A.
FENOMENA
Pertanyaan pertama yang pasti muncul ketika melihat
hasil hitung cepat Pilkada DKI Jakarta adalah mengapa Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama bisa mengungguli Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang didukung
mayoritas partai politik?
Mengapa pilihan yang telah dibuat elite partai tak
selalu diikuti oleh pendukungnya di akar rumput? Pertanyaan ini diikuti
serangkaian pertanyaan yang lain, seperti, mengapa muncul euforia untuk
memilih, terutama di kalangan kelas menengah dan anak-anak muda? Apa yang
mereka sedang inginkan? Apakah ini sebuah harapan di tengah menguatnya sentimen
antipartai? Dan, apakah antusiasme warga datang ke tempat pemungutan suara
(TPS) jadi paradoks di tengah meningkatnya angka voter turn-out dari pemilu ke
pemilu?
Pilkada DKI sekali lagi pelajaran berharga bagi parpol
bahwa pilihan yang dibuat elite partai tak serta-merta kongruen dengan pilihan
pendukung di akar rumput. Kalau hanya mengandalkan hitungan matematika politik,
Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli (Foke-Nara) pasti di atas angin karena didukung
semua
parpol, termasuk partai peraih suara terbesar di DKI dalam Pemilu 2009.
Namun, kenyataannya berbeda. Joko
Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki) yang hanya didukung PDI-P dan
Gerindra bisa memenangkan pertarungan putaran kedua. Fenomena ini
memperlihatkan dalam Pilkada DKI bahwa dukungan partai bukan satu-satunya
faktor penentu perilaku memilih.
Faktor lain yang turut menentukan adalah
isu yang dieksploitasi dan diangkat oleh kandidat ke ruang publik melalui
iklan, yang membangkitkan keinginan pemilih untuk terlibat. Karena, isu yang
dimunculkan adalah isu yang menyentuh sentimen pemilih, baik dari soal kesamaan
etnis, agama, maupun penilaian atas kondisi jakarta.
B.
ANALISIS
Terdapat pertarungan wacana yang menarik
dalam tiap iklan yang diangkat oleh masing-masing kandidat. Yakni menyangkut
isu “perubahan vs keberhasilan”. Wacana ”perubahan” sesungguhnya sudah mulai
muncul ke permukaan pada putaran pertama. ”Perubahan vs keberhasilan” merupakan
kontestasi wacana yang mampu mengundang keterlibatan banyak kalangan karena
berkaitan dengan evaluasi atas kepemimpinan dan kinerja petahanan. Dalam
putaran pertama, isu ”perubahan” telah jadi agenda setting dari semua kandidat
non Foke-Nara. Dalam kurun waktu itu, semua kandidat tanpa kecuali ”menyerang”
tajam performa kepemimpinan dan kebijakan petahanan.
Sebagian besar kandidat non Foke-Nara
juga mengusung berbagai agenda perubahan sebagai antitesa kebijakan yang telah
diambil petahanan. Jokowi-Basuki juga memakai strategi sama dan bahkan dalam
perkembangan berikutnya di putaran kedua, Jokowi ditempatkan sebagai
simbolisasi kepemimpinan alternatif untuk perubahan itu.
Penyusunan agenda isu perubahan Jakarta
inilah yang berhasil menarik perhatian kalangan kelas menengah kritis dan
anak-anak muda sehingga mereka tak mengambil posisi non-voting (golput) dan mau
jadi bagian dari upaya aksi voluntarisme untuk memenangkan kandidat alternatif
di luar petahanan. Hasil survei LSI dan Tempo memperlihatkan segmen pendukung
Jokowi-Basuki yang sebagian besar dari kalangan kelas menengah ke atas. Besar
kemungkinan tambahan suara Jokowi-Basuki dalam putaran kedua juga berasal dari
para pemilih kelompok menengah kritis yang pada putaran pertama mendukung
kandidat non Foke-Nara.
Masih melalui iklan, dalam perkembangan
berikutnya, isu perubahan coba ditandingi oleh pasangan Foke-Nara dengan
menonjolkan wacana keberhasilan kinerja pemerintahan petahanan. Bahkan, sampai
hari-hari terakhir menjelang pencoblosan, kita masih bisa menyaksikan
iklan-iklan layanan masyarakat berbagai terobosan petahanan dalam memberikan
pelayanan publik yang lebih baik kepada warganya. Namun, sepertinya kalangan
kelas menengah kritis tidak terlalu terpengaruh dengan wacana tanding itu.
Selain itu, loyalitas dukungan pemilih kelompok
menengah kritis pada pasangan Jokowi-Basuki membuat penggunaan isu suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA) tak sepenuhnya efektif untuk mengalihkan dukungan
dari Jokowi. Meski penggalangan isu agama dilakukan sangat gencar menjelang
putaran kedua, isu itu hanya bisa menyentuh beberapa segmen pemilih tertentu.
Pada pemilih Foke-Nara, faktor isu agama jadi faktor
utama sehingga mereka mendukung kandidat itu lebih karena kesamaan agama yang
dianut. Sebaliknya, pada pemilih Jokowi-Basuki, faktor isu agama tak dominan.
Orientasi pemilih lebih banyak ditentukan oleh profil Jokowi yang dinilai
merakyat dan isu-isu perubahan.
Dalam konteks menguatnya wacana perubahan itu,
akhirnya Jokowi-Basuki berhasil merebut suara sebagian besar dari suara
mengambang yang belum menentukan pilihan menjelang hari pemungutan suara. Dari
survei LSI dan Tempo misalnya, jumlah undecided voters ini tak terlampau besar,
yakni 9,7 persen. Namun, pada hari pemungutan suara, undecided voters
memutuskan datang memberikan suara ke TPS. Dari kecenderungan perolehan suara,
besar kemungkinan para pemilih mengambang ini akhirnya memberikan suaranya ke
Jokowi-Basuki. Ini pertanda mereka menginginkan figur alternatif yang
diharapkan membawa perubahan. Harapan yang besar itu sekaligus pertanda beban
berat sedang diletakkan di pundak Jokowi-Basuki.
C.
RESPONS
Menggunakan
iklan sebagai media untuk mempromosikan diri merupakan cara yang tepat yang
dilakukan oleh masing-masing kandidat. Mengingat di Indonesia, hampir sebagian
besar masyarakatnya merupakan konsumen media, terutama media televisi.
Salah
satu sifat dari iklan yang harus ada di dalamnya adalah menarik. Karenanya
iklan masing-masing kandidat dikemas dengan semenarik mungkin, dan lebih
menonjolkan pada kinerjanya, baik yang telah dilakukan, maupun yang akan
dilakukan ketika menjabat nanti.
Dalam
iklan Jokowi, terlihat yang ditonjolkan adalah keinginannya untuk melakukan
perubahan terhadap Jakarta. Sedang dalam iklan Fauzi, lebih menonjolkan pada
keberhasilan secara bertahap yang dilakukannya dalam memperbaiki jakarta.
Sasaran
Jokowi yang ditujukan pada rakyat menengan ke bawah, membuat iklan menjadi
begitu tepat untuk ajang promosi. Karena tidak sedikit dari masyarakat kelas
menengah ke bawah yang menikmati media televisi. Berbeda dengan masyarakat
kelas atas yang konsumsi media televisinya tidak terlalu tinggi, kecuali untuk
menikmati acara news atau semacamnya. Sehingga, tidak heran jika Jokowi
berhasil memenangkan pilkada putaran kedua. Ditambah dalam salah satu iklan Fauzi
Bowo yang lebih menonjolkan sifat keagamaannya, yakni islam, yang turut
mempengarui suara pemilih. Karena dalam iklan, ketika objek yang menjadi
sasaran itu luas sifatnya, yakni terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan
ras, seharusnya sikap yang lebih menonjolkan salah satu agama seperti itu
dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar