Selasa, 12 Februari 2013

Karakteristik Dan Ideologi Sistem Komunikasi Indonesia



Berdasarkan perspektif ideologi, Sistem Komunikasi Indonesia dapat juga di sebut Sistem Komunikasi Pancasila yang sangat berbeda dengan Sistem Komunikasi Otoritarian, Sistem Komunikasi Libertarian, Sistem Komunikasi Komunis, dan sstem komunikasi lainnya.
A.           Sistem Komunikasi Pancasila
Penyebutan Sistem Komunikasi Indonesia sebagai Sistem Komunikasi Pancasila telah sejalan dengan penyebutan Sistem Pers Pancasila, Sistem Perfilman Pancasila dan Sistem Penyiaran Pancasila. Hal itu menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi resmi Negara Republik Indonesia telah diaplikasikan dan diaktualisasikan dalam Sistem Komunikasi Indonesia. Dengan demikian, Sistem Komunikasi Indonesia sebagai Sistem Komunikasi Pancasila memiliki muatan yang berat tentang nilai-nilai (values) dan bobot ideologi karena pers, perfilman, dan penyiaran sebagai lembaga sosial dan media massa berorientasi, bersikap, dan berperilaku berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Hal itu emmberi gambaran penekanan pada ranah atau domain afektif yang sangat tajam yang berkaitan erat dengan agama, etika, dan moral.
1.             Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai religius yang termuat dalam Pancasila, terutama pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dimaksudkan agar politik negara mendapatkan dasar moral yang kuat. Sila Ketuhanan YME tidak hanya bermakna sebagai dasar hormat menghormati agama masing-masing, tetapi juga menjadi dasar untuk memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, dan persaudaraan antara manusia dan bangsa.
Sebagai  aplikasi dan aktualisasi dari kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan YME itu, dalam setiap undang-undang, termasuk UU Pers, UU Perfilman, dan UU Penyiaran yang disahkan atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia dengan Presiden Republik Indonesia, selalu terdapat kalimat pembuka, “Atas Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa”. Hal yang sama juga terjadi dalam setiap Peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan lainnya yang dibentuk atau diterbitkan oleh negara. Dengan demikian segala peraturan perundang-undanngan dan ketentuan lainnya dalam Sistem Komunikasi Indonesia yang berwawasan keindonesiaan itu senantiasa mengandung nilai-nilai agama, moral, dan etika sebagai aplikasi dan aktualisasi dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu.
Dilihat dari perspektif etika penyebutan diri sebagai Pers Pancasila bagi Pers Indonesia oleh Dewan Pers (1984), yang beranggotakan insan pers ditambah unsur masyarakat (ulama, pendidik, akademisi) dan unsur pemerintah, merupakan suatu bentuk kesadaran etika mereka, terhadap adanya nilai-nilai etika bangsa terutama yang bersumber dari sila Ketuhanan YME. Kesadaaran etika yang seperti itu dijabarkan dalam kode etik jurnalistik dan kode etik lain dari organisasi wartawan atau organisasi jurnalistk yang ada di Indonesia.
Kesadaran etik tersebut diaplikasikan dalam Sistem Komunikasi Indonesia, yang diselenggarakan Pancasila dan UUD 1945, terutama yang terkait dengan sila Ketuhanan YME, dalam bentuk pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran, sebagai aplikasi dan aktualisasi dari arah penyiaran, yang terkandung dalam rumusan Undang-Undang Penyiaran 2002 (Pasal 5), yaitu menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa. Rumusan tentang Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung juga dalam konsederans Undang-Undang Penyiaran 2002 (butir e), yaitu bahwa penyelenggaraan penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribaian, dan kesatuan bangsa yag berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam Undang-Undang Perfilman 2009 (Pasal 2 butir a) disebutkan dengan jelas bahwa perfilman berasaskan Ketuhana yang Maha Esa. Hal itu dimaksudkan bahwa dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, perfilman harus menempatkan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai Maha Suci, Maha Agung, dan Maha Pencipta. Hal itu kemudian dijabarkan dalam kode etik yang dimiliki oleh organisasi insan perfilman Indonesia.
Dalam upaya mengaplikasikan dan mengakualisasikan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Sistem Komunikasi Indonesia yang dapat juga disebut sebagai Sistem Komunikasi Pancasila, senantiasa mengandung substansi atau rumusan tentang iman dan takwa (kepada Tuhan YME). Hal itu tercantum dalam Undang-Undang Penyiaran 2002 (Pasal 3) dalam tujuan penyiaran, yaitu frasa, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa. Substansi tersebut juga ditemukan dalam Undang-Undang Penyiaran 1997 dengan rumusan pada konsiderans bahwa penyiaran melalui radio dan televisi memiliki peranan penting dalam meningkatkan kehidupan bangsa yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dirumuskan juga bahwa penyiaran yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berasaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan bertujuan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penjabaran iman dan takwa itu dapat juga disimak dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia, sebagai amanah Pasal 48 Undang-Undang Penyiaran 2002. Terdapat substansi yang berkaitan dengan rasa hormat terhadap pandangan keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta palarangan dan pembatasan adegan seks. Lembaga penyiaran juga dilarang menyajikan adengan pemerkosaan atau pemaksaan seksual, atau adegan yang menggambarkan upaya ke arah pemerkosaan dan pemaksaan seksual, serta perilaku menyimpang, pekerja seks komersial, homoseksual, dan adegan telanjang.
Meskipun dalam Undang-Undang Pers 1999 tidak terdapat satu kata atau frasa iman dan takwa, dalam Pasal 5 ayat 1 dirumuskan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat dengan menghormati asas praduga tidak bersalah. Karenanya, wartawan Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, wajib melaporkan dan menyiarkan informasi secara faktual dan jelas sumbernya.
Dalam perfilman, kata atau frasa iman dan takwa juga sama sekali tidak ditemukan. Namun aplikasi dan penjabarannya dapat ditemukan dlam kalimat bahwa perfilman diselenggarakan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Perfilman dalam Undang-Undang Perfilman 1992 diarahkan untuk terpeliharanya rasa kesusilaan. Demikian juga dalam Undang-Undang Perfilman 2009, terdapat larangan melakukan pertunjukan film yang mengandung isi yang menonjolkan pornografi, menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama.
Kode etik dalam Sistem Komunikasi Indonesia sebagai pengalaman Pancasila, menunjukkan adanya kesadaran tentang peranan Tuhan. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dipandang sangat sentral dalam menjalankan kgiatan jurnalistik dan karya seni budaya serta kegiatan komunikasi lainnya. Iman dan takwa atau sikap yang percaya dan apresiatif kepada Tuhan bukanlah nilai yang statis, melainkan nilai yang dinamis, karena teraktualisasi dalam bentuk akhlak mulia atau kelakuan baik. Dengan demikian beriman kepada dan bertakwa kepada Tuhan YME, dipandang sebagai sumber etika dan moral yang sangat kuat bagi seorang komunikator profesional, agar secara sungguh-sungguh selalu menempuh jalan yang jujur dalam memperoleh berita.
Pers, film, dan televisi Indonesia memang wajib memiliki kekuatan moral yang bersumber dari nilai-nilai agama, moral, dan etika bangsa sebagai aplikasi nilai-nilaia Ketuhanan Yang maha Esa, sehingga eksistensi komunikasi Indonesia terutama dalam abad ke-21 itu bersifat fungsional dan bukan sekedar substansial. Film, radio, dan televisi nasional tidka boleh merujukan kesadaran etikanya kepada semangat liberalisme Barat, melainkan harus mengacu kepada Pancasila sebagai suatu sumber nilai yang telah banyak memberikan kekuatan moral yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demikian juga Pancasila sebagai filsafat dan ideologi terbuka dan tidak bersifat dogmatif itu tetap relevan sebagai rujukan nilai etika dan moral, sumber pencerahan, sumber inspirasi, dan solusi berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan.
2.             Nilai-Nilai Kemanusiaan dan Persatuan Indonesia
Selain aplikasi dan aktualisai nilai-nilai Ketuhanan YME, nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab telah ditemukan juga dalam Sistem Komunikasi Indonesia. Kemanusiaan yang adil dan beradab itu merupakan manifestasi atas kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber dan tujuan kebenaran serta nilai-nilai (values). Nilai-nilai dasar yang tercakup dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab itu ialah bahwa manusia adalah makhluk yang monodualis. Maksudnya, manusia secara individu memiliki kebebasan sebagai bentuk hak asasi manusia (HAM), dan manusia sebagai makhluk sosial, juag memiliki tanggung jawab sosial.
Nilai-nilai dasar tersebut tergambar dalam prinsip bebas dan bertanggung jawab, baik dalam Sistem Pers Indonesia, maupun dalam Sistem Penyiaran Indonesia. Dalam Undang-Undang Pers 1999 disebutkan bahwa kebebasan atau kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Dalam menjalankan peranannya pers nasional mendorong terwujudnya hak asasi manusia serta menghormati kebhinnekaan. Kebebasan itu diimbangi dengan tanggung jawab antara lain bahwa pers dilarang memuat iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.
Aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab itu juga terjadi dalam perfilman. Dalam Undang-undang Perfilman 2002 yang membentuk Sistem Perfilman Indonesia telah disebutkan bahwa salah satu asas perfilman itu adalah kemanusiaan. Maksudnya menunjukkan bahwa perfilman harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia.
Dalam sistem Penyiaran Indonesia yang dikembangkan dari Undang-Undang Penyiaran 2002, aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab itu ditemukan juga dalam konsiderans bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras, dan seimbang dengan kebebasan.
Demikian juga dalam Pedoman Perilaku Televisi Indonesia ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta) denga tegas disebutkan bahwa anggota ATVSI mendukung dan membantu memperkukuh integrasi bangsa, serta terbinanya watak dan jati diri bangsa. Anggota ATVSI harus menghindari penayangan yang dapat memicu pertentangan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Sebaliknya dalam Undang-Undang Pers 1966, 1982, dan 1999, tidak pernah termuat istilah Persatuan Indonesia, persatuan bangsa atau integrasi nasional. Namun, secara tersirat dapat dipahami bahwa upaya ke arah itu, dapat disimak dalam Kode Etik Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia, yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara. Berdasarkan kode etik jurnalistik sebagai rujukan etik dan moral, dalam Sistem Pers Pancasila dkembangkan juga asas perwatakan yang objektif yang tidak mencampur adukan antara kejadian atau fakta dan pendapat atau opini serta menyajikan berita secara berimbang dan adil.
Sesuai dengan karakteristik dan jati diri Pers Pancasila yang mengkombinasikan kolektivisme dan individualisme serta kebebasan dan tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, masyarakat pers memberikan rumusan mengenai berita yang berbeda dengan rumusan berita yang dijumpai dalam kepustakaan yang berasla dari luar. Berita dalam Sistem Pers Pancasila adalah peristiwa yang sudha sampai pada khalayak.
Berdasarkan hal tersebut, berita dalam Sistem Pers Pancasila tidak boleh hanya dipandang sebagi komoditas (barang dagangan) sebagaimana dikenal dalam pers industri Barat, tetapi berita harus mengandung makna kultural dan edukatif. Tidak semua peristiwa yang luar biasa dan aktual dapat diberitakan atau disiarkan kepada khalayak, terutama jika hal itu diduga dapat membahayakan persatuan Indonesia, keselamatan, dan keamanan negara, kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh undang-undang.
3.             Nilai-Nilai Kerakyatan dan Keadilan Sosial
Dalam sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaa dalam permusyawaratan/perwakilan, terkandung konsep kedaulatan rakyat yaitu kedaulatan berada ditangan rakyat, yang diimplementasikan dengan sistem perwakilan untuk mengambil keputusan dengan cara bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Hal itu mencakup nilai-nilai dasar tentang dialog, yaitu komunikasi yang bersifat horizontal, setara dan manusiawi berdasarkan kekuatan penalaran dengan argumentasi yang rasional, saling menghormati. Nilai dasar dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mencakup keadilan dalam bidang sosial, terutama keadilan dalam bidang ekonomi yaitu pembagian kekayaan atau rezeki agar setiap orang memperoleh bagian yang wajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagai manifestasi dari kemanusiaan yang adil dan beradab yang bersumber dari Tuhan YME.
Hal tersebut merupakan salah satu karakteristik ideologi Indonesia yang mengombinasikan antara demokrasi dan keadilan sosial. Aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kerakyatan dalam bentuk kedaulatan rakyat itu dijabarkan dalam bentuk kemerdekaan pers dalam Undang-Undang Pers 1999. Dalam undang-undang itu disebutkan pada konsiderans bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat. Demikian juga dalam Pasal 2 dirumuskan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Meskipun dalam Sistem Pers Indonesia sebagai Sistem Pers Pancasila, sama sekali tidak ditemukan istilah keadilan sosial, dalam Undang-Undang Pers 1999, pembagian kekayaan atau rezeki dalam perusahaan tercantum dengan jelas dan tegas. Undang-undang itu mengatur bahwa perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau laaba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Dalam sistem Penyiaran Indonesia, istilah kedaulatan rakyat, ditemukan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Penyiaran 2002, “Bahwa kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak asasi manusia.......”. tertulis juga bahwa penyiaran harus mampu melindungi kebebasan berekspresi atau mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan, termasuk menjamin kebebasan berkreasi dengan bertumpuh pada asas keadilan, demokrasi, dan supremasi hukum.
Upaya negara untuk menghindari monopoli dalam pembagian rezeki sebagai bentuk aplikasi nilai-nilai keadilan sosial, juga diwujudkan melalui kesempatan yang luas dalam dunia perfilman. Kemudian peran serta masyrakat sebagai aplikasi dan aktualisasi nilai-nilai kerakyatan atau nilai-nilai demokrasi yang semakin luas itu diwujudkan melalui kesempatan yang luas sebagai pelaku perfilman. Peran ini sendiri diwadahi oleh Undang-Undang Perfilman. Ditambah lagi untuk menghindari terjadinya monopoli dalam usaha perfilman dan monopoli informasi yang berkaitan dengan produksi dan distribusi pesan, dalam Undang-Undang Perfilman 2009 terdapat aturan yang melarang usaha perfilman memiliki usaha perfilman lain yang dapat mengakibatkan integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak langsung, yaitu sumber penerimaan pasokan film kepada pihak lain.
B.            Usaha Bersama dan Kekeluargaan
Salah satu hal yang mendai pusat kajian dalam Sistem Komunikasi Indonesia adalah pemikiran pers, film, radio, dan televisi, karena pemilikan pers, film, radio, dan televisi itu sangat berkaitan dengan konsep kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi yang tercakup dalam kebebasan informasi.
Kegiatan jurnalistik yang berintikan berita atau informasi publik yang bersifat umum dan aktual itu, diselenggarakan juga melalui radio dan televisi dalam bentuk siaran berita, dan melalui film dalam bentuk film berita.
Pers dalam arti kegiatan jurnalistik yang bebas menurut pandangan orang komunis adalah pers yang tidak dimiliki atau tidak dikendalikan oleh kapitalis. Sedang orang Amerika menyebut bahwa pers yang bebas adalah pers yang dimiliki oleh kapitalis dan tidak dikontrol oleh pemerintah. Dengan adanya dua pandangan yang bertolak belakang tersebut, dalam Sistem Komunikasi Indonesia, ditempuh semacam “jalan tengah” karena dalam ideologi Pancasila, Indonesia dianut konsep kedaulatan rakyat yang bermakna demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi.
1.             Perusahaan Pers, Idealisme, dan Komersialisme
Pada awalnya terdapat sejumlah surat kabar nasional yang dimiliki dan dikendalikan atau diawasi oleh partai politik sebagai alat perjuangan nasional. Kemudian dinamika politik memisahkan pers dari partai politik yang kemudian secara berangsur-angsur bergeser ke tangan pemilik modal.
Dalam Undang-Undang Pers tahun 1999 dinyatakan bahwa perusahaan pers didirikan oleh setiap warga negara dan negara harus berbentuk badan hukum Indonesia (Pasal 9), seperti PT, koperasi, yayasan atau BUMN. Setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja sesuai dengan hak asasi manusia, termasuk mendirikan perusahaan pers. Demikian juga pemerintah, atas nama negara, dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers.
Perusahaan pers pada awaln perkembangannya diawasi oleh pemerintah melalui SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang diatur dlaam Undang-Undang No. 21 Tahun 1982 Tentang Pers. Perlunya SIUPP, disamping pengelolahan secara kekeluargaan serta adanya saham bagi wartawan dan karyawan pers, merupakan juga identitas Sistem Pers Pancasila.
Peran negara merupakan salah satu ciri negara kesejahteraan dan negara kekeluargaan untuk melindungi insan pers yang memiliki idealisme yang besar dengan perusahaan pers yang masih sedang berkembang, agar tetap mampu eksis menjalankan dan mengembangkan perusahaan pers yang dikelolanya.
SIUPP kemudian dihilangkan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, namun fungsi ekonomi bagi pers dicantumkan secara resmi dalam Pasal 2. Hal itu menunjukkan perubahan yang mendasar dalam teori dan sistem Pers Pancasila, sebagai akibat terjadinya liberalisasi dalam bidang politik dan bidang ekonomi. Kombinasi antara kolektivisme dan individualisme dlaam konsep kedaulatan rakyat berubah dengan membesarnya individualisme dan mengecilnya kolektivisme. Demokrasi politik tidak diimbangi dengan demokrasi ekonomi dalam kehidupan pers. Padahal kedaulatan rakyat yang tercantum dalam konstitusi dan merupakan rujukan kemerdekaan pers, mengandung makna demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi.
Pers yang lebih menekankan orientasi politik mengalami kemunduran, dan berkembanglah surat kabar yang berorientasi bisnis, dengan perusahaan pers yang semakin rasional dan profesional. Per bisnis atau per komersial pada umumnya bersifat independen dan mengutamakan pelayanan informasi kepada masyarakat daripada berusaha berperan sebagai pengarah dalam perubahan. Pers bisnis yang lebih berorientasi pada kepentingan pasar, mendorong pemberitaan objektif dan pengembangan wartawan profesional.
Perkembangan di bidang pendidikan, transportasi, kesejahteraan, dan teknologi dengan sendirinya ikut pula mendorong perkembangan penyebaran surat kabar, sehingga akhirnya pers Indonesia sama sekali tidak dapat menghindarkan diri ke arah perkembangan sebagai pers bisnis.
Dalam teori dan sistem Pers Pancasila, negara memiliki kewajiban untuk embetasi perkembangan pers ke arah bisnis raksasa agar pers tidak terlalu berorientasi bisnis seperti negara kapitalis liberal dengan melupakan idealismenya. Itulah sebabnya untuk penerbitan pers, pada masa lalu diperlukan SIUPP, agar konglomerasi dalam bidang pers dapat dikendalikan dan diawasi.
Teori Pers Pancasila yang bertumpu pada filsafat Pancasila dan dijabarkan dlaam bentuk konsep kedaulatan rakyat dan negara kesejahteraan, secara esensial menghendaki tumbuhnya pers yang sehat dari segi perusahaan sebagai sebuah bidang usaha bagi swasta atau negara dengan modal sendiri, tanpa larangan mencari keuntungan. Namun harus tetap dijaga agar bisnis pers itu senantiasa memperhatikan aspek idealisme sebagai alat perjuangan nasional dan sebagai pers pembangunan. Pers sebagai perusahaan tidka boleh melupakan idealismenya karena pers nasional lahir, tumbuh dan berkembang sebagai media perjuangan yang menyebarkan nasionalisme dan untuk memperoleh kemerdekaan.
2.             Perusahaan Film, Radio, dan Televisi
Dalam sistem Perfilman Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perfilman 2009, terdapat kegiatan perfilman yang bersifat nonkomersial dan usaha perfilman yang bersifat komersil. Meliputi: pembuatan film, jasa teknik film, pengendara film, pertunjukan film, penjualan film, dan/atau penyewaan film, pengarsipan film, ekspor film, dan impor film. Kecuali usaha impor film, usha perfilman itu wajib mengutamakan film Indonesia dan menggunakan sumber daya dalam negeri secara optimal, yaitu: insan perfilman, alam, bahan dan/atau produk, jasa, peralatan, dan kekayaan budaya Indonesia.
Selain itu, perfilman juga dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dpaat mengakibatkan integritas vertikal, baik langsung maupun tidak langsung. Integritas vertikal yang dimaksud, adalah sumber penerimaan pasokan film kepada pihak lain dari hulu sampai hilir atas dua jenis usaha atau lebih. Demikian juga pelaku usaha perfilman dilarang untuk mempertunjukkan film hanya berasal dari satu usaha pembuat film atau usaha pengedraan film dan usaha impor film melebihi 60% jam pertunjukkan selama 6 jam perbulan berturut-turut yang mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat.
Berdasarkan hal tersebut maka dlaam Siste Perfilman Indonesia, tidak boleh terjadi monopoli dalam usaha perfilman untuk mencegah terjadi monopoli informasi baik dlaam produksi maupun dalam distribusi pesan. Hal tersebut sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUP 1945 yang menghendaki antara lain, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Dalam sistem penyiaran indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Penyiaran 2002, Radio dan TV dikembangkan dalam bentuk lembaga penyiaran yang bersifat nonkomersial dan lembaga penyiaran yang bersifat komersial.lembaga nonkomersial, adalah Lembaga Penyiaran Publik yang didirikan oleh komunitas tertentu. Sedang lembaga komersial adalah Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Dalam Sistem Penyiaran Indonesia sebagai Sistem Penyiaran Pancasila yang berbasis ideologi Pancasila disebutkan bahwa penyiaran memiliki tujuan agar industri penyiaran itu tumbuh sesuai dengan fungsi ekonomi dan penyiaran Indonesia. Selain harus memperhatikan seluruh aspek penyiaran kehidupan berbangsa dan bernegara, juga harus mempertimbangkan penyiaran sebagai lembaga ekonomi yang penting dan strategis, baik dlam skala nasional maupun internasional.
3.             Vitalisasi dan Aktualisasi Negara Kesejahteraan
Pada penghujung abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 pers nasional mengalami reformasi. Pengendalian negara terhadap perusahaan pers kemudian hilang dlam UU Pers 1999. Terjadilah liberalisasi, kapitalisasi dan komersialisasi dalam kehidupan pers nasional. Kekhawatiran berkembangnya perusahaan pers atau penerbitan pers ke arah bisnis raksasa dan monopoli informasi yang mengancam demokrsi, betul-betul menjadi kenyataan. Namun setelah berlangsung selama satu dekade, liberalisasi, kapitalisasi, dan komersialisasi dalam pers telah menimbulkan sejumlah implikasi sosial, budaya, ekonomi, politik, dan ketahanan nasional, yang mengancam demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang tersimpul dalam konsep kedaulatan rakyat dan fungsi negara kesejahteraan.
Kesadaran akan perlunya aktualisasi kedaulatan rakyat dan negara kesejahteraan serta Sistem Pers Pancasila sebagai bagian dari Sistem Komunikasi Indonesia juga timbul dikalangan elit nasional dan sejumlah akademisi yang sadar ancaman neoliberalisme dan kapitalisme baru. Kesadaran ersbeut terlihat dalam Undang-Undang Penyiaran 2002 yang menjadi rujukan utama Sistem Penyiaran Indonesia dan Undang-Undang Perfilman yang melahirkan Sistem Perfilman Indonesia.
Urgensi vitalisasi dan aktualisasi Sistem Komunikasi Pncasila yang mencakup Sistem Pers Pancasila, Sistem Perfilman Pancasila, dan Sistem Penyiaran Pancasila, merupakan slaah stau aspek negara kesejahteraan dna kedaulatan rakyat yang berbasis dan berdasar ideologi Pnacsila mulai mengemuka dalam wacana publik.
Kini, negara kesejahteraan semakin penting karena peranan negara dalam menciptakan kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan keadilan ekonomi, semakin diakui urgensinya dalam kehidupan pers. Oleh karena itu, masyarakat pers harus secara suka rela mengembangkan kebebasan positif yaitu kebebasan untuk menciptakan kesejahteraan serta keadilan sosial dan ekonomi, berdasarkan rasa etik dan kekuatan penalarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar