BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat Komunikasi adalah suatu displin yang menelaah
pemahaman (verstehen) secara fundamental, metologis, sistematis, analitis,
kritis, dan holistis teori dan proses komunikasi yang meliputi segala dimensi
menurut bidangnya, sifatnya, tatanannya, tujuannya, fungsinya, tekniknya, dan
metodenya.[1]
Terdapat tiga ruang lingkup
Filsafat komunikasi yang menjadi objek kajian, yaitu:[2]
1.
Ontologi
Ontologi berarti studi tentang arti
“ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya
sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi
sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam
hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek
materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek
materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling
abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai
makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu
sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi
itu sendiri. Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu
Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi,
Komunikasi Manusia, dll.
2.
Epistemologi
Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu
berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri
atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah
mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya,
“what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey,
hal-hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement,
sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”.
Secara sederhana sebetulnya perdebatan
mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai
ilmu. Perdebatan apakah Ilmu
Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana
proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka
Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social
yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi
atas lahirnya ilmu ini. Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland,
Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan
memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19
di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini
sendiri.
3.
Aksiologi
Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersifat etik
terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada
aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan
pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia
itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan
manusia akan komunikasi.
Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public
speaking), spreading of information, propaganda, adalah sebagian kecil dari
manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu
Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.
Namun pada kesempatan kali ini, Penulis akan memfokuskan
pembahasan pada lingkup Aksiologi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian etika?
2.
Apa saja aliran-aliran filsafat moral?
3.
Bagaimanakah akar tindak komunikasi: falsafat hidup?
4.
Apakah maksud dari ilmu komunikasi bebas nilai?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Etika dalam Pengertian
Secara etimologis, etika berasal
dari kata Yunani; ta etha, yakni bentuk jamak dari ethos, berarti adat
kebiasaan. Dari kata ini terbentuk istilah etiak yang oleh Aristoteles dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Kata “moral” berasal dari bahasa latin:
mos (jamak; mores), yang berarti kebiasaan, adat. Jadi, secara etimologis
bahasa latin dari kata “etika” sama
dengan kata “moral” yang berarti adat kebiasaan. Menurut kamus besar bahasa indonesia etika
memiliki tiga arti, a) ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang kewajiban hak dan kewajiban moral. b)
kumpulan asa atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. c) nilai mengenal
tindakan yang benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat.[3]
Etika bukan suatu sumber tambahan
bagi ajaran moral. Melainkan merupakan filsafat atas pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Jadi, etika dan
ajaran-ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama.[4]
B.
Aliran-Aliran Filsafat Moral
Aliran-aliran ini dibentuk guna menentukan ukuran baik
dan buruk, aliran-aliran tersebut antara lain:
a.
Hedonisme
Sejak kelahirannya,
manusia berusaha mendapatkan kesenangan. Manusia selalu menjauhkan diri dari
ketidaksenangan. Maka kesenangan itulah yang baik, dan keidaksenangan adalah
buruk. Bagi Aristippos (433-355 SM)
seorang murid Socrates, kesenangan bersifat badani dan aktual. Bukan kesenangan
dari masa lampau atau masa
depan karena hanya sekadar ingatan dan antisipasi kesenangan. Artinya yang baik
adalah kesenangan kini dan di sini
pada hari ini,
bersifat badani, aktual
dan individual. Aristippos menyatakan, kesenangan ada batasnya, yang penting
pengendalian diri. Inilah tindakan yang baik dari segi moral. Aristippos
menegaskan, pengendalian diri bukan berarti meninggalkan kesenangan tapi
menggunakan kesenangan dengan baik
dan tidak membiarkan diri terhanyut olehnya.
Hedonisme berkembang
dan dimaknai sebagai paham yang menyatakan tindakan baik ialah yang bisa
mendatangkan hedone, yakni kenikmatan,
kesenangan, dan kepuasan rasa. Banyak tindakan manusia bertujuan untuk mencapai
kepuasan libido, bagi Adler adalah untuk mencapai kekuasaan. Intinya, upaya
mencapai kepuasan merupakan pendorong tindakan manusia, apa pun bentuk kepuasan
itu. Dalam perkembangannya, pengertian hedonisme telah melenceng dari ajaran
awalnya dan lebih dimaknai sebagai
individu yang mementingkan kesenangan fisik duniawi.[5]
·
Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam. Manusia kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari
ketidaksenangan.
·
Kritik lebih berat lagi adalah bahwa dalam
argumentasi hedonism terdapat loncatan yang tidak dipertangung jawabkan. Dari anggapan bahwa kodrat
manusia adalah mencari kesenangan, ia sampai pada menyetarakan kesenangan dengan moralitas yang baik.
·
Para hedonis memiliki konsepsi yang salah tentang
kesenangan. Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik, karena disenangi.
·
Jika dipikirkan secara konsekuen, hedonism
mengandung suatu egoisme, karena hanya mementingkan dirinya saja.
b.
Eudomonisme
Menurut Aristoteles
dalam Ethika Nikomekeia, setiap manusia mengejar
akhir yang terbaik bagi hidupnya. Yaitu kebahagiaan: eudaemonia.
Dari sinilah akar kata edominisme. Tapi, tidak ada ukuran kebahagiaan yang sama bagi setiap individu. Ada yang mengatakan bahwa
kebahagiaan adalah kesenangan fisik atau materi yang hampir sama dengan aliran hedonism. Namun, Aristoteles mengatakan bahwa itu semua adalah
semu dan bukan tujuan akhir yang ingin dicapai. Jika manusia menjalankan
fungsinya dengan baik, ia akan mencapai tujuan akhirnya untuk menjadi manusia
yang baik dan itulah
kebahagiaan hakiki, kesenangan rohani. Inilah fungsi khas manusia, yang membedakannya dengan hewan. Menurut Aristoteles
terdapat dua keutamaan manusia dibandingkan mahluk lain, yaitu keutamaan
intelektual (akal) dan keutamaan moral (budi). Keutamaan intelektual
menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan keutamana moral, bersama nalar, menjalankan pilihan-pilihan
rasional yang tepat dalam perbuatan moralnya guna mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang yang seperti itu
adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan. [7]
c.
Utilitarisme
Menurut aliran ini yang baik adalah utilis (berguna). Jeremy
Entham dalam buku Introguction to the
principles of morals and legislation, 1789 menekankan bahwa manusia sesuai
hakikatnya ditempatkan di bawah dua titik yang berkuasa penuh: ketidaksenangan dan kesenangan.
Menurut hakikatnya itu, manusia mencari kesenangan dan menghindari
ketidaksenangan. Kebahagiaan tecapai
jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari
kesusahan. Karena itu, suatu perbuatan akan dinilai baik atau buruk sejauh
dapat meningkatkan dan memenuhi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.
Pada titik ini Bentham meninggalkan tataran individu, masuk ke tataran
masyarakat. Bagi bentham, oralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan
menimbang kegunannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, yakni masyarakat
keseluruhan. Dalam perkembangan utilitarisme dewasa ini, Poedjawijadna mencatat, suatu perbuatan dapat dimaknai baik
jika menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi semua orang. Karena jika yang berguna
bagi individu, maka ia menjadi individualisme, dan jika bagi
masyarakat atau
negara, ia adalah
sosialisme. Persolaannya, menurut Poedjawijadna yang berguna bagi individu belum tentu berguna
bagi masyarakat atau negara, dan
demikian sebaliknya. Sementara menurut K. Bertens mengingatkan, prinsip
utilitarisme dewasa ini tidak memberi jaminan bahwa kebahagiaan dibagi dengan adil. Jika dalam masyarakat
mayoritas hidup makmur sejahtera dan minoritas serba miskin, bagi utilitarisme masyarakat seperti itu sudah
diatur dengan baik. Artinya bagi utilitarisme, tak ada tempat untuk hak,
meskipun hak merupakan suatu kategori moral yang sangat penting.[8]
d.
Religionisme
Berbeda dengan tiga aliran sebelumnya, aliran ini berpendapat tindakan
baik adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Dan yang buruk adalah yang
bertentangan dengan kehendak-Nya. Tugas teologi adalah untuk menetapkan yang
baik dan yang buruk. Namun masalahya, tidak semua manusia religius atau ia
religius hanya pada satu bidang kehidupan saja, sementara bidang kehidupan
seorang manusia sangat beragam.
Terdapat tiga pertanyaan pokok yang dicari manusia dalam hidupnya. Untuk
dapat mengkaji hal ini. Marilah kita “memilih” tempat berpijak sebagai langkah
awal, sebagai sudut pandang kita, yakni pada salah satu paradigma: eudominisme, yang menyatakan bahwa hidup setiap
manusia adalah memperoleh kebahagiaan.
[9]
C.
Akar Tindak Komunikasi: Falsafah Hidup
Penilaian moral hanya terkait pada tindakan sengaja
yang didukung oleh adanya kehendak bebas. Weber memberi istilah tindakan sosial dan bukan perilaku
sosial. Tanpa adanya
kehendak bebas, tidak ada tindakan sengaja, membuat tidak ada penilaian
moralitas baik dan buruk dari kacamata ilmu komunikasi. Akar tindak komunikasi
adalah falsafah hidup. Karena itu, untuk memahami tindak komunikasi yang
dilakukan manusia adalah dengan melihat pada akarnya, yakni falsafah hidup yang
dianut, yang
dapat dilihat pada tiga soal pokok yang ingin dijawabnya, yakni di mana, apa dan siapa. Berikut adalah falsafah hidup yang dilihat dari tiga tataran:[10]
1.
Tataran
Pribadi
Manusia di mana pun berada, kapan
pun ia hidup, apa pun agama, kebangsaan, atau pekerjaannya memiliki tujuan
hidup yang sama, yaitu
memperoleh kebahagiaan pada berbagai bidang kehidupan. Pada saat individu
manusia mencari dan berusaha menemukan kebahagiaan, ia menghadapi tiga
persoalan pokok, yakni di mana,
apa, dan siapa.
2.
Tataran
Organisasi
Dalam tataran ini, visi dan misi
organisasi akan menentukan tindak komunikasi dari organisasi beserta seluruh
individu yang berada dalam organisasi itu. Visi dan misi adalah falsafah hidup
organisasi. Terkadang seorang karyawan percobaan merasa ‘tidak betah’ berada dalam suatu
organisasi yang baru dimasuki. Dalam hal ini dinyatakan, falsafah hidupnya
bertentangan dengan falsafah hidup organisasi.
3.
Tataran
Massa
Kumpulan individu dalam satu
wilayah membentuk masyarakat. Dan, kumpulan masyarakat dalam satu wilayah yang
berdaulat membentuk negara. Tugas negara adalah mengatur hak dan kewajiban
individu warga negaranya.
Dengan demikian, negara sebagai kumpulan individu – pun memiliki falsafah
hidup. Bagi bangsa Indonesia, falsafah hidup berbangsa dan bernegara adalah
Pancasila. Pancasila
mengandung nilai-nilai
teragung yang jika diwujudkan masyarakat Indonesia meyakini akan memperoleh
kebahagiaan. Untuk melihat bagaimana manusia mengaplikasikan komunikasi dan
ilmu komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, antara lain dapat
dikaji melalui sistem
pers yang dianut,
dimana sistem pers itu dapat
ditelaah melalui falsafah hidup berbangsa dan bernegara, karena darinyalah
ditentukan tindak komunikasi warga negaranya.
Terkait dengan
sistem pers, terdapat empat teori pers yang diaplikasikan pada berbagai negara
di dunia, yakni authoritarian, libertarian, social responsibility dan soviet
communist. Whitney R. Mundt melalui buku global
Media Philosophies menyimpulkan bahwa hanya dua yang benar-benar menjadi akarnya,
yaitu authoritarian dan libertarian, yang dari keduanya menurun dua varian:
social responsibility dan soviet communist.
·
Authoritarian, dalam
sistem authoritarian, pers dijadikan pelayan negara. Dalam praktiknya,
kekuasaan yang terlalu besar cenderung disalahgunakan. Sekelompok elit
pemerintah sering mengatasnamakan masyarakat atau negara demi mencapai tujuannya.
Pemerintah Negara memiliki hak, sementara individu warganegara hanya punya
kewajiban. Pada titik ekstrim dapat dinyatakan, tidak ada kebebasan individu dalam menyatakan
pendapat. Atau sekurang-kurangnya,
kebebasan mereka sangat
terbatas.
·
Libertarian. Aliran ini
lahir menentang sistem
authoritarian. Dalam sistem
libertarian, pers tidak tunduk kepada
negara. Individu warganegara berikut institui pers sepenuhnya memiliki hak
menyatakan pendapat. Individu bersifat otonom, tidak ada hak pemerintah untuk
mengintervensi. Dalam hal ini, “bandul pendulum falsafah hidup” yang dianut
menganut pada sisi individu; hak ada pada individu, Negara berkewajiban memenuhinya. Individu bebas
sebebasnya menyatakan pendapat.
·
Soviet
Communist.
Kebebasan individu yang sebebasnya dianggap tidak baik. Dalam sistem komunal
yang sosialis, tidak ada hak individu karena yang diutamakan adalah hak
masyarakat. Jika masyarakat mencapai kebahagiaan, individu anggotanya pun akan bahagia. Dengan kata lain, individu
punya kewajiban untuk mendahulukan kebutuhan masyarakat, membuat “bandul
pendulum falsafah hidup” mengayun ketitik masyarakat, yang dalam praktiknya
kekuasaan itu dipegang partai penyelenggara pemerintahan negara.
·
Social
responsibility.
Terlalu mementingkan masyarakat atau terlalu mementingkan individu pun tidak baik.
Social responsibility, yang
menyatakan bahwa kebebasan individu yang diberikan haruslah tidak tak terbatas. Batasnya adalah tanggung
jawab sosial individu berikut
institusi pers dalam menyatakan pendapat. Dengan kata lain, falsafah hidup yang
dianut adalah keseimbangan antar individu dan masyarakat
D.
Apakah Ilmu Komunikasi Bebas Nilai?
Sebagian orang berpendapat bahwa ilmu harus bebas
nilai (netral – objektif), sementara sebagaian lain menyatakan bahwa ilmu
terkait nilai (tidak netral, subjektif). Keuntungan dari ilmu yang bebas nilai
adalah tidak ada yang akan menghambat atau menghalanagi manakala peneliti
memilih dan menetapkan objek penelitian, cara meneliti, dan menggunakan
pengetahuan serta produk hasil penelitian. Ada pun kerugian utama jika
menganggap ilmu bebas nilai, ada kemungkinan bertentangan dengan moralitas.
Baik-buruknya
cara penelitian adalah moralitas sang peneliti. Moral atau etika, sebagaimana
diketahui, adalah sesuatu yang tidak eksak menurut pandangan positisme. Sesuai
latarnya yang berkembang dari ilmu-ilmu
alam, positivism menuntut penelitian yang bebas nilai. Dengan demikian bagi
ilmuan komunikasi penganut positivism, dalam pelaksanaannya moral penelitianlah
yang akan menentukan jenis penelitian dan teknik penelitian yang dilakukan untuk
memenuhi keingintahuan dalam membangun ilmunya. Dalam hal ini, falsafah hidup
peneliti akan menentukan tindakan-tindakan
moral. Sementara bagi ahli komunikasi berlatar interpretivisme, ilmu komunikasi
sesuai kodratnya – jelas terkait nilai, ia tidak lepas dari nilai-nilai yang ada.[11]
BAB III
KESIMPULAN
Aksiologi mempertanyakan nilai: bagaimana dan untuk
tujuan apa ilm komunikasi itu digunakan. Karenanya, terkait penilaian etis atau
moral. Hanya tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja yang dapat dikenai
penilaian etis. Akar tindkaan manusia adalah falsafah hidup: kesatuan
nilai-nilai yang menurut manusia pemiliknya memiliki derajat teragung yang jika
terwujud ia yakin akan bahagia. Dengan mengkaji aliran-aliran filsafat moral,
dapat disimpulkan adanya tiga permasalahan pokok yang ingin dijawab: di mana
kebahagiaan itu ingin diraih? Apa yang dapat membawa kebahagiaan itu? Siapa
yang harus didahulukan dalam usaha mendapatkan kebahagiaan itu? Situasi
dilematis ini berlangsung kekal sepanjang hidup manusia.
Dari sini, makalah ini dapat menyimpulkan: bagaimana
dan untuk tujuan apa praktisi komunikasi menggunakan ilmunya, adalah tergantung
pada jawaban atas pertanyaan pokok falsafah individu manusianya: apakah ilmu
itu akan digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat ataukah untuk keburukan
dan kemudaratan. Demikian ula halnya dengan ilmuwan komunikasi, falsafah
hidupnya akan menentukannya dalam: (a) memilih objek penelitian, (b) cara
melakukan penelitian, (c) menggunakan produk hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Vardiansyah, Dani. 2005. Filsafat
Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Depok: PT Indeks Kelompok Gramedia.
Suseno, Franz Magnis. 1989. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius.
K. Bertens. 1994. Etika.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Internet:
Http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_komunikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar