The
Name of Book “Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam
Proses Demokratisasi di Indonesia. Karya Idi Subandy Ibrahim”
Bab
I: TV Hedonis, “Makanan Surga” dari Hollywood
Menurut
Prof. Quentin J. Schultze, Guru Besar Seni dan Ilmu Komunikasi dari Calvin
College, AS, “Televisi adalah makanan surga dari Hollywood!” TV dipandang telah
menjelma lebih dari sekedar produk teknologi, tetapi ia juga adalah suatu
“bentuk budaya”.
Sebagai
bentuk budaya dan dengan karakter budaya visualnya, kehadiran TV telah membawa
konsekuensi-konsekuensi budaya yang mendalam. Kehadirannya senantiasa membawa
kontroversi. TV dipuja dan sekaligus dikecam. Tak jarang pula ia digunakan oleh
rezim otoriter sebagai corong propaganda dan dikuasai oleh segelintir elit
penguasa dan pengusaha untuk menjaga citra dirinya di mata publik dan sebagai
aparatus “public relation” (PR) untuk menjaga kepentingan citra kekuasaan
bisnisnya. Sebagaimana perkembangan terkini yang menunjukkan bahwa para
politisi di tanah air sudah mulai berbondong-bondong memanfaatkan potensi
televisi sebagai media kampanye dan iklan politik.
Melihat
kilas balik sejarah perkembangan industri TV di Tanah Air, terutama dalam
sepuluh tahun setelah kemunculan TV Swasta, sebetulnya telah terjadi pergeseran
yang mendasar dalam budaya simbolik dari Orde Baru ke Pasca Orde Baru.
Tembok
kekuasaan Orde Baru begitu kokoh sebelum tahun 1990-an. Kala itu, TVRI menjadi
media satu-satunya yang corong propaganda dan sebagai media ritualisme
pernyataan pejabat serta acara seremonial negara.
Setelah
Orde Baru runtuh, muncullah reformasi politik informasi yang lebih memberikan
suara bagi rakyat dan terbukalah ruang publik bagi suara-suara alternatif yang
memberdayakan wacana politik masyarakat.
Berawal
dari kasus ini, yakni memudarnya dominasi TVRI di mata masyarakat, pergeseran
budaya simbolik pun mulai terjadi. Pergeseran yang tampak menyolok adalah
proses “ideologisasi” TV yang semula secara sadar dilakukan rezim Orde Baru
telah digantikan oleh proses “kapitalisasi” TV yang secara tidak sadar
dilakukan rezim-rezim pasca Orde Baru. Secara simbolik, kita menyaksikan kini
kian menguatnya “TV hedonis” menggantikan “TV ideologis”. Berikut gambaran
perbedaan antara TV ideologis dan TV hedonis:
TV ideologis
|
TV hedonis
|
|
|
Dari
gambaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, TV ideologis mengajarkan budaya
arifmatif dan konformistik. Sedang TV hedonis menganjurkan budaya pemisif dan
konsumtif.
Gaya
hidup yang hedonis, banyak dikenalkan oleh program-progam TV dengan mengajarkan
moralitas hedonistik yang begitu menawan melalui karakter-karakter fantasinya.
Mereka menawarkan hidup yang serba mewah, wah, kemilau, dan menyenangkan.
Dengan demikian, siapakah yang tidak akan terlena oleh godaan figur-figur
simbolik di TV yang menawarkan aroma “santapan surga” dari Hollywood ini?
Sesaat
setelah terjadi lubernya informasi hedonistik yang ditayangkan setiap hari
lewat TV, fenomena desensitisasi dan masyarakat “mati rasa” pun akan muncul.
Hal ini membuat masyarakat kian merosot dan tumpul sensitivitas atau kepekaannya
terhadap kenyataan.
Satu
contoh, ketika seseorang menyaksikan tindakan antisosial secara berulang-ulang
akan lebih memungkinkan mereka melakukan tindakan ini dalam kehidupan nyata.
Kemudian terjadilah fenomena “desensitisasi”, yakni orang yang banyak diekspos
oleh informasi atau citra kekerasan dan tindakan antisosial akan menjadi kurang
cemas akan akibatnya. Dia menjadi masyarakat yang “mati rasa”.
Akhirnya,
bersama budaya simbolik yang dibawa TV, masyarakat tengah melahirkan sebuah
generasi yang belajar menghubungkan citra dan informasi kekerasan, penderitaan,
dan kemiskinan dengan kesenangan. Karena terus-menerus dijejali dengan
informasi seperti itu, lambat laun hati pun mengeras dan menumpul. Sehingga,
empati terhadap korban, rasa sakit, dan penderitaan pun mulai memudar.
Bab
II: Krisis Demokrasi dan Komodifikasi Budaya di Televisi
Proses
komodifikasi budaya mulai terjadi ketika iklan yang semula dimaksudkan hanya
sekedar untuk menginformasikan produk terbaru dari sebuah lembaga/perusahaan,
ternyata dalam prosesnya telah berubah menjadi wahana pencitraan, pengemasan,
perekayasaan, atau katakanlah di situ sedang berlangsung proses “estetisasi”
produk barang atau “estetika komoditas” via media. Realitas benda atau produk
yang dimediakan menjadi realitas simbolik dan citra tentang komoditas. Bahkan
realitas komoditas itu dikonstruksi sedemikian rupa seolah-olah “lebih real
daripada yang real”, atau bahkan menjadi “realitas baru” di luar realitas benda
atau produk yang direpresentasikannya.
Melalui
proses estetika komoditas, luberan informasi sarat kekerasan yang muncul lewat
film atau genre-genre program televisi lainnya juga berubah menjadi “estetika
kekerasan” yang pada gilirannya menjelma menjadi “kekerasan estetika” itu
sendiri. Dan, “komoditas kekerasan” di televisi pun berubah menjadi sebentuk
“kekerasan komoditas”. Seperti halnya tayangan perkara kriminalitas, teror, dan
sadisme yang marak di layar televisi akhir-akhir ini seolah-olah sedang dikondisikan
menjadi hiburan sehari-hari. Informasi kriminalitas dan kekerasan pun telah
menjadi santapan pagi, pengisi waktu luang, dan tontonan di tengah malam.
Akhirnya, masyarakat pun menjelma menjadi masyarakat yang tercelup dalam budaya
kekerasan.
Tak
heran, kalau kemudian televisi tidak hanya dianggap mampu memotret dan
memediakan isu-isu yang berkenaan dengan demokrasi, tapi ternyata TV juga bisa
ikut berperan dalam menciptakan krisis demokrasi.
Teknologi
pencitraan via televisi pun telah dimanfaatkan secara optimal untuk
melegitimasi praktik kekerasan dan kekerasan dijadikan tontonan, yang pada
akhirnya semakin menunjukkan bahwa demi keuntungan segalanya bisa dikorbankan.
Pertanyaan
yang muncul kemudian: Apakah TV sebagai media elektronik sama sekali tiak bisa
berperan sebagai sekurang-kurangnya bagian dari institusi masyaraat sipil yang
memberikan bobot bagi daya hidup kritisme atau sebagai media pemekaran
benih-benih budaya demokrasi? Gagasan “demokrasi elektronik”, yakni pemanfaatan
semaksimal mungkin media komunikasi elektronik untuk mendukung tujuan-tujuan
demokrasi atau penguat saluran aspirasi masyarakat melalui media elektronik –
sebagai salah satu institusi masyarakat yang penting – sesunggunya masih amat
terbuka lebar.
Bagaimanapun,
TV sebenarnya masih bisa berperan sebagai agen perubahan atau sumber informasi
yang penting bagi penguatan cita-cita demokrasi. Ada beberapa peran yang bisa
dimainkan. Di satu sisi, ia bisa menjadi saluran partisipasi masyarakat untuk
menyuarakan tuntutan publik atas kebijakan pemerintah yang dinilai bertentangan
dengan cita-cita demokrasi. Di sisi lain, ia juga bisa menjadi rujukan bagi
pemerintah untuk mengambil keputusan penting atau menentukan kebijakan krusial
yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini bisa dilakukan dengan
jalan mengembangkan budaya TV yang akan menumbuhkan seluas-luasnya kapasitas
medium elektronik in untuk menjadi pilar demokrasi elektronik. Misalnya dalam
dunia sinetron, sudah saatnya muatan sineron untuk masa-masa yang akan datang
mulai mengangkat tema-tema yang bersumber dari memotret kehidupan masyarakat
yang selama ini jarang diperhitungkan.
Bab
III: Krisis Kultural di Abad Televisi
Secara
universal telah disepakati oleh pakar komunikasi bahwa TV berfungsi dalam
mendifusikan informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi, yang notabene
sudah dipenuhi oleh hampir semua stasiun TV. Namun kita juga melihat kenyataan,
walaupun semua fungsi universal tersebut sudah dipenuhi, ternyata masih ada
fungsi lain yang sering (mungkin tidak disadari) diabaikan atau dilecehkan.
Dalam hal ini fungsi khas nasional Indonesia yang memberikan basis dan landasan
kultural atau “benteng budaya” belum menjadi kenyataan.
Dalam
kaitan dengan hal ini, TV justru telah menjadi biang keladi dari “krisis
kultural” zaman kita. Krisis kebudayaan yang dialami oleh negara-negara yang
secara industrial dan teknologis maju justru sebagian besar disebabkan kriteria
budaya tradisional yang bersumber dari agama langit telah bergeser dan
terus-menerus dipermak dan digerus oleh rembesan pesan-pesan media yang sering
kali tidak sejalan dengan kepentingan mayoritas penduduk hingga menjadi
konsumen dari “budaya kemasan TV”.
Di
sini muncul ironi, di satu sisi, masyarakat menuntut agar stasiun TV mengurangi
tayangan yang berwajah seks, sadisme, atau kekerasan, tapi di sisi lain,
tayangan keagamaan hanya ditonton oleh 3% dari pemirsa. Sementara genre
tanyangan lain seperti iklan, film, dan sinetron justru semakin mempercanggih
diri lewat trik-trik mutakhir yang ditopang oleh perlengkapan teknologi
komunikasi yang sedemikian canggih.
Barangkali
salah satu penyebab krisis budaya yang memilukan di zaman media ini adalah
bahwa sebagian besar paket acara media massa, khususnya TV, justru masih
didominasi oleh hiburan yang berkolusi dengan cengkeraman gurita kepentingan
politik-bisnis. Ini dibuktikan sebagian besar acara TV kita masih mengandalkan
acara-acara dari luar negeri. Sementara acara dari dalam negeri biasanya
cenderung mereduksi tontonan menjadi dagelan-dagelan konyol, kuis, atau
sinetron dengan bumbu pesona gemerlap kemewahan kelas menengah atas atau
hidangan pokok erotisme yang masih kental.
Krisis
kebudayaan yang mengakibatkan perubahan watak informasi yang ditayangkan TV,
ternyata turut menjadi akar krisis identitas yang menampilkan fragmentasi dalam
kehidupan. Fragmentasi itu tampil dalam bentuk pudarnya sikap kepedulian,
semangat kerja sama, dan rasa memiliki sebuah komunitas yang di dalamanya umat
merangkai mozaik kehidupan dan menjalin kasih dengan sesama. Sementara, logika
untung-rugi menjadi basis perhitungan hubungan sosial, sehingga universum
kehidupan mesti dikemas dalam paket-paket bisnis yang menjadi basis
rasionalitas instrumental.
Dalam
keadaan demikian, muncullah krisis yang lebih mendalam lagi yakni “krisis
makna”. Krisis ini ditandai oleh penyelewengan komitmen etis dari bingkai
kehidupan yang semula bermuara dari nilai-nilai spiritual tertinggi yang
melahirkan kebenaran. Komitmen etis yang menjadi kerangka acuan nilai dan
emosional direduksi dan disubordinasikan sedemikian rupa sehingga nilai-nilai
agama ditempatkan pada bagian pinggiran dari keprihatinan zaman ini. Agama yang
menyajikan struktur makna yang jangkauannya melampaui komitmen politik menjadi
tidak terkait dengan kenyataan yang ada. Tataran sekuler pun yang menemukan
basis pembenaran politik bisnisnya terus diperkisruh oleh tayangan TV. Seks dan
sekularisme menjadi sarana baru serangan terhadap kesaklaran dalam kehidupan
manusia modern.
Melalui
media TV, pengalaman-pengalaman hidup yang sungguh diselami dan nyata diredusir
menjadi gambar-gambar tayangan. Dampak keseluruhannya adalah retaknya segala
bentuk kesatuan, keengganan untuk terlibat, dan matinya daya rasa serta
kemampuan untuk menilai dan menyelami makna menjadi tumpul. Seiring dengan itu,
proses politik diubah-ubah bentuknya dan diasingkan dari masyarakat oleh dampak
pesan-pesan politik yang dipaketkan melalui figur-figur politik yang
dibuat-buat.
Oleh
karena itu, langkah kecil yang bisa ditempuh apabila memang berniat mengurangi
kemungkinan adanya penindasan yang lebih besar pada abad ke-21 ini, bahwa
masyarakat harus belajar untuk mengembangkan saluran-saluran yang tidak
diracuni dan kurang bersifat manipulatif bagi informasi, partisipasi, dan aksi
politik.
Bab
IV: “Panik Media” dan Krisis Sebagai Tontonan
Menggunakan
pendapat dari para pemikir postmodernis, yang mengatakan bahwa disadari atau
tidak akan selalu ada perusahaan media yang ikut berperan langsung atau tidak
dalam menjadikan krisis sebagai komoditas. Oleh karena itu, media saat ini
telah tampil sebagai “lubang hitam” yang menampung dan memuntahkan segala hal
ke dalam benak khalayak.
Analisis
historis dari Kristen Drotner, profesor studi media asal Denmark, tentang
“kepanikan terhadap media” setidaknya bisa memberikan perspektif baru untuk
memahami fenomena media. Dalam pandangan Drotner, kehadiran media baru
senantiasa menimbulkan kepanikan bagi media lama. Dalam konteks tanah air
misalnya, ketika muncul Televisi swasta, media cetak gelisah soal tersedotnya
porsi pembagian iklan, orang pers juga meratapi soal penurunan tiras, dan dunia
penerbit terus menangisi miskinnya minat baca. Akan tetapi, ketika muncul
internet, reaksinya berbeda-beda. Ada koran yang justru melakukan sinergi
sehingga menjadi kekuatan, yakni dengan cara membuka koran on-line, di
samping koran tercetak.
Itu
artinya kepanikan para pengelola media sesungguhnya tidak hanya karena
kemunculan jenis media yang lebih baru, tetap justru pada persaingan antarmedia
sejenis dalam menggali fakta yang dianggap paling eksklusif dan memikat
perhatian khalayak. Tak heran, seiring dnegan maraknya demonstrasi, kerusuhan,
kekerasan, dan konflik antaretnis, antaragama, antaraliran dalam suatu agama
seperti yang sering terjadi, maka akan muncul pula media yang menjadi
representasi yang paling absurd sebagai “lubang hitam” krisis. Yakni, media
yang menganggap krisis tak lebih sebagai isu yang “seksi” untuk dipentaskan.
Mereka memanfaatkan “kekuatan simbolik” media bukan sebagai ajang untuk
menumbuhkan saling pengertian, tetapi justru mengangkat sikap kekanak-kanakan
bangsa ini, seperti sikap saling tuding dan saling tuduh serta pertengkaran
emosional antarelit politik, saling curiga, bahkan saling bantai ataretnis,
sikap primordialisme dan sektarianisme sempit dan alienasi politik yang begitu
kelam ke dalam ruang publik.
Ketika
krisis yang demikian menjadi tontonan, kekuatan pers, seperti halnya tiga
kekuatan lainnya (eksekutif, yudikatif, dan legislatif), pun turut menjadi
pedang bermata ganda. Di satu sisi, ia bisa menjadi ruang publik untuk
memekarkan gagasan yang beragam untuk membentuk masyarakat yang plural, tetapi
di sisi lain, ia juga bisa mematikan benih bagi pembentukan masyarakat madani.
Pendeknya,
pers itu sendiri mengandung dualisme di dalam watak informasinya. Ia bisa
menghibur, tetapi sekaligus juga bisa menebar benih-benih horor dan teror ke
benak khalayaknya. Ini barangkali, selain disebabkan oleh kerangka ideologi
yang memengaruhi watak pemberitaan institusi pers itu sendiri, juga oleh
perubahan karakter khalayak itu sendiri.
Maka
tak heran, disadari atau tidak, tak jarang pula media merekonstruksi
fakta-fakta sosial seperti konflik, kerusuhan, kekerasan, atau demostrasi
menjadi wacana dan teks media yang lebih menonjolkan nuansa liburannya daripada
informasinya.
Lebih
dari itu, yang sering kurang disadari juga, di satu pihak, pers bisa
menganagkat fakta sosial menjadi “hiburan” bagai suatu
kelompok/golongan/agama/etnis tertentu, tetapi di lain pihak, ia justru menjadi
semacam “horor” atau “teror” yang mungkin bisa mengendapkan rasa permusuhan dan
kebencian bagi kelompok/golongan/agama/etnis yang lain.
Media
sebagai capitalist enterprises akan senantiasa memanfaatkan setiap celah
dan peluang yang ada untuk mengangkat kejadian terkini ke ruang publik sebagai
komoditas berita. Di sini bertemulah dua kepentingan, yakni antara kepentingan media
untuk meraih keuntungan dengan kepentingan khalayak untuk memperoleh informasi
dan hiburan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar