Jumat, 08 Februari 2013

ANALISIS PILKADA DKI PUTARAN KE II (FOKE – JOKOWI) DALAM PERSPEKTIF EKONOMI MEDIA



A.           FENOMENA
Pertanyaan pertama yang pasti muncul ketika melihat hasil hitung cepat Pilkada DKI Jakarta adalah mengapa Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama bisa mengungguli Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang didukung mayoritas partai politik?
Mengapa pilihan yang telah dibuat elite partai tak selalu diikuti oleh pendukungnya di akar rumput? Pertanyaan ini diikuti serangkaian pertanyaan yang lain, seperti, mengapa muncul euforia untuk memilih, terutama di kalangan kelas menengah dan anak-anak muda? Apa yang mereka sedang inginkan? Apakah ini sebuah harapan di tengah menguatnya sentimen antipartai? Dan, apakah antusiasme warga datang ke tempat pemungutan suara (TPS) jadi paradoks di tengah meningkatnya angka voter turn-out dari pemilu ke pemilu?
Pilkada DKI sekali lagi pelajaran berharga bagi parpol bahwa pilihan yang dibuat elite partai tak serta-merta kongruen dengan pilihan pendukung di akar rumput. Kalau hanya mengandalkan hitungan matematika politik, Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli (Foke-Nara) pasti di atas angin karena didukung semua parpol, termasuk partai peraih suara terbesar di DKI dalam Pemilu 2009.
Namun, kenyataannya berbeda. Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki) yang hanya didukung PDI-P dan Gerindra bisa memenangkan pertarungan putaran kedua. Fenomena ini memperlihatkan dalam Pilkada DKI bahwa dukungan partai bukan satu-satunya faktor penentu perilaku memilih.
Faktor lain yang turut menentukan adalah isu yang dieksploitasi dan diangkat oleh kandidat ke ruang publik melalui iklan, yang membangkitkan keinginan pemilih untuk terlibat. Karena, isu yang dimunculkan adalah isu yang menyentuh sentimen pemilih, baik dari soal kesamaan etnis, agama, maupun penilaian atas kondisi jakarta.
B.            ANALISIS
Terdapat pertarungan wacana yang menarik dalam tiap iklan yang diangkat oleh masing-masing kandidat. Yakni menyangkut isu “perubahan vs keberhasilan”. Wacana ”perubahan” sesungguhnya sudah mulai muncul ke permukaan pada putaran pertama. ”Perubahan vs keberhasilan” merupakan kontestasi wacana yang mampu mengundang keterlibatan banyak kalangan karena berkaitan dengan evaluasi atas kepemimpinan dan kinerja petahanan. Dalam putaran pertama, isu ”perubahan” telah jadi agenda setting dari semua kandidat non Foke-Nara. Dalam kurun waktu itu, semua kandidat tanpa kecuali ”menyerang” tajam performa kepemimpinan dan kebijakan petahanan.
Sebagian besar kandidat non Foke-Nara juga mengusung berbagai agenda perubahan sebagai antitesa kebijakan yang telah diambil petahanan. Jokowi-Basuki juga memakai strategi sama dan bahkan dalam perkembangan berikutnya di putaran kedua, Jokowi ditempatkan sebagai simbolisasi kepemimpinan alternatif untuk perubahan itu.
Penyusunan agenda isu perubahan Jakarta inilah yang berhasil menarik perhatian kalangan kelas menengah kritis dan anak-anak muda sehingga mereka tak mengambil posisi non-voting (golput) dan mau jadi bagian dari upaya aksi voluntarisme untuk memenangkan kandidat alternatif di luar petahanan. Hasil survei LSI dan Tempo memperlihatkan segmen pendukung Jokowi-Basuki yang sebagian besar dari kalangan kelas menengah ke atas. Besar kemungkinan tambahan suara Jokowi-Basuki dalam putaran kedua juga berasal dari para pemilih kelompok menengah kritis yang pada putaran pertama mendukung kandidat non Foke-Nara.
Masih melalui iklan, dalam perkembangan berikutnya, isu perubahan coba ditandingi oleh pasangan Foke-Nara dengan menonjolkan wacana keberhasilan kinerja pemerintahan petahanan. Bahkan, sampai hari-hari terakhir menjelang pencoblosan, kita masih bisa menyaksikan iklan-iklan layanan masyarakat berbagai terobosan petahanan dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada warganya. Namun, sepertinya kalangan kelas menengah kritis tidak terlalu terpengaruh dengan wacana tanding itu.
Selain itu, loyalitas dukungan pemilih kelompok menengah kritis pada pasangan Jokowi-Basuki membuat penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tak sepenuhnya efektif untuk mengalihkan dukungan dari Jokowi. Meski penggalangan isu agama dilakukan sangat gencar menjelang putaran kedua, isu itu hanya bisa menyentuh beberapa segmen pemilih tertentu.
Pada pemilih Foke-Nara, faktor isu agama jadi faktor utama sehingga mereka mendukung kandidat itu lebih karena kesamaan agama yang dianut. Sebaliknya, pada pemilih Jokowi-Basuki, faktor isu agama tak dominan. Orientasi pemilih lebih banyak ditentukan oleh profil Jokowi yang dinilai merakyat dan isu-isu perubahan.
Dalam konteks menguatnya wacana perubahan itu, akhirnya Jokowi-Basuki berhasil merebut suara sebagian besar dari suara mengambang yang belum menentukan pilihan menjelang hari pemungutan suara. Dari survei LSI dan Tempo misalnya, jumlah undecided voters ini tak terlampau besar, yakni 9,7 persen. Namun, pada hari pemungutan suara, undecided voters memutuskan datang memberikan suara ke TPS. Dari kecenderungan perolehan suara, besar kemungkinan para pemilih mengambang ini akhirnya memberikan suaranya ke Jokowi-Basuki. Ini pertanda mereka menginginkan figur alternatif yang diharapkan membawa perubahan. Harapan yang besar itu sekaligus pertanda beban berat sedang diletakkan di pundak Jokowi-Basuki.
C.           RESPONS
Menggunakan iklan sebagai media untuk mempromosikan diri merupakan cara yang tepat yang dilakukan oleh masing-masing kandidat. Mengingat di Indonesia, hampir sebagian besar masyarakatnya merupakan konsumen media, terutama media televisi.
Salah satu sifat dari iklan yang harus ada di dalamnya adalah menarik. Karenanya iklan masing-masing kandidat dikemas dengan semenarik mungkin, dan lebih menonjolkan pada kinerjanya, baik yang telah dilakukan, maupun yang akan dilakukan ketika menjabat nanti.
Dalam iklan Jokowi, terlihat yang ditonjolkan adalah keinginannya untuk melakukan perubahan terhadap Jakarta. Sedang dalam iklan Fauzi, lebih menonjolkan pada keberhasilan secara bertahap yang dilakukannya dalam memperbaiki jakarta.
Sasaran Jokowi yang ditujukan pada rakyat menengan ke bawah, membuat iklan menjadi begitu tepat untuk ajang promosi. Karena tidak sedikit dari masyarakat kelas menengah ke bawah yang menikmati media televisi. Berbeda dengan masyarakat kelas atas yang konsumsi media televisinya tidak terlalu tinggi, kecuali untuk menikmati acara news atau semacamnya. Sehingga, tidak heran jika Jokowi berhasil memenangkan pilkada putaran kedua. Ditambah dalam salah satu iklan Fauzi Bowo yang lebih menonjolkan sifat keagamaannya, yakni islam, yang turut mempengarui suara pemilih. Karena dalam iklan, ketika objek yang menjadi sasaran itu luas sifatnya, yakni terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan ras, seharusnya sikap yang lebih menonjolkan salah satu agama seperti itu dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar