bagi kaum filsuf kata itu mengandung arti “mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir”. Demikian pula, terdapat perbedaan paham antara kedua golongan itu tentang apa yang dimaksud dengan qadim. Bagi kaum teolog, qadim mengandung arti sesuatu yang berwujud tanpa sebab, sedangkan bagi kaum filsuf qadim tidak mesti mengandung arti hanya “sesuatu yang berwujud tanpa sebab” tetapi juga boleh berarti “sesuatu yang berwujud dengan sebab”. Dengan kata lain, sungguhpun dia disebabkan, ia boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujudnya. Dengan demikian, qadim adalah sifat bagi sesuatu yang dalam kejadian kekal, “kejadian terus-menerus, yaitu kejadian yang tak bermula dan tak berakhir.”
Kebangkitan Jasmani
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa terdapat pertentangan dalam tulisan Al-Ghazali mengenai kehidupan manusia pada hari akhirat. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut Al-Falasifah menyatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan pada hari akhirat hanya bersifat rohani, tetapi dalam bukunya yang lain, ia menyatakan bahwa kaum sufi berpendapat bahwa yang akan terjadi pada hari akhirat adalah kebangkitan rohani. Jadi, menurut Ibnu Rusyd tidaklah ada ijma’ (kesepakatan) ulama tentang kebangkitan jasmani pada hari akhirat, dan karena itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani saja, tidak dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijma’.
Untuk memulai bahasan ini, diawali dari sanggahan Al-Ghazali tentang kebangkitan rohani ketika manusia dibangkitkan nanti. Karena Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Al-Ghazali berkata: “ ... adalah pertentangan dengan seluruh keyakinan muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala atau hukuman, dan pahala atau hukuman itupun bersifat spiritual bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya mereka itu benar didalam menguatkan adanya pahala atau hukuman yang bersifat spiritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”18
Menanggapi tudingan itu, Ibnu Rusyd mencoba menggambarkan kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula jika manusia mati, badan hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan bangkit. Kutipan lengkapnya, sebagai berikut: “... perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktifitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara membuta tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti maka sudah semestinya keadaan pada saat kematian akan sama dengan keadaannya pada saat tidur ... Dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan yang cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan yang menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang berkelangsungan hidup daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Dan hal ini pun terang gamblang dari firman Tuhan. ‘Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya; dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka.”19
Pertentangan keduanya menjadi lembaran hiasan yang panjang dalam sejarah filsafat islam. Akan tetapi bila diteliti lebih dalam, pada dasarnya, Ibnu Rusyd masih ragu tentang keabadian jiwa. Secara lengkap, sebagai berikut: “...akan halnya keberatan Al-Ghazali bahwa manusia mengetahui jiwanya bahwa dia itu ada dalam jasmaninya, meskipun dia tidak dapat merinci dibagian mana -- tentu saja pendapat ini adalah benar, karena orang-orang terdahulu pun mempunyai perbedaan pendapat tentang tempat atau letak kedudukannya, tetapi pengetahuan kita bahwa jiwa adalah ada didalam badan jasmani tidak berarti bahwa kita tahu bahwa dia memperoleh keberadaannya lantaran kebersamaannya dengan badan jasmani; keadaan ini bukan berarti jelas dengan sendirinya, dan persoalan dimana para filsuf kuno dan begitu juga yang modern berbeda pendapat, karena jika badan jasmani sebagai alat bagi keberadaan jiwa, jiwa tidak memperoleh keberadaannya lewat badan jasmani. Akan tetapi, jika badan serupa dengan lapisan bawah atau landasan bagi kejadian-kejadain yang dilakukannya, jiwa hanya bisa ada lewat perantaraan jasmani.”20
Hasil dari penelitian Oliver Leaman menunjukkan bahwa perdebatan keduanya, pada dasarnya memiliki kelemahan masing-masing. Hal itu terbukti, pada akhirnya, Al-Ghazali mengakui adanya kebangkitan rohani. Begitu juga Ibnu Rusyd mengakui adanya kebangkitan jasmani.21
Hal itu diperkuat juga oleh tulisan Abd. Azis Dahlan,22 Ibnu Rusyd menyatakan bahwa “Semua agama mengakui adanya hidup kedua dihari akhirat kendati ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Yang jelas adalah, menurut Ibnu Rusyd, kehidupan manusia di akhirat itu berbeda dengan kehidupannya di dunia, sesuai dengan isyarat hadis Nabi SAW., “Disana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas pada pikiran.” Kehidupan manusia diakhirat adalah lain dan lebih tinggi daripada kehidupan di dunia. Sesuai dengan keterbatasan daya tangkap orang awam tentang hal-hal yang abstrak, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa bagi mereka, kehidupan manusia di akhirat lebih baik digambarkan dalam bentuk jasmani daripada digambarkan dalam bentuk rohani saja. Mengenai kebangkitan dalam hari akhirat, ia sendiri berpendapat bahwa yang akan ada nanti di akhirat adalah badan yang serupa dengan apa yang ada di dunia dan bukan badan yang semula di dunia karena yang sudah hancur tidak akan datang kembali.”
Pengetahuan Tuhan
Masih dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap para filsuf muslim, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para filsuf muslim tidaklah mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i (perincian yang terjadi) pada alam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Seperti halnya setiap ulama islam, para filsuf muslim juga berpandangan bahwa Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i pada alam ini. Yang mereka persoalkan adalah bagaimana cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu. Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang bersifat juz’i itu tidaklah seperti pengetahuan manusia tentang hal-hal demikian karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek (akibat dari memerhatikan hal-hal yang juz’i itu), sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yakni sebab bagi munculnya hal-hal yang bersifat juz’i itu. Selain itu, ketidaksamaan tersebut disebabkan oleh pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim, yakni semenjak azali Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i di alam semesta ini, betapa pun kecilnya hal tersebut. Manusia tidak memiliki pengetahuan sama sekali, tetapi kemudian secara berangsur-angsur, memperoleh pengetahuan setelah memerhatikan bagian demi bagian alam secara seksama.
Kritik Al-Ghazali kedua adalah tentang apakah Tuhan tahu tentang hal-hal yang kecil atau tidak. Al-Ghazali berpendapat bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, baik besar ataupun kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan hanya tahu yang universal bukan perkara yang kecil (partikular). Berikut kutipannya: ”Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka, ’Tuhan yang Maha Mulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi bukan hal-hal yang partikular’. Pernyataan ini jelas-jelas menunjukkan ketidak berimanan mereka. Sebaliknya yang benar adalah ’tidak ada sebutir atompun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”
Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa sekecil itu. Dalam hal ini Ibnu Rusyd membedakan Ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut. Kutipan jelasnya sebagai berikut: ”Bagi kami, cara untuk menghilangkan keragu-raguan ialah mengetahui bahwa keadaan ilmu qadim terhadap wujud, berbeda dengan keadaan ilmu baru terhadap wujud. Sebab adanya wujud tersebut menjadi sebab dan illat bagi ilmu kita, sedangkan ilmu qadim menjadi illat dan sebab bagi wujud. Jika wujud tersebut terjadi sesudah tidak ada, kemudian timbullah ilmu tambahan pada ilmu yang qadim, hal itu menjadi musabab (akibat) dari wujud, bukan menjadi illatnya. Dengan demikian, haruslah tidak bisa terjadi perubahan, seperti yang terjadi pada ilmu yang baru. Kesalahan ini datang dari pengiasan (mempersamakan) perkara yang gaib (Tuhan) dengan perkara yang nyata (manusia), sedangkan pengiasan semacam itu tidak benar. Sebagaimana pada diri pembuat tidak terjadi perubahan ketika perkara yang dibuatnya itu terjadi, yakni perubahan yang sebelumnya tidak ada, demikianlah pada ilmu qadim tidak perlu terjadi perubahan ketika perkara yang diketahuinya itu keluar darinya. Jadi, keragu-raguan telah dapat dihilangkan, dan kita tidak perlu memegangi pendirian bahwa apabila pada ilmu yang qadim tidak terjadi perubahan, artinya Tuhan tidak mengetahui perkara tersebut dengan ilmu yang baru, tetapi dengan ilmu yang qadim, karena adanya perubahan pada ilmu ketika terjadi perubahan pada perkara yang wujud, hanya menjadi syarat bagi ilmu yang diakibatkan (menjadi musabah) dari perkara yang wujud, bukannya tidak berhubungan sama sekali, seperti yang biasa dikatakan bahwa karena adanya keragu-raguan tersebut, filsuf-filsuf mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil...”23
Pernyataan diatas mengisyaratkan bahwa perlu ada pemetaan terhadap eksistensi Tuhan ketika dihadapkan pada realitas setelah alam ini terbentuk. Tuhan bukan berarti tidak tahu, tetapi juga bukan berarti Tuhan lepas tangan terhadap partikular. Ini semua bergantung pada cara melihat apakah partikular itu muncul setelah alam itu terbentuk atau sejak azali [dulu kalanya]. Ibnu Rusyd memisahkan pengetahuan Tuhan sejak azali dan pengetahuan alam itu dibentuk. Misalnya, Tuhan telah menentukan nasib seseorang sejak qidam, lalu apakah Tuhan juga menentukan proses nasib seseorang ketika seseorang itu sudah lahir. Gambaran ini tersurat dari ungkapan Ibnu Rusyd, sebagai berikut: “...keadaannya bukanlah seperti yang mereka pikirkan, melainkan filsuf-filsuf tersebut mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil dengan ilmu-baru, di mana syaratnya ialah kebaharuan ilmu itu dengan kebaharuannya peristiwa-peristiwa kecil tersebut, karena Tuhan menjadi sebab (illat) bagi peristiwa-peristiwa tersebut, bukan menjadi akibat (musabab) darinya, seperti halnya dengan ilmu-baru. Ini adalah penyucian yang setinggi-tingginya yang harus diakui, karena tuhan mengetahui segala sesuatu, karena keluarnya segala sesuatu tersebut, tidak lain karena kedudukan-Nya sebagai Dzat yang wujud saja, atau wujud dengan sifat tertentu, melainkan dari kedudukannya sebagai Dzat yang mengetahui.”
Menarik untuk dikutip di sini, tulisan Oliver Leaman yang mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan ajaran agama. Bahwa pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan pengetahuan; pengetahuan Tuhan dan manusia. Kutipan lengkapnya sebagai berikut: ”Tuduhan yang menarik ini semula timbul dari para filsuf membedakan antara pengetahuan kita dengan pengetahuan Tuhan. Dari sudut pandang agama, islam sangat jelas mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas dunia yang sementara ini. Seperti orang boleh menduga bahwa pengetahuan seperti itu adalah penting sekali untuk tindakan penentuan keputusan tentang nasib jiwa manusia setelah mati. Bagaimanapun juga, suatu pikiran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, kemudian setelah itu melupakannya bukanlah pikiran yang menarik bagi paham ortodok islam. Dapat saja ada sedikit keraguan, bagaimanakah pandangan Al-Qur’an tentang hakikat kekuasaan Tuhan [Qudrat. Pen]. Bahkan, tuhan mengetahui semua pemikiran-pemikiran “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Dia mengetahui setepatnya individu-individu baru yang dilahirkan.”24
Ringkasnya, dalam tulisan Harun Nasution,25 Ibnu Rusyd berpandangan bahwa Al-Ghazali salah paham karena kaum filsuf tidak pernah mengatakan yang demikian [lihat kutipan di atas]. Yang dikatakan kaum filsuf, menurut Ibnu Rusyd, ialah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil bentuk efek, sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya, pengetahuan manusia bersifat baru dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azal, Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, betapapun kecilnya.
BAB III
KESIMPULAN
Al-Ghazali merupakan salah seorang filsuf yang menolak pemikiran para Filosof Barat dan Filosof Islam, dikarenakan kebanyakan dari mereka memikirkan Allah dan kejadian alam ini hanya secara akal, karena menurut beliau itu sama saja dengan mengingkari kebesaran Allah sebagai Sang Pencipta.
Sementara Ibnu Rusyd beranggapan bahwa hendaknya umat islam jangan menolak mentah-mentah seluruh pemikiran mereka. Sebagai orang yang berpikir rasional Ibnu Rusyd menafsirkan agama dengan akal, namun bukan berarti beliau meninggalkan agama, lagi pula bukankah ratusan ayat Al-Qur’an berbicara tentang akal, filsafat dan kewajiban berpikir.
Jadi apabila sekarang ini orang mencoba memikirkan dengan akal mengapa umat islam mengizinkan perang, mengapa umat islam membolehkan seorang beristri lebih dari satu, mengapa umat islam berwudhu kembali setelah buang angin, mangapa umat islam membedakan wanita dengan laki-laki dalam hal menjadi saksi, tetapi dalam hal lain posisinya seimbang? Maka jawabannya sangat diterima akal, karena manusia memerlukan perang terhadap kedhaliman, umat islam menginginkan pertanggungjawaban terhadap besarnya jumlah wanita secara hukum bukan menyia-nyiakannya, umat islam sedang menghormati keberadaan transendentalnya shalat, kecuali kalau mengeluarkan kotoran lalu mengajarkan cara mencucinya, umat islam melakukan studi khusus wanita tentang emosi yang dimiliki kaum hawa ini. Jadi Ibnu Rusyd benar-benar mengajarkan islam secara akal.i
Di antara para tokoh filsafat terutama tokoh filsafat islam memang terdapat beberapa perbedaan penafsiran dalam memahami suatu kajian, ini merupakan suatu fenomena yang biasa terjadi, namun apabila dari pemikiran mereka terdapat pertentangan dengan paham-paham yang diajarkan agama, maka pemikiran tersebut akan langsung menjadi sorotan.
DAFTAR PUSTAKA
Dedi Supriyadi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Inu Kencana Syafiie. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung: Refika Aditama. Cetakan kedua.
Abdul Azis Dahlan. 2002. “Filsafat” dalam Ensikloped Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Cetakan ke-2. Jilid 4.
Atif Al-Iraqi. 1984. Al-Manhaj An-Naqdi fi falsafati Ibn Rusyd. Kairo: Dar Al-Ma’arif. Cetakan kedua.
Harun Nasution. 1973. Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ibnu Rusyd. 1959. Kitab Fashal Al-Maqal wa Taqrir ma baina Asy-Syari’ah wa Al-Hikmah min Al-Ittishal. [Editor: George Hourani] [Leiden] alih bahasa Hourani berjudul Avveroes on the Harmony of Religion and Philosophy. 1967. London.
M. M. Syarif [editor]. 1993. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan. Cetakan ketiga.
Massimo Companini. 2003. “Al-Ghazali” dalam Eksiklopedi Tematis Filsafat Islam. [editor: Seyyed Hosen Nasser & Oliver Leaman]. Bandung: Mizan.
Oliver Leman. “Ibnu Miskawih” dalam Eksiklopedi Tematis Islam. [editor: Seyyed Hosen Nasser]. Bandung: Mizan.
1 Atif Al-Iraqi, Al-Manhaj An-Naqdi fi Falsafati Ibn Rusyd, [Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1984], Cetakan kedua, hlm. 34-35.
2 Massimo Companini, “Al-Ghazali” dalam Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam [editor: Seyyed Hosen Nasser & Oliver Leaman] [Bandung: Mizan, 2003], hlm. 326.
4 Ibid., hlm. 59.
5 Ibid., hlm. 61
6 Ibid., hlm 62
7 Ibid., hlm. 62-63.
8 Ibid., hlm. 69.
9 Ibid., hlm. 70.
10 Ibid., hlm. 75-76.
11 Al-Ghazali, Al-Munqidz…., hlm. 76; lihat pula Oliver Leaman, Pengantar Filsafat…, Ibid., hlm. 129.
12 Yaufiq Yatuhl. Qishahtu Asy-Shira’ baina Ad-Din wa Al-Falsafah, [Kairo: Dar An-Nahdhah Al-Arabiyah, 1979], Cetakan ketiga, hlm. 125-126.
13 Ibnu Rusyd, Fashal Maqal wa Taqrir ma baina Asy-Syariah wa Al-Hikmah min Al-Ittishal, [London 1967] hlm. 18.
18 Al-Ghazali, Al-Munqidz ..., hlm. 76; Lihat pula Oliver Leaman, Pengantar Filsafat ..., Ibid., hlm. 129.
19 Ibnu Rusyd, Tahafut At-Tahafut, hlm. 343; lihat juga Oliver Leaman, Pengantar Filsafat..., Ibid., hlm. 147.
20 Ibnu Rusyd, Ibid., hlm. 350
21 Lihat pembahasan panjang Oliver Leaman, Pengantar Filsafat..., Ibid., hlm. 129-160
22 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, [Jakarta: Bachtiar van Hoeve, 2002], cetakan kedua, hlm. 210
23 Ibnu Rusyd, Fashal Maqal.
24 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat..., Ibid., hlm. 161.
25 Harun Nasution, Filsafat..., Ibid., hlm. 53.
i Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, [Bandung: Refika Aditama, 2007], cetakan kedua, hlm. 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar