Jumat, 08 Februari 2013

Ruang Lingkup Filsafat Komunikasi; Aksiologi


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Filsafat Komunikasi adalah suatu displin yang menelaah pemahaman (verstehen) secara fundamental, metologis, sistematis, analitis, kritis, dan holistis teori dan proses komunikasi yang meliputi segala dimensi menurut bidangnya, sifatnya, tatanannya, tujuannya, fungsinya, tekniknya, dan metodenya.[1]
Terdapat tiga ruang lingkup Filsafat komunikasi yang menjadi objek kajian, yaitu:[2]
1.             Ontologi
Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri. Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.
2.             Epistemologi
Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”.
Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini. Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.
3.             Aksiologi
Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersifat etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.
Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information, propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.
Namun pada kesempatan kali ini, Penulis akan memfokuskan pembahasan pada lingkup Aksiologi.
B.            Rumusan Masalah
1.             Apa pengertian etika?
2.             Apa saja aliran-aliran filsafat moral?
3.             Bagaimanakah akar tindak komunikasi: falsafat hidup?
4.             Apakah maksud dari ilmu komunikasi bebas nilai?








BAB II
PEMBAHASAN

A.           Etika dalam Pengertian
Secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani; ta etha, yakni bentuk jamak dari ethos, berarti adat kebiasaan. Dari kata ini terbentuk istilah etiak yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata “moral” berasal dari bahasa latin: mos (jamak; mores), yang berarti kebiasaan, adat. Jadi, secara etimologis bahasa latin dari kata “etika” sama dengan kata “moral” yang berarti adat kebiasaan. Menurut kamus besar bahasa indonesia etika memiliki tiga arti, a) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang kewajiban hak dan kewajiban moral. b) kumpulan asa atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. c) nilai mengenal tindakan yang benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat.[3]
Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral. Melainkan merupakan filsafat atas pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Jadi, etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama.[4]
B.           Aliran-Aliran Filsafat Moral
Aliran-aliran ini dibentuk guna menentukan ukuran baik dan buruk, aliran-aliran tersebut antara lain:
a.              Hedonisme
Sejak kelahirannya, manusia berusaha mendapatkan kesenangan. Manusia selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan. Maka kesenangan itulah yang baik, dan keidaksenangan adalah buruk. Bagi Aristippos (433-355 SM) seorang murid Socrates, kesenangan bersifat badani dan aktual. Bukan kesenangan dari masa lampau atau masa depan karena hanya sekadar ingatan dan antisipasi kesenangan. Artinya yang baik adalah kesenangan kini dan di sini pada hari ini, bersifat badani, aktual dan individual. Aristippos menyatakan, kesenangan ada batasnya, yang penting pengendalian diri. Inilah tindakan yang baik dari segi moral. Aristippos menegaskan, pengendalian diri bukan berarti meninggalkan kesenangan tapi menggunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terhanyut olehnya.
Hedonisme berkembang dan dimaknai sebagai paham yang menyatakan tindakan baik ialah yang bisa mendatangkan hedone, yakni kenikmatan, kesenangan, dan kepuasan rasa. Banyak tindakan manusia bertujuan untuk mencapai kepuasan libido, bagi Adler adalah untuk mencapai kekuasaan. Intinya, upaya mencapai kepuasan merupakan pendorong tindakan manusia, apa pun bentuk kepuasan itu. Dalam perkembangannya, pengertian hedonisme telah melenceng dari ajaran awalnya dan lebih dimaknai sebagai individu yang mementingkan kesenangan fisik duniawi.[5]



Tinjauan kritis aliran Hedonisme: [6]
·                Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam. Manusia kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan.
·                Kritik lebih berat lagi adalah bahwa dalam argumentasi hedonism terdapat loncatan yang tidak dipertangung jawabkan. Dari anggapan bahwa kodrat manusia adalah mencari kesenangan, ia sampai pada menyetarakan kesenangan dengan moralitas yang baik.
·                Para hedonis memiliki konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik, karena disenangi.
·                Jika dipikirkan secara konsekuen, hedonism mengandung suatu egoisme, karena hanya mementingkan dirinya saja.
b.             Eudomonisme
Menurut Aristoteles dalam Ethika Nikomekeia, setiap manusia mengejar akhir yang terbaik bagi hidupnya. Yaitu kebahagiaan: eudaemonia. Dari sinilah akar kata edominisme. Tapi, tidak ada ukuran kebahagiaan yang sama bagi setiap individu. Ada yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah kesenangan fisik atau materi yang hampir sama dengan aliran hedonism. Namun, Aristoteles mengatakan bahwa itu semua adalah semu dan bukan tujuan akhir yang ingin dicapai. Jika manusia menjalankan fungsinya dengan baik, ia akan mencapai tujuan akhirnya untuk menjadi manusia yang baik dan itulah kebahagiaan hakiki, kesenangan rohani. Inilah fungsi khas manusia, yang membedakannya dengan hewan. Menurut Aristoteles terdapat dua keutamaan manusia dibandingkan mahluk lain, yaitu keutamaan intelektual (akal) dan keutamaan moral (budi). Keutamaan intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamana moral, bersama nalar, menjalankan pilihan-pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan moralnya guna mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang yang seperti itu adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan. [7]
c.              Utilitarisme
Menurut aliran ini yang baik adalah utilis (berguna). Jeremy Entham dalam buku Introguction to the principles of morals and legislation, 1789 menekankan bahwa manusia sesuai hakikatnya ditempatkan di bawah dua titik yang berkuasa penuh: ketidaksenangan dan kesenangan. Menurut hakikatnya itu, manusia mencari kesenangan dan menghindari ketidaksenangan. Kebahagiaan tecapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Karena itu, suatu perbuatan akan dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan dan memenuhi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.
Pada titik ini Bentham meninggalkan tataran individu, masuk ke tataran masyarakat. Bagi bentham, oralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, yakni masyarakat keseluruhan. Dalam perkembangan utilitarisme dewasa ini, Poedjawijadna mencatat, suatu perbuatan dapat dimaknai baik jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi semua orang. Karena jika yang berguna bagi individu, maka ia menjadi individualisme, dan jika bagi masyarakat atau negara, ia adalah sosialisme. Persolaannya, menurut Poedjawijadna yang berguna bagi individu belum tentu berguna bagi masyarakat atau negara, dan demikian sebaliknya. Sementara menurut K. Bertens mengingatkan, prinsip utilitarisme dewasa ini tidak memberi jaminan bahwa kebahagiaan dibagi dengan adil. Jika dalam masyarakat mayoritas hidup makmur sejahtera dan minoritas serba miskin, bagi utilitarisme masyarakat seperti itu sudah diatur dengan baik. Artinya bagi utilitarisme, tak ada tempat untuk hak, meskipun hak merupakan suatu kategori moral yang sangat penting.[8]
d.             Religionisme
Berbeda dengan tiga aliran sebelumnya, aliran ini berpendapat tindakan baik adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Dan yang buruk adalah yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Tugas teologi adalah untuk menetapkan yang baik dan yang buruk. Namun masalahya, tidak semua manusia religius atau ia religius hanya pada satu bidang kehidupan saja, sementara bidang kehidupan seorang manusia sangat beragam.
Terdapat tiga pertanyaan pokok yang dicari manusia dalam hidupnya. Untuk dapat mengkaji hal ini. Marilah kita “memilih” tempat berpijak sebagai langkah awal, sebagai sudut pandang kita, yakni pada salah satu paradigma: eudominisme, yang menyatakan bahwa hidup setiap manusia adalah memperoleh kebahagiaan. [9]
C.           Akar Tindak Komunikasi: Falsafah Hidup
Penilaian moral hanya terkait pada tindakan sengaja yang didukung oleh adanya kehendak bebas. Weber memberi istilah tindakan sosial dan bukan perilaku sosial. Tanpa adanya kehendak bebas, tidak ada tindakan sengaja, membuat tidak ada penilaian moralitas baik dan buruk dari kacamata ilmu komunikasi. Akar tindak komunikasi adalah falsafah hidup. Karena itu, untuk memahami tindak komunikasi yang dilakukan manusia adalah dengan melihat pada akarnya, yakni falsafah hidup yang dianut, yang dapat dilihat pada tiga soal pokok yang ingin dijawabnya, yakni di mana, apa dan siapa. Berikut adalah falsafah hidup yang dilihat dari tiga tataran:[10]
1.             Tataran Pribadi
Manusia di mana pun berada, kapan pun ia hidup, apa pun agama, kebangsaan, atau pekerjaannya memiliki tujuan hidup yang sama, yaitu memperoleh kebahagiaan pada berbagai bidang kehidupan. Pada saat individu manusia mencari dan berusaha menemukan kebahagiaan, ia menghadapi tiga persoalan pokok, yakni di mana, apa, dan siapa.
2.             Tataran Organisasi
Dalam tataran ini, visi dan misi organisasi akan menentukan tindak komunikasi dari organisasi beserta seluruh individu yang berada dalam organisasi itu. Visi dan misi adalah falsafah hidup organisasi. Terkadang seorang karyawan percobaan merasa tidak betah berada dalam suatu organisasi yang baru dimasuki. Dalam hal ini dinyatakan, falsafah hidupnya bertentangan dengan falsafah hidup organisasi.
3.             Tataran Massa
Kumpulan individu dalam satu wilayah membentuk masyarakat. Dan, kumpulan masyarakat dalam satu wilayah yang berdaulat membentuk negara. Tugas negara adalah mengatur hak dan kewajiban individu warga negaranya. Dengan demikian, negara sebagai kumpulan individu – pun memiliki falsafah hidup. Bagi bangsa Indonesia, falsafah hidup berbangsa dan bernegara adalah Pancasila. Pancasila mengandung nilai-nilai teragung yang jika diwujudkan masyarakat Indonesia meyakini akan memperoleh kebahagiaan. Untuk melihat bagaimana manusia mengaplikasikan komunikasi dan ilmu komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, antara lain dapat dikaji melalui sistem pers yang dianut, dimana sistem pers itu dapat ditelaah melalui falsafah hidup berbangsa dan bernegara, karena darinyalah ditentukan tindak komunikasi warga negaranya.
Terkait dengan sistem pers, terdapat empat teori pers yang diaplikasikan pada berbagai negara di dunia, yakni authoritarian, libertarian, social responsibility dan soviet communist. Whitney R. Mundt melalui buku global Media Philosophies menyimpulkan bahwa hanya dua yang benar-benar menjadi akarnya, yaitu authoritarian dan libertarian, yang dari keduanya menurun dua varian: social responsibility dan soviet communist.
·                Authoritarian, dalam sistem authoritarian, pers dijadikan pelayan negara. Dalam praktiknya, kekuasaan yang terlalu besar cenderung disalahgunakan. Sekelompok elit pemerintah sering mengatasnamakan masyarakat atau negara demi mencapai tujuannya. Pemerintah Negara memiliki hak, sementara individu warganegara hanya punya kewajiban. Pada titik ekstrim dapat dinyatakan, tidak ada kebebasan individu dalam menyatakan pendapat. Atau sekurang-kurangnya, kebebasan mereka sangat terbatas.
·                Libertarian. Aliran ini lahir menentang sistem authoritarian. Dalam sistem libertarian, pers tidak tunduk kepada negara. Individu warganegara berikut institui pers sepenuhnya memiliki hak menyatakan pendapat. Individu bersifat otonom, tidak ada hak pemerintah untuk mengintervensi. Dalam hal ini, “bandul pendulum falsafah hidup” yang dianut menganut pada sisi individu; hak ada pada individu, Negara berkewajiban memenuhinya. Individu bebas sebebasnya menyatakan pendapat.
·                Soviet Communist. Kebebasan individu yang sebebasnya dianggap tidak baik. Dalam sistem komunal yang sosialis, tidak ada hak individu karena yang diutamakan adalah hak masyarakat. Jika masyarakat mencapai kebahagiaan, individu anggotanya pun akan bahagia. Dengan kata lain, individu punya kewajiban untuk mendahulukan kebutuhan masyarakat, membuat “bandul pendulum falsafah hidup” mengayun ketitik masyarakat, yang dalam praktiknya kekuasaan itu dipegang partai penyelenggara pemerintahan negara.
·                Social responsibility. Terlalu mementingkan masyarakat atau terlalu mementingkan individu pun tidak baik. Social responsibility, yang menyatakan bahwa kebebasan individu yang diberikan haruslah  tidak tak terbatas. Batasnya adalah tanggung jawab sosial individu berikut institusi pers dalam menyatakan pendapat. Dengan kata lain, falsafah hidup yang dianut adalah keseimbangan antar individu dan masyarakat
D.           Apakah Ilmu Komunikasi Bebas Nilai?
Sebagian orang berpendapat bahwa ilmu harus bebas nilai (netral – objektif), sementara sebagaian lain menyatakan bahwa ilmu terkait nilai (tidak netral, subjektif). Keuntungan dari ilmu yang bebas nilai adalah tidak ada yang akan menghambat atau menghalanagi manakala peneliti memilih dan menetapkan objek penelitian, cara meneliti, dan menggunakan pengetahuan serta produk hasil penelitian. Ada pun kerugian utama jika menganggap ilmu bebas nilai, ada kemungkinan bertentangan dengan moralitas.
Baik-buruknya cara penelitian adalah moralitas sang peneliti. Moral atau etika, sebagaimana diketahui, adalah sesuatu yang tidak eksak menurut pandangan positisme. Sesuai latarnya yang berkembang dari ilmu-ilmu alam, positivism menuntut penelitian yang bebas nilai. Dengan demikian bagi ilmuan komunikasi penganut positivism, dalam pelaksanaannya moral penelitianlah yang akan menentukan jenis penelitian dan teknik penelitian yang dilakukan untuk memenuhi keingintahuan dalam membangun ilmunya. Dalam hal ini, falsafah hidup peneliti akan menentukan tindakan-tindakan moral. Sementara bagi ahli komunikasi berlatar interpretivisme, ilmu komunikasi sesuai kodratnya – jelas terkait nilai, ia tidak lepas dari nilai-nilai yang ada.[11]













BAB III
KESIMPULAN

Aksiologi mempertanyakan nilai: bagaimana dan untuk tujuan apa ilm komunikasi itu digunakan. Karenanya, terkait penilaian etis atau moral. Hanya tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja yang dapat dikenai penilaian etis. Akar tindkaan manusia adalah falsafah hidup: kesatuan nilai-nilai yang menurut manusia pemiliknya memiliki derajat teragung yang jika terwujud ia yakin akan bahagia. Dengan mengkaji aliran-aliran filsafat moral, dapat disimpulkan adanya tiga permasalahan pokok yang ingin dijawab: di mana kebahagiaan itu ingin diraih? Apa yang dapat membawa kebahagiaan itu? Siapa yang harus didahulukan dalam usaha mendapatkan kebahagiaan itu? Situasi dilematis ini berlangsung kekal sepanjang hidup manusia.
Dari sini, makalah ini dapat menyimpulkan: bagaimana dan untuk tujuan apa praktisi komunikasi menggunakan ilmunya, adalah tergantung pada jawaban atas pertanyaan pokok falsafah individu manusianya: apakah ilmu itu akan digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat ataukah untuk keburukan dan kemudaratan. Demikian ula halnya dengan ilmuwan komunikasi, falsafah hidupnya akan menentukannya dalam: (a) memilih objek penelitian, (b) cara melakukan penelitian, (c) menggunakan produk hasil penelitian.




DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Vardiansyah, Dani. 2005. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Depok: PT Indeks Kelompok Gramedia.
Suseno, Franz Magnis. 1989. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
K. Bertens. 1994. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Internet:
Http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_komunikasi


[1] Http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_komunikasi
[2] Ibid.
[3] Dani Vardiansyah. 2005. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Depok: PT Indeks Kelompok Gramedia. Hal. 92.
[4] Franz Magnis Suseno. 1989. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 14.
[5] Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Hal. 99-100.

[6] K. Bertens. 1994. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 238.
[7] Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Hal. 99-100.
[8] Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Hal. 99-100.
[9] Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Hal. 99-100.
[10] Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Hal. 105-108.
[11] Ibid. Hal. 108-109.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar